UIN Sunan Ampel Surabaya
August 22, 2025

LEADER PLUS MANAGER

LEADER PLUS MANAGER

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Sebagai rektor, jangan hanya tampil sebagai leader, tapi juga harus manager.” Demikian nasehat Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Nasehat itu disampaikan pada Rapat Koordinasi Peningkatan Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), di Hotel Luminor, Pecenongan, Jakarta (Jumat, 15/08/2025). Begini alasan yang dia uraikan: “Leader itu mengandalkan pengaruh orang tuanya; ada yang mengorbitkan; dan punya banyak follower, tapi penguasaan detail-teknis tidak jalan.” Atas dasar itulah, Menteri Agama yang ilmuwan dan kyai itu menyarankan: “Karena itu, rektor harus menjadi manager yang menguasai detail dan sekaligus juga leader.”

(Foto Tengah: Menteri Agama RI dalam Rakor PTKIN, Jumat 15/08/2025)

Aku mencatat, nasehat di atas mirip dengan pesan serupa yang pernah dia sampaikan dua minggu sebelumnya. Di sebuah halaqah kebangsaan di Ballroom Hotel Bidakara, Jakarta (Rabu, 30/07/2025). Acara itu diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Dan, pembicara kunci sesi pertama kala itu adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, selaku Menteri Agama RI. Dalam kalimat pembukanya, Menteri Agama itu mengatakan begini: “Kita tak hanya butuh leader. Kita juga butuh manager. Sebab, kita tak hanya butuh baik di luar. Tapi juga baik di dalam. Leader itu bisa bikin baik di luar. Dan manager itu bikin baik di dalam.” Kalimat kunci ini kuingat betul. Kucatat dalam ingatan terdalam serta dalam note yang selalu kubawa serta.  

Aku merasa bahwa kalimat kunci berdimensi pesan dan nasehat mulia oleh Menteri Agama di atas patut diulas. Patut diambil menjadi pelajaran berharga. Mengapa begitu? Sederhana penjelasannya. Kalau yang menyampaikan adalah orang yang sekadar berpengalaman sebagai pengamat, tingkat presisi substansinya bisa saja tidak tervalidasi oleh pengalaman dan praktik lapangan. Nah, yang menyampaikan kalimat kunci itu adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Pribadi yang relatif lengkap. Luar-dalam. “Luar” berarti pengalaman praktis lapangan. “Dalam” bermakna basis kognitif sebagai ilmuwan. Kelengkapan profil diri semacam ini membuat kalimat kunci yang dia sampaikan menjadi berbandrol mahal.

Sebelum menjadi Menteri Agama, rekam jejak Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA begitu mentereng. Sebagai akademisi, tentu dia terbilang sudah tuntas. Sebab, jauh sebelum mencapai gelar akademik tertingginya sebagai profesor, dia sangat terkenal dengan kepiawaian akademiknya dalam bidang tafsir al-Qur’an dan kajian gender. Karya disertasinya yang kemudian menjadi buku fenomenal yang berjudul Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an (2001) menandai rekam jejak akademiknya. Buku tersebut menjadi rujukan dan bacaan penting bagi kajian Islam dan gender. Produktivitas akademiknya yang diikuti dengan berbagai karyanya yang lain membuatnya sangat disegani dalam kajian tafsir al-Qur’an di Indonesia.

Karir akademik yang jempolan itu kemudian dilengkapi dengan rekam jejaknya sebagai birokrat karir. Mulai dari jabatannya sebagai wakil rektor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian bergerak naik menjadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama RI. Lalu naik lagi menjadi Wakil Menteri Agama RI (2011-2014). Dan mulai Oktober 2024, dipercaya menjadi komandan tertinggi kantor kementerian yang membesarkan namanya dalam jabatan struktural itu. Artinya, selain sebagai ilmuwan, dia telah mencatatkan karir kepemimpinan birokrasinya di kantor kementerian yang kini dia pimpin itu.

(Foto: Sampul Buku Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, 2001)

Semua pengalaman di atas, singkatnya, mempertebal rekam jejaknya sebagai manager.  Tapi pengalaman sosialnya membuatnya telah mencatatkan rekam jejak kepemimpinan sosialnya yang sangat tinggi pula. Tercatat, dia memiliki pengalaman organisasi di NU sebagai salah seorang rais syuriyah (2022-2027). Sebelum periode ini pun dia juga sudah tercatat dalam kepemimpinan NU di level nasional. Ini melengkapi rekam jejak sosialnya sebagai seorang ulama yang sangat dekat dengan kehidupan warga masyarakat. Belum lagi, sejak tahun 2016, dia sudah tercatat menjabat sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta hingga kini. Itu semua membuatnya sebagai leader yang berpengalaman kuat. 

Semua rekam jejak, mulai akademik, birokrasi hingga sosial, di atas telah membuatnya pribadi yang lengkap. Seperti kusebut sebelumnya, profil yang lengkap itu membuat kalimat kunci yang menyandingkan nilai penting dari profil leader dan manager sangat bernilai tinggi. Sebab, kalimat kunci itu dinasehatkan oleh pribadi yang telah mengalami hampir semua yang dibutuhkan untuk mendukung esensi dasar argumen itu. Karena itu, apa yang menjadi substansi dasar dari kalimat kunci Menteri Agama di atas penting untuk diurai lebih jauh. Kepentingannya agar menjadi pelajaran banyak orang.

Konteks Pernyataan

Mahfudzhot Arab mengajarkan, li kulli maqalin maqamun wa li kulli maqamin maqalun. Setiap ucapan mempunyai setting lokusnya tersendiri, dan setiap setting lokus memiliki perkataan tersendiri yang relevan. Maksim ini mengajari kita untuk tak lepas konteks saat ingin memahami sebuah pernyataan. Sebagai, contoh, kalimat kunci yang disampaikan di kesempatan yang berbeda oleh Menteri Agama RI di atas adalah masing-masing di hadapan para rektor perguruan tinggi Islam negeri dan di hadapan para sarjana Muslim yang tergabung dalam wadah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Artinya, Menteri Agama RI itu sedang menitip pesan agar para rektor dan sarjana tak kehilangan kesempatan, pengalaman, dan kecakapan dalam dua posisi penting: sebagai leader dan manager.

Karena itu, mendiskusikan pernyataan Menteri Agama RI mengenai leader dan manager di atas harus diletakkan dalam konteks tantangan dan kewajiban kepemimpinan intelektual dan kesarjanaan. Penjelasannya sederhana. Setiap pemimpin lembaga akademik dan juga sarjana memiliki peluang yang sama untuk bisa menjadi leader dan atau manager. Dengan berbekal keilmuan yang dimiliki, setiap pemimpin lembaga akademik dan sarjana bisa menapaki karir hidupnya sebagai salah satu di antara keduanya. Tentu, karena itu, Menteri Agama RI di atas mengingatkan semua rektor kampus Islam dan para sarjana bahwa saat kecakapan sebagai leader dan manager itu ada pada diri seorang sarjana, maka dia akan memiliki pengalaman dan sekaligus kecakapan hidup yang sangat lengkap. Dan, profil lengkap seperti ini yang dibutuhkan secara luas oleh bangsa dan negara.

 

(Foto Bawah: Menteri Agama RI dalam Halaqah Kebangsaan PP ISNU, Rabu 30/07/2025)

Masing-masing dari leader dan manager memiliki kelebihan, kekurangan, dan konteksnya. Leader memiliki pengalaman dan kecakapan tersendiri dalam menanamkan pengaruh melalui mobilisasi dukungan warga masyarakat atas sebuah project dan kerja besar. Namun, dia bisa cenderung hanya berhenti pada kecakapan kepemimpinan sosial itu. Padahal banyak perkara yang yang justru macet di ruang teknis. Banyak hal yang justru tak selesai di medan praktis. Karena itu, kecakapan sebagai leader memang dibutuhkan di sebuah institusi, tapi kecakapan sebagai manager juga tak bisa diabaikan. Justru di sejumlah kasus atau bidang kehidupan, manager adalah kunci suksesnya sebuah proyek dan tugas pekerjaan. Intinya, kecakapan sebagai leader bersifat umum, dan kecakapan sebagai manager meliputi medan teknis. 

Makanya, mengapa kalimat kunci oleh Menteri Agama RI di atas harus ditempatkan pada konteks dan lokusnya. Yang dihadapi oleh Menteri Agama RI di dua acara di atas adalah mereka yang sudah matang secara kognitif. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah menjalani profesinya secara memadai. Ada yang profesional di birokrasi. Ada pula profesional di dalam tugas pendidikan dan pengajaran di kampus. Bahkan juga ada profesional peneliti di berbagai lembaga penelitian dan pengkajian strategis. Bahkan, tak jarang pula mereka telah meraih sukses di bidang usaha ekonomi dan bisnis. Karena itu, mendorong mereka untuk menguasai kecakapan sebagai leader dan manager adalah substansi dasar dari pernyataan Menteri Agama RI di atas.

Tentu, kalimat kunci Menteri Agama RI di atas memberikan challenge tersendiri kepada para rektor, sarjana, dan cerdik cendekia. Yang sudah memiliki pengalaman dan kecakapan kepemimpinan sosial, jangan berhenti hanya di situ. Perlu disempurnakan dengan mempertebal pengalaman dan kecakapan di aspek teknis pekerjaan. Kepentingannya agar profil manajerial bisa diperoleh dan dimiliki dengan memuaskan. Begitu pula sebaliknya, yang sudah menjadi profesional di bidang tugas masing-masing, jangan sampai berpuas diri di area itu, melainkan justru perlu diteruskan kepada pengalaman kepemimpinan publik. Saat kedua profil kecakapan itu di tangan, kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat dan bangsa bisa meluas.

Lalu Apa Pelajarannya?

Ada sejumlah makna inferensial yang bisa ditarik sebagai pelajaran penting dari kalimat kunci yang disampaikan oleh Menteri Agama RI di atas. Pertama, jangan pernah menyepelekan setiap kesempatan yang datang. Itu karena kesempatan itu pasti merupakan momentum emas untuk mempertebal kecakapan diri. Sulit bukan berarti tidak bisa. Kecil bukan berarti tidak bermakna. Remeh pun juga bukan berarti tanpa guna. Semua harus ditunaikan sebagai kesempatan emas untuk mempertebal arti, makna, dan guna untuk kecakapan diri. Karena yang sulit, kecil, dan bahkan remah akan memberi batu bata pembangun kecakapan diri secara memadai.  

Perihal di atas sudah menjadi atensi al-Qur’an. Lihat saja ayat inna ma’al ’usri yusra pada Surat al-Insyirah.  Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Bahkan ayat ini diulang dua kali (yakni pada ayat ke-5 dan 6), meskipun pada penyebutan pertama ada tambahan kata sambung fa (yang berartu “maka”). Pengulangan ini bermakna agar setiap kita tidak gelisah dengan kesulitan dan kesusahan. Kesulitan harus dihadapi dengan baik. Kesusahan juga harus direspon dengan baik. Kepentingannya adalah sebagai modal untuk memunculkan solusi dan sekaligus pengalaman dalam menyelesaikan masalah serupa. Demi masa depan yang lebih baik. Karena, al-Qur’an sudah menjamin bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. 

Kedua, jangan jadi pribadi menara gading. Pribadi yang demikian dicirikan dengan kemungkinan pengalaman dan eksposur yang tinggi. Namun pengalaman dan eksposur itu terbatas-cenderung elitis. Tidak tumbuh bersama warga masyarakat secara luas. Karena kecenderungan yang demikian ini hanya menempatkan Anda sebatas dalam kecakapan sebagai manager. Padahal, pengalaman kepemimpinan sosial itu penting untuk mempertajam kepemimpinan diri yang unggul. Sebab, leader tak cukup untuk terlahir dari bangku sekolah atau kuliah. Dibutuhkan pengalaman yang kuat dalam kepemimpinan sosial. Pengalaman di sekolah atau kampus harus semakin dipertajam dengan pengalaman sosial. Semua itu dibutuhkan untuk menjemput level kualitas kepemimpinan yang baik dimaksud.

Orang kampus sebetulnya sudah dikondisikan untuk menjadi pribadi yang lebih utuh. Kewajiban tridharma yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat mengkondisikan pribadi akademisi untuk terekspos ke dalam pengalaman dan kecakapan sebagai leader dan manager. Sebab, tak ada ruang bagi akademisi kampus untuk hanya bergerak di dunia pendidikan dan pengajaran serta penelitian saja. Profil pengabdian pada masyarakat juga harus tebal. Maka, sejatinya, tridharma dimaksud melekat kuat pada diri akademisi kampus. Jika itu terjadi, bisa dipastikan akan diraih pengalaman dan kecakapan untuk menjadi leader dan manager dimaksud.

Ketiga, jangan bersikap abai, apalagi emoh, terhadap tugas-tugas teknis. Itu dibutuhkan, khususnya saat seseorang memulai manapaki karir. Bahkan dalam derajat tertentu, seorang ilmuwan sekalipun tak sepatutnya abai terhadap perihal teknis. Mengapa begitu? Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Mungkin seseorang tak merasa butuh untuk memiliki kecakapan teknis. Saat tertentu di suata waktu. Mungkin begitu. Alasannya mungkin saja sederhana: aku ini ilmuwan, bukan teknisi. Tapi penting diingat, jangan-jangan lembaga tempat kita bekerja suatu saat membutuhkan kehadiran kita untuk meng-handle sebuah tugas pekerjaan dan atau jabatan.

Kita mungkin saja merasa tidak memerlukan tugas pekerjaan dan atau jabatan itu. Tapi, jangan-jangan lembaga sedang membutuhkan tenaga dan keahlian kita. Apalagi jika yang membutuhkan tenaga dan keahlian kita itu adalah negara. Maka, siapapun harus siap menjalankan tugas pekerjaan dan atau jabatan itu. Kalau sudah lembaga dan atau negara yang memerlukan tenaga seseorang, maka tak ada kata lain kecuali “siap grak!.” Tentu kata “siap grak!” ini bisa diucapkan saat seseorang memiliki jam terbang yang cukup dalam kerja teknis yang dibutuhkan dan kepemimpinan sosial lebih luas yang dibutuhkan.

Mengapa gabungan antara pengalaman kerja teknis dan kepemimpinan sosial begitu dibutuhkan? Kepemimpinan sosial membuat seseorang memang memiliki jam terbang yang tinggi dalam menyelami, memahami, dan bahkan tumbuh bersama masyarakat luas. Tapi, pengalaman kerja teknis juga sangat dibutuhkan untuk membekali diri dalam tugas pekerjaan dengan kecakapan detail dan terapan lapangan. Jika pengalaman kepemimpinan sosial memperkuat sensitivitas dalam membaca, memahami, dan menyerap kecenderungan publik, pengalaman kerja teknis mempertebal kecakapan penguasaan detail persoalan dan uraian teknis tugas pekerjaan.

Karena itu, selalu menerima tugas pekerjaan sejak awal berkarir adalah langkah jitu untuk menjemput kecakapan manajerial dan kepemimpinan sosial itu. Jangan pernah menawar sebuah tugas pekerjaan yang diamanahkan. Bukan saja itu penting bagi lembaga yang sedang membutuhkan pikiran dan tenaga kita. Tapi, itu justeru penting bagi pengembangan keahlian dan kecakapan kita sendiri sebagai pegawai. Karena keahlian dan kecakapan itu tak lahir begitu saja dari angka nol. Butuh proses dan pengalaman untuk memilikinya. Pengembangan kognitif saat sekolah atau kuliah itu langkah awal. Langkah itu harus disempurnakan dengan pengalaman yang memadai. Agar lahir keahlian dan kecakapan pada diri. Termasuk dalam urusan teknis dan detail uraian yang diamanahkan.

Maka, sungguh lengkap pribadi yang memiliki pengalaman dan kecakapan sebagai leader dan manager. Di sinilah letak makna substansial dari kalimat kunci yang disampaikan oleh Menteri Agama RI seperti dijelaskan di atas: butuh leader, butuh manager. Saat keduanya menyatu dalam diri seseorang, maka kecakapan personalnya akan melampaui sekat teknis manajerial. Alih-alih, kecakapan itu juga sekaligus menyentuh ruang kepemimpinan sosial. Begitu pula sebaliknya. Tidaklah berlebihan untuk disebut, karena itu, bahwa selalu ada kebutuhan yang tinggi pada setiap diri untuk memiliki dan mempertebal kecakapan manajerial dan kepemimpinan publik.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA