
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Aku tak kuasa menahan tawa. Walau aku tetap terpesona dengan uraiannya. Alkisah, sambil berjalan menuju ruangan untuk rapat mingguan Coffee Morning, Senen (29 September 2025), sahabat saya Wakil Rektor bidang kemahasiswaan dan kerjasama, Prof Abdul Muhid, memberi kabar singkat: “Besok akan ada rapat penyusunan laporan kinerja tim PPKS.” Istilah PPKS ini adalah kependekan dari Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. “Tahun ini, bagaimana profil PPKS kita?” tanyaku singkat sambil jalan bersama. “Alhamdulillah, tahun ini tak ada kasus,” jawabnya tegas. “Nggak ada kasus oleh mahasiswa?” tanyaku lagi. “Nggak ada,” jawabnya kontan. “Bagaimana dengan pegawai?” ujarku lebih lanjut. “Sama, tak ada sama sekali,” tukas sahabatku itu.
Mendengar laporan singkat itu, aku pun berucap syukur. Alhamdulillah. Tapi, aku tetap tergelitik untuk bertanya lebih jauh atas pemandangan itu. “Apa yang menyebabkan kondisi itu? Apa yang menarik untuk dijelaskan?” tanyaku lebih detail. “Orang sekarang lebih takut kepada medsos daripada kepada malaikat,” urai wakil rektor yang menjadi bagian penting dari tugas PPKS itu. “Infonya, banyak yang takut jika namanya terungkap di medsos jika melakukan tindak kekerasan seksual.” Dalam ungkapan canda yang segar, dia lebih jauh menyampaikan begini: “Saya dengar, mereka takut sekalijika namanya disebut-sebut di medsos jika terlibat dalam tindak asusila.” “Bahkan” ujarnya lebih jauh, “mereka lebih takut kepada medsos daripada kepada malaikat.”
Tentu ungkapan simpulan “mereka lebih takut kepada medsos daripada kepada malaikat” di atas menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Sebab, segera kita bisa paham atas arti penting medsos. Ada sisi positifnya. Kini, medsos telah “mewakili” tugas malaikat raqib dan atid. Bisa menjadi media pengawasan. Juga peringatan. Dan minimal, bisa pula menjadi media pencatatan amal perbuatan. Bahkan, medsos kini bisa menjadi kekuatan penekan atas kinerja pribadi dan lembaga di ruang publik. Tindak laku yang buruk di ruang publik akan segera menjadi catatan buruk pula di mata masyarakat. Begitu pula halnya dengan perilaku baik. Maka pantas, medsos kini lebih ditakuti daripada malaikat itu sendiri.

\Karena itulah, profil PPKS di UINSA Surabaya pada tahun berjalan di 2025 ini sangat terdampak serius oleh nilai manfaat medsos itu. Tentu dimensinya positif. Kalimat laporan wakil rektor Prof. Abdul Muhid di atas menjelaskan betapa medsos punya pengaruh yang baik nan nyata terhadap absennya tindak kekerasan seksual. Itu semua hasil kampanye positif tim PPKS kampus di atas terhadap pentingnya menjaga moral pribadi dan publik. Sebab, dari “kodratnya”, tim PPKS memang dibentuk di antaranya untuk melakukan pencegahan atas tindak kekerasan seksual, selain juga penanganan. Maka, kampanye dan edukasi dilakukan secara serius untuk kepentingan itu.
Apalagi, kebijakan lembaga yang sudah menjadikan kampus sebagai rumah kedua mahasiswa dan pegawai (lihat sejumlah tulisanku di antaranya di URL: https://uinsa.ac.id/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1/; juga di URL: https://uinsa.ac.id/student-central-kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-2/) tampak menjadi regulasi yang efektif. Dengan dua indikator utama, yakni aman dan nyaman, konsep kampus sebagai rumah kedua memiliki pengaruh yang terasa pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Tentu dengan berbagai ikhtiar kelembagaan di atas, profil PPKS UINSA makin lama makin baik dan berdampak positif untuk kampus.
Dua Motivasi Hidup
Hidup di jalan lurus itu kewajiban. Nama lain dari hidup di jalan lurus adalah hidup saleh. Semua kita meyakini prinsip itu. Hanya, cara untuk berada dalam jalan hidup saleh itu bisa beragam. Ada yang kepatuhannya pada prinsip hidup saleh itu berangkat dari motivasi internal. Ada pula yang dari motivasi eksternal. Pada motivasi internal, naiknya indeks akademik dan spiritual keagamaan mampu menggerakkan seseorang untuk berada dalam prinsip hidup saleh itu. Daya dorongnya lebih karena peningkatan indeks akademik dan spiritual keagamaan itu. Kepatuhan pada prinsip hidup saleh dalam kaitan ini tak mutlak membutuhkan daya dorong eksternal apapun.
Pergerakan hidup saleh melalui motivasi internal ini tentu ideal. Tapi hidup tak selalu bergerak dalam perjalanan seperti itu. Tak jarang memang pergerakan hidup ke arah saleh itu butuh inspirasi dan bahkan daya dorong dari luar. Tentu frase “daya dorong dari luar” yang dimaksudkan dalam pembahasan ini berarti daya dorong yang berasal dari luar pergolakan internal diri. Maka, prinsip setiap kejadian adalah pelajaran sebagaimana yang menjadi substansi dasar buku karyaku seperti terlihat di bagian bawah (lihat Setiap Kejadian Adalah Pelajaran: Sosiologi Pendidikan Lintas Budaya, 2022) penting untuk dipegangi.

Mungkin ada pertanyaan begini: apa pentingnya setiap kejadian diperhatikan? Atas pertanyaan semacam ini, minimal ada dua nilai penting sebagai jawaban di situ. Pertama, bahwa kejadian-kejadian di sekitar minimal bisa menjadi inspirasi saat kejadian itu dimaknai untuk kemudian diserap sebagai semangat positif yang bisa ditarik darinya. Kedua, kejadian-kejadian di sekitar akan berubah dan lalu memiliki daya dorong yang besar bagi perbaikan kualitas internal diri saat kejadian-kejadian itu dipahami dan dimaknai secara baik. Bukan hanya insipirasi yang bisa ditarik, sejatinya. Melainkan juga sudah bergerak menjadi daya dorong yang bisa didapat.
Intinya, saat kejadian-kejadian itu tidak dibiarkan berlalu begitu saja, namun justeru diserap maknanya, maka setiap kejadian itu akan bisa bergerak menjadi pelajaran hidup. Itu karena nilai positif dari kejadian-kejadian itu justeru sangat bermanfaat untuk perbaikan kualitas internal diri. Dalam kaitan ini, maka kejadian-kejadian itu bisa saja terjadi dan dialami sendiri oleh seseorang. Atau bisa pula terjadi dan dialami oleh orang lain, namun kemudian dimaknai dan selanjutnya diinternalisasi sebagai sebuah pelajaran hidup. maka, kata kuncinya adalah kecakapan untuk memaknai setiap kejadian yang muncul.
Maka, prinsip setiap kejadian adalah pelajaran seperti yang dijelaskan di atas mengajarkan kepada kita semua untuk tak membiarkan berlalu begitu saja setiap kejadian, baik dialami sendiri secara langsung ataupun oleh sesama. Alih-alih, kejadian-kejadian itu harus diambil sebagai pelajaran hidup. Bentuknya, minimal menjadi inspirasi untuk hidup lebih baik. Lebih-lebih bisa menjadi daya dorong untuk masuk ke derajat hidup yang lebih mulia dan bermartabat. Di sinilah, kejadian-kejadian itu bisa membentuk dan sekaligus memperkuat apa yang disbeut dengan motivasi eksternal seperti disinggung di atas.
Apapun motivasinya, tetap sah-sah saja seseorang untuk berada dalam hidup lempeng atau hidup di jalan lurus itu. Siapapun orang itu. Orang yang berada di jalan lurus karena kuatnya motivasi internal sungguh sangat baik. Namun, orang yang bergerak dan atau berada di jalan lurus karena motivasi eksternal pun juga tak kalah baiknya. Motivasi bisa datang dari apa dan mana saja. Tetapi, hidup saleh adalah buah yang harus bisa lahir dari proses apapun. Sebab, masing-masing individu memiliki sejarah hidupnya tersendiri. Dan, sejarah hidup itu akan menentukan pergerakan maisng-masing individu itu menuju jalan lurus dalam bentuk hidup saleh dimaksud.
Di titik inilah mengapa konsep kampus sebagai rumah kedua penting diteguhkan dalam praktik. Sebab, sebagai lembaga pendidikan tinggi, kampus harus bisa menjadi ladang subur bagi pembenihan dan sekaligus pengembangan nilai kebajikan. Melalui indikator aman dan nyaman sabagaimana di uraikan di atas, konsep dimaksud bisa menciptakan kondisi yang membuat seseorang bisa berada atau bergerak dalam jalan lurus kesalehan itu. Maka, kampus sudah sepatutnya menjadi conditioning system bagi pembenihan dan pengembangan nilai kebajikan itu. Di sinilah, konsep kampus sebagai rumah kedua bisa mengkondisikan orang-orang yang berada di dalamanya untuk berada dalam jalan lurus menuju hidup saleh.
Medsos dan Fungsi Pengawasan
Saat konsep kampus sebagai rumah kedua bisa terimplementasi dengan baik, maka kerja pencegahan kekerasan seksual sudah bisa menemukan efektivitasnya. Berikutnya, kerja penanganan pun juga tak akan menjadi pekerjaan besar. Itu karena konsep kampus sebagai rumah kedua telah menemukan eksperimentasinya secara baik di kampus itu. Hingga tuntutan situasi aman dan nyaman pun terpenuhi. Tentu, efektivitas konsep dimaksud sangat bergantung dari keseriusan dan kesungguhan pimpinan dan siapapun yang berada di dalam kampus itu untuk menegakkan konsep dimaksud dengan kriteria aman dan nyaman tersebut.
Lalu, dimana keberadaan medsos? Apa kontribusinya untuk penciptaan situasi aman dan nyaman yang menjadi tuntutan konsep kampus sebagai rumah kedua di atas? Medsos itu ternyata bisa menjadi faktor penguat bagi kerja pencegahan kekerasan seksual. Kekuatan viralitas yang dimiliki telah mampu memperkuat kerja pencegahan dimaksud. Ketakutan orang untuk menjadi obyek viralitas itu membuat kontribusi medsos terhadap kerja pencegahan dimaksud makin besar. Maka, medsos telah ikut menjadi instrumen penting bagi penciptaan situasi aman dan nyaman yang menjadi tuntutan dari konsep kampus sebagai rumah kedua di atas.
Di ujung lain memang ada kekerasan siber. Kita sering dihadapkan pada data tentang kekerasan yang timbul di ruang digital. Bahkan, ruang digital pun kerap disalahgunakan untuk melakukan pengancaman terhadap kenyamanan dan keamanan orang lain. Perempuan dan anak kerpa menjadi korban. Tentu pengancaman itu dilakukan untuk kepentingan buruk diri pelakunya hingga menimbulkan kerugian pada pihak korban. Praktik-praktik yang lebih dikenal dengan istilah cyber bullying itu, diakui atau tidak diakui, masih kerpa mewarnai ruang publik kita.
Meskipun begitu, pernyataan “orang sekarang lebih takut kepada medsos daripada kepada malaikat” oleh wakil rektor bidang kemahasiswaan dan kerjasama UINSA, sebagaimana diuraikan di atas, menegaskan bahwa kini medsos telah menjadi dan memiliki fungsi pengawasan. Ia bisa memainkan subfungsi pressure, dan bisa pula memainkan subfungsi koreksi. Medsos bisa memberikan tekanan pada orang agar tidak sembarangan. Medsos pun juga bisa melakukan koreksi terhadap perilaku menyimpang. Diakui atau tidak, itu nilai positif yang dikandung oleh fungsi medsos.
Kedua subfungsi pressure dan koreksi tersebut di atas merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh medsos. Fungsi pengawasan itu tak bisa dinafikan menyusul kekuatan yang dimiliki medsos untuk bisa mempengaruhi persepsi dan opini publik. Bukankah juga ada media mainstream? Ya, betul. Ada media mainstream yang menjadi bagian dari media massa. Baik cetak maupun visual. Bahkan juga ada siaran media dengar seperti radio. Namun, produksi berita yang dibuat oleh media-media dalam kategori itu terikat oleh kode etik jurnalistik. Yang keluar sebagai berita tak boleh sembarangan.
Lalu kalau medsos? Sebagai saluran komunikasi sosial digital, informasi yang diproduksi mengikuti selera yang berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, kecenderungannya bisa berbasis individu-perindividu. Apa yang tak boleh dilakukan oleh media massa bisa jebol juga melalui medsos. Apa yang masuk kategori negative list dalam pemberitaan atau produksi informasi, seperti mengumbar sensualitas dan rasisme, tembus juga dalam produksi informasi di medsos. Artinya, dalam medsos berlaku prinsip anything goes. Apa saja bisa terjadi. Terlepas dari urusan benar-salah atau bijak-tidak.
Memang, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), tapi tetap saja praktik pelanggaran terhadap negative list itu jamak terjadi. Buktinya, banyak kasus pelaporan atas pelanggaran UU ITE mudah dijumpai di tengah warga masyarakat. Hanya, lepas dari ada atau tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan UU ITE, tetap saja bahwa medsos telah dapat menjadi kontrol dengan memberikan pressure kepada siapa saja yang dianggap menyimpangkan amanah publik dan atau merusakkan tatan sosial.

Lalu Apa Pelajarannya?
Ada tiga pelajaran penting dari fenomena “lebih takut medsos daripada malaikat” yang dibahas di atas. Pertama, berhati-hatilah hidup di era digital. Bisa saja engkau tak suka, tapi apa yang menjadi informasi tentang dirimu bisa menyebar cepat di dunia maya. Kekuatan teknologi informasi dan komunikasi digital memberikan daya dorong yang kuat dalam mempercapat penyebaran informasi itu. Saat informasi itu cenderung jelek, tentu itu akan merugikanmu secara pribadi. Lepas dari skala dan bentuk kerugian yang bisa ditimbulkan. Saat informasi itu baik, maka tentu akan berdampak positif pula pada dirimu. Maka, berhati-hati adalah langkah terukur. Prinsip ini berlaku bagi siapa saja yang berpotensi sebagai pelaku maupun calon korban penyebaran informasi di dunia maya itu.
Mengapa perlu begitu? Sederhana sekali penjelasannya. Kerja pencatatan dan pengawasan malaikat raqib dan atid sudah diturunkan kepada platform digital. Medsos adalah satu satu di antara yang utama. Tentu tak semua dapat menghadirkan Tuhan dalam setiap langkahnya di dunia material. Tentu tak setiap diri memiliki kecakapan untuk menghadirkan Allah SWT dalam berpikir dan bertindaknya di kehidupan duniawi. Tapi, ada yang bisa dilakukan sebagai langkah awal nan sederhana: yakinlah bahwa Allah telah menurunkan makhluqnya yang bernama medsos sebagai “utusan” yang membantu kerja pencatatan dan pengawasan yang selama ini ditugaskan kepada malaikat raqib dan atid.
Kedua, boleh saja tak suka, tapi keberadaan medsos telah mempersembahkan nilai positif bagi perkembangan kehidupan sosial di ruang publik. Kasus tentang profil PPKS tahun 2025 di UINSA seperti diuraikan di atas menggambarkan kekuatan dan efektivitas medsos dalam mencegah tindak kekerasan seksual di dalam kampus. Minimal mengurangi terjadinya tindak culas itu. Fenomena “lebih takut medsos daripada malaikat” bisa dijadikan sebagai indikasi awal dari dampak positif medsos terhadap penciptaan ruang publik yang baik bagi kehidupan bersama di ruang publik yang bernama perguruan tinggi.
Ketiga, manfaatkan kekuatan digital untuk menebarkan dan memperkuat kebajikan. Dan jangan sebaliknya. Pengalaman UINSA dalam menekan angka kekerasan seksual dalam kerja PPKS di tahun 2025 menjadi bukti konkret tentang kekuatan digital dalam memperkuat kebajikan publik itu. Memang perilaku baik atau buruk, termasuk dalam urusan seksual, termasuk ke dalam perkara privat. Saat baik perilaku seksual itu, baik pula bagi diri pelakunya. Namun, urusan itu sejatinya bukan sekadar perkara privat. Sebab, dampaknya bisa meluas ke publik. Hal itu tak lepas dari fakta bahwa perilaku seksual itu pasti akan melibatkan orang lain. Karena itu, pasti akan timbul korban. Baik dalam pengertian positif maupun negatif. Nah, fenomena “lebih takut medsos daripada malaikat” adalah situasi yang bisa menimbulkan nilai positif dari medsos di ruang publik itu.
Digitalisasi memang bukan sekadar memindahkan yang konvensional ke digital. Melainkan ada yang lebih substantif di situ. Apa itu? Transformasi. Ya, transformasi sejatinya merupakan bagian sentral dari digitalisasi. Yakni, mentransformasikan cara berpikir dan bertindak kita dengan tak hanya mengedepankan ruang regular-konvesional-fisikal sebagai medannya, melainkan juga ruang digital sebagai lahan baru untuk produksi gagasan dan tindakan itu. Termasuk yang menjadi bagian dari transformasi digital ini adalah cara dan bentuk komunikasi kita atas pikiran dan tindakan yang dikehendaki.
Semakin sadar kita atas semakin kuatnya transformasi digital itu, maka semakin positif kecenderungan berpikir dan bertindak kita. Fenomena “lebih takut medsos daripada malaikat” adalah salah satu dampak positif transformasi digital itu. Tinggal langkah lanjutannya adalah menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran dan langkah yang diproduksi. Itu semua karena, teknologi digital kini telah memerankan tugas pencatatan dan pengawasan seperti yang juga menjadi kerja malaikat raqib dan atid. Hasil pencatatan dan pengawasan itu bisa saja akan terbuka luas di masa kini sebelum masa akhir nanti.