Oleh
Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UINSA Surabaya
Pendahuluan
Sejak diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung pasca reformasi, posisi kepala daerah semakin kuat secara politik karena mereka dipilih oleh rakyat, bukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti di era sebelumnya. Mekanisme pemilihan langsung ini memberikan legitimasi yang sangat besar kepada bupati, wali kota, dan gubernur di mata konstituen. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: apakah mekanisme pemakzulan kepala daerah juga sudah diatur secara konstitusional, demokratis, dan adil?
Berkaca pada kasus Bupati Pati, Sudewo kini menjadi sorotan panas di media sosial lantaran aksinya menantang warganya sendiri. Puncaknya adalah kebijakan yang diambil atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) sebesar 250 persen menuai protes keras dari warganya. Dampaknya, ribuan masyarakat Pati berdemonstrasi. kemarin. Celakanya Sudewo justru menantang masyarakat Pati dan menyebutkan tak gentar meski di demo puluhan ribu warga.
Luapan masyarakat tidak terbendung lagi, yang menyebabkan kasus ini pun bergulir hingga ke DPRD Pati yang menyepakati hak angket dan membentuk panitia khusus pemakzulan Sudewo. Sikap DPRD ini sebagai respons unjuk rasa warga yang menuntut Sudewo mundur dari jabatannya. Salah satu yang mengusulkan hak angket pemakzulan adalah Fraksi Partai Gerindra, yang notabene partai asal Sudewo.
Perdebatan soal konstitusionalitas pemakzulan kepala daerah selalu menarik, karena menyangkut tarik-menarik antara hak rakyat sebagai pemberi mandat, pemerintah pusat sebagai penjaga stabilitas negara, serta DPRD sebagai lembaga perwakilan daerah. Opini ini berusaha menelaah bagaimana mekanisme pemakzulan kepala daerah di Indonesia diposisikan dalam kerangka konstitusi, apakah sudah sejalan dengan prinsip demokrasi, dan bagaimana risiko penyalahgunaan mekanisme ini dalam praktik politik sehari-hari.
Kerangka Konstitusional Pemakzulan Kepala Daerah
Konstitusi Indonesia (UUD 1945) memang tidak secara rinci mengatur mekanisme pemakzulan kepala daerah. UUD 1945 hanya menegaskan bahwa Indonesia menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah (Pasal 18), di mana kepala daerah dipilih secara demokratis. Peraturan lebih lanjut diserahkan kepada undang-undang, seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah.
Dalam UU tersebut, kepala daerah dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya karena:
- Meninggal dunia.
- Permintaan sendiri.
- Diberhentikan.
Pemberhentian dapat dilakukan apabila kepala daerah:
- Terlibat tindak pidana dengan ancaman hukuman tertentu.
- Melanggar sumpah/janji jabatan.
- Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah sebagaimana diatur undang-undang.
- Melanggar larangan rangkap jabatan atau korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mekanisme pemakzulan melibatkan DPRD, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus tertentu, serta Presiden sebagai eksekutor akhir. Dengan demikian, proses pemakzulan di Indonesia menggabungkan unsur politik dan hukum.
Dinamika Politik dan Hukum Pemakzulan
Dalam praktiknya, mekanisme pemakzulan kepala daerah tidak selalu berjalan sesuai idealitas konstitusional. Beberapa kasus menunjukkan bahwa DPRD menggunakan instrumen hak interpelasi, angket, hingga hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk pemakzulan.
Misalnya, ada kasus di mana DPRD mengusulkan pemakzulan kepala daerah karena konflik politik, bukan murni karena pelanggaran hukum. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme yang seharusnya berbasis konstitusi dan hukum sering terjebak dalam logika politik praktis.
Di sisi lain, pemerintah pusat memiliki kewenangan besar dalam pemberhentian kepala daerah. Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, menjadi aktor terakhir yang memutuskan nasib seorang kepala daerah. Secara konstitusional, hal ini menimbulkan tanda tanya: apakah kewenangan pusat yang begitu besar masih sesuai dengan prinsip otonomi daerah?
Problem Konstitusionalitas: Antara Demokrasi dan Sentralisasi
Jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa problem konstitusionalitas dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah di Indonesia:
- Legitimasi Rakyat vs. Intervensi Elite
Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, namun mereka bisa diberhentikan melalui mekanisme yang sangat dipengaruhi elite politik. Hal ini berpotensi mereduksi suara rakyat yang menjadi basis demokrasi.
- Ketidakjelasan Standar Hukum
Meskipun ada dasar normatif dalam UU Pemerintahan Daerah, banyak klausul yang multitafsir, seperti “melanggar sumpah/janji jabatan” atau “tidak melaksanakan kewajiban”. Frasa yang kabur ini bisa digunakan secara politis oleh DPRD untuk menyingkirkan lawan politik.
- Kelebihan Wewenang Pemerintah Pusat
Presiden, melalui Mendagri, memegang peran dominan dalam memutuskan pemberhentian kepala daerah. Hal ini menimbulkan sentralisasi kekuasaan yang bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca reformasi.
- Minimnya Peran Mahkamah Konstitusi
Berbeda dengan pemakzulan Presiden yang sepenuhnya melibatkan MK untuk menilai pelanggaran hukum, pemakzulan kepala daerah lebih sering diputuskan di ranah eksekutif. Padahal, melibatkan lembaga yudisial independen akan lebih menjamin objektivitas.
Analisis Kritis dan Opini Penulis
Menurut saya, pemakzulan kepala daerah dalam kerangka konstitusional Indonesia masih memiliki celah besar yang membuka ruang politisasi. Beberapa catatan penting:
- Perlu Revisi Norma UU Pemerintahan Daerah
Klausul terkait alasan pemberhentian kepala daerah harus diperjelas dengan parameter hukum yang lebih ketat. Misalnya, “tidak melaksanakan kewajiban” harus dijabarkan dalam indikator kinerja terukur, bukan sekadar penilaian subjektif DPRD.
- Perlu Penyeimbangan Kewenangan
Pemerintah pusat seharusnya tidak terlalu dominan dalam pemakzulan. Keputusan akhir sebaiknya lebih ditekankan pada mekanisme peradilan konstitusional, bukan eksekutif.
- Mahkamah Konstitusi Harus Lebih Dilibatkan
Untuk menjamin check and balance, sebaiknya MK berperan menilai apakah alasan pemakzulan benar-benar konstitusional. Hal ini sejalan dengan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution).
- Kedaulatan Rakyat Harus Dijaga
Karena kepala daerah dipilih rakyat, seharusnya hanya rakyat pula yang bisa mencabut mandat secara langsung, misalnya melalui mekanisme referendum lokal atau pemilu ulang, bukan semata-mata lewat manuver elite politik.
Penutup: Menjaga Konstitusionalitas dan Demokrasi Lokal
Pemakzulan kepala daerah adalah isu yang sangat penting dalam tata kelola demokrasi lokal Indonesia. Mekanisme yang ada saat ini memang memberi ruang bagi DPRD dan pemerintah pusat untuk mengontrol kepala daerah, namun di sisi lain menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Agar lebih konstitusional, mekanisme pemakzulan harus:
- Berbasis hukum yang jelas dan objektif.
- Mengurangi intervensi politik yang tidak perlu.
- Memberikan peran lebih besar kepada lembaga peradilan independen.
- Menjamin kedaulatan rakyat sebagai sumber utama legitimasi.
Tanpa perbaikan, mekanisme pemakzulan kepala daerah berpotensi menjadi alat politik untuk menjatuhkan lawan, bukan sebagai sarana menjaga integritas penyelenggara pemerintahan daerah. Pada akhirnya, menjaga konstitusionalitas pemakzulan bukan hanya soal aturan formal, tetapi juga soal menjaga demokrasi lokal sebagai fondasi keutuhan negara. Insyaallah.