UIN Sunan Ampel Surabaya
December 26, 2025

KONSEPMU SEPENTING AKSIMU

KONSEPMU SEPENTING AKSIMU

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Malam itu semua peserta mulai kembali ke mode khusyuk. Usai bertepuk tangan meriah. Karena laporan pertanggungjawaban diterima untuk seluruhnya. Tanpa catatan. Kekhusyukan itu makin tinggi tatkala acara berlanjut ke kalimatul khitam. Sambutan penutup dari sidang pleno laporan pertanggungjawaban. Bahasa popularnya, LPJ. Penyampainya adalah Ketua Dewan Pertimbangan kala itu, Prof. Dr. KH. Makruf Amien. Isinya adalah nasehat mulia. Untuk pengembangan organisasi ke depan. Termasuk pesan bagi pengurus mendatang. Khususnya dalam menunaikan amanah yang akan diberikan.

Acara sidang pleno di atas terjadi di organisasi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena merupakan organisasi keulamaan, maka nasehat dan pesan Ketua Dewan Pertimbangan selalu ditunggu untuk diindahkan. Malam itu, semua mata memandang ke arah depan. Ke panggung persidangan. Kuperhatikan semua peserta sidang pleno itu menyimak penuh seksama. Mereka buka lebar-lebar telinga. Mereke juga konsentrasikan pikiran mereka. Setiap kalimat yang disampaikan kyai yang mantan wakil presiden itu dicerna habis semua. Bahkan, setiap diksi yang dipakai tak lepas dari catatan tebal mereka.

Mendadak seisi ruangan menjadi terhening. Para peserta tampak semakin seksama. Untuk menyimak petuah penuh makna. Itu khususnya saat Sang Ketua Dewan Pertimbangan MUI kala itu sampai pada kalimat berikut ini: “Konsep tanpa aksi, itu ilusi. Dan aksi tanpa konsep, itu sensasi.” Hadirin pun tampak terkesima kuat dengan kalimat ini. Aku pun mencatatnya. Apalagi, kalimat itu diucapkan berulang hingga dua kali. Pengulangan itu menandakan ada yang penting sekali yang ingin dipesankan oleh kalimat itu. Dan, para peserta pun sangat sadar atas makna pengulangan itu. Karena itu, simak penuh seksama mereka lakukan kala sang kyai sepuh itu menyampaikan kalimat magis itu.

Pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah, mengapa kalimat itu harus disampaikan? Pertanyaan ini makin bernilai tinggi saat dikaitkan dengan fakta berikut: bahwa kalimat petuah itu disampaikan oleh sang kyai itu lebih-lebih pada saat memberikan pengarahan pada kalimatul khitam. Tentu kita pun segera akan menyadari, lalu mengatakan: pasti ada rahasia penting yang sedang ingin dipesankan. Sebab, kalimat pesan itu menemukan momentumnya. Disampaikan saat semua orang yang menjadi bagian dari organisasi keulamaan itu berada pada ujung masa khidmat sebelum mereka memasuki masa khidmat berikutnya.

Tentu saja, konteksnya adalah kepemimpinan dan sekaligus kepengurusan. Dan, latar belakangnya memang terjadi di organisasi keulamaan bernama MUI. Namun, sejatinya, substansi dari pesan pada perisitiwa itu tak hanya terbatas pada urusan kepemimpinan dan kepengurusan di organisasi keulamaan itu saja. Melainkan juga bisa melebar dan berlaku untuk semua organisasi. Termasuk kepemimpinan spesifik yang ada di dalamnya. Atas dasar pemikiran inilah, tulisan ini dilahirkan. Kepentingannya untuk mengartikulasikan lebih lanjut serta mengamplifikasi pesan penting yang dikandung oleh kalimat petuah di atas. Organisasi apapun, dan kepemimpinan apapun, serta kepengurusan apapun bisa mengambil hikmah dari petuah mulia di atas.

Kepemimpinan Yang Kuat

Kalimat petuah di atas mengirimkan pesan penting tentang kepemimpinan yang kuat. Selama ini memang diskusi soal kepemimpinan yang kuat itu muncul karena ada individu yang dianggap memiliki kekuatan fisik atau finansial beserta segala pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam bahasa Baratnya disebut dengan strongman. Karena itu kemudian diskusi tentang kepemimpinan yang kuat selama ini diidentikan dengan pembahasan tentang strongman dalam konteks dan diskursus kuasa politik dan sosial (lihat disertasi Moh. Syaeful Bahar yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, Kiai dan Bejingan: Local Strongman Pasca Orde Baru, 2021). Dengan kata lain, apa yang disebut dengan kepemimpinan yang kuat itu selama ini diidentikan dengan kepemilikan atas kekuatan fisik atau finansial yang berimplikasi terhadap kuasa pengaruh sosial politik.

Nah apa yang kini kita diskusikan dengan istilah kepemimpinan yang kuat itu sederhana sekali. Bahkan cenderung berbeda dengan apa yang disebut dengan konsep strongman di atas. Kepemimpinan yang kuat dalam pembahasan yang ada di hadapan pembaca terkini adalah kepemimpinan yang kuat di konsep dan kuat pula di aksi. Urusannya adalah kekuatan pikiran dan tindakan. Itu nama lain dari kekuatan konsep dan aksi. Jadi, kepemimpinan yang kuat dalam pembahasan ini tak ada kaitannya dengan kepemilikan atas kekuatan fisik atau finansial.

Karena itu, pembahasan tentang kepemimpinan yang kuat perlu digeser dari diskursus kekuatan fisik atau finansial dalam kuasa sosial politik di tengah-tengah masyarakat, seperti yang diwakili oleh anggitan strongman di atas. Digeser ke mana? Digeser ke pembahasan mengenai kekuatan konsep dan aksi. Yakni, kekuatan pikiran dan tindakan, seperti diuraikan sebelumnya. Keduanya harus berkelindan. Keduanya harus mengait. Tak bisa dipilih salah satu tanpa menyertakan yang lain. Masing-masing dari keduanya harus hadir dalam kesinambungan yang kuat.

Mengapa keduanya harus berkelindan dalam kesinambungan yang kuat? Sebab, merujuk kepada alimat petuah di atas, “konsep tanpa aksi, itu ilusi”. Dan juga sebaliknya, “aksi tanpa konsep, itu sensasi.” Artinya, konsep tanpa aksi hanya bergerak dalam bayangan. Tak pernah membumi. Karena itu, akan miskin manfaat praktis. Karena yang dibahas dalam konsep hanya berhenti sebagai konsep dan tak pernah mengalami eksperimentasi dan konkretisasi di lapangan praktis. Dan sebaliknya, aksi tanpa konsep hanya untuk “gagah-gagahan” saja. cari perhatian saja. Pencitraan diri semata. Sebab, tak dilakukan dengan pendasaran yang kuat. Melalui konsep yang menjadi dasarnya.  

Maka, kepemimpinan yang kuat itu harus dibuktikan dengan kecakapan perencanaan yang hebat. Sebab, kalau sebuah program atau aksi konkret dalam kerja-kerja pemberdayaan atau pengembangan dilakukan tanpa konsep, maka ia cenderung akan sekadar mengejar sensasi. Akibat yang akan muncul pasti tak jauh-jauh dari efek kehebohan. Sebab, nilai manfaat yang akan muncul dari program atau aksi tanpa konsep itu tak menemukan jalan keteraturan dan kebersinambungan. Padahal, dua prinsip yang disebut terakhir ini menjadi prasyarat bagi lahirnya daya tahan sebuah nilai kemanfaatan.

Mengapa begitu? Karena, yang dikerjakan tidak diawali dengan perencanaan yang jempolan. Kebijakan yang diambil pun juga tidak diawali dengan konsep yang baik. Perencaan itu bagian dari konsep. Karena itulah, gagasan yang mulia harus dirumuskan ke dalam konsep. Dan konsep yang baik diawali dari perencanaan yang jempolan.  Hanya, perencanaan saja tidak cukup. Konsep saja tidak memadai. Karena itu, untuk suksesnya sebuah konsep, tidak ada yang bisa ditawar-tawar kecuali pengembangan kecakapan eksekusi. Artinya, kecakapan eksekusi adalah sebuah lanjutan dari kekuatan konsep yang dimiliki oleh sebuah kepemimpinan yang kuat.

Nah dalam konteks inilah, terdapat kebutuhan yang sangat real dalam kehidupan: kecakapan eksekusi. Yakni, kecakapan yang dicirikan dengan kemampuan untuk melaksanakan atau mengimplementasikan sebuah rencana program yang sudah disusun sebelumnya. Sebaik apapun perencanaan dan konsep yang dimiliki, praktiknya bisa sesuai yang direncanakan atau bahkan melenceng darinya. Karena itu, tetap saja bahwa semua perencanaan dan atau konsep membutuhkan kecakapan eksekusi.

Aras dasar itu, bisa dimunculkan argumen berikut: bahwa kecakapan eksekusi itu juga memiliki tingkat signifikansi yang serupa dengan kecakapan yang kuat di konsep. Tentu saja bahwa kecakapan eksekusi itu harus dilanjutkan pula ke kecakapan evaluasi. Yakni, kecakapan untuk melakukan evaluasi kinerja. Kepentingannya adalah untuk perbaikan dan peningkatan mutu pekerjaan. Sebab, semua butuh dilakukan evaluasi. Agar mutu yang baik bisa terjaga, dna bahkan ditingkatkan. Termasuk atas mutu yang masih kurang bisa dilakukan koreksi dan perbaikan. Begitulah gambaran bagaimana kecakapan evaluasi menempati posisi penting dalam diskursus kepemimpinan yang kuat.

Maka, kepemimpinan yang kuat yang diwujudkan dalam dua unsur penting, yakni konsep dan aksi, harus dipertemukan dalam satu titik dengan pengalaman lapangan. Nah pengalaman lapangan itu sebetulnya instrumen atau cara untuk mengukur kuat-tidaknya relasi antara kekuatan konsep dan kekuatan aksi. Sebab tanpa instrumen pengukuran yang baik ini, akan ada jarak antara kebutuhan bersama yang dirumuskan dalam sebuah konsep aksi nyata di dunia praktis. Semakin lebar jarak itu, semakin tidak bagus untuk efektivitas kerja lembaga. Begitu pula sebaliknya.

Karena itu, pesan dari kalimat petuah oleh pimpinan MUI seperti diuraikan sebelumnya di atas bisa dipahami dengan cara yang sederhana sekali. Begini bentuknya: tak boleh hanya omong-omong belaka. Harus kuat konsep dan aksi. Tak cukup hanya kuat di satu, tapi lemah di satunya lagi. Keduanya harus hadir bersamaan dalam sebuah kepemimpinan. Kehadiran keduanya dibutuhkan agar lembaga berdaya melalui kepemimpinan yang sudah ditetapkan. Di situlah pentingnya kepemimpinan yang kuat dalam konsep dan aksi. Karena gagasan yang cemerlang harus  bisa diturunkan ke dalam tindakan yang berarti. Dan, tindakan juga butuh konsep agar kuat pendasarannya untuk proses keberlanjutan, kesinambungan, dan bahkan “keabadian” dari nilai manfaat yang ditimbulkan.

Lalu Apa Pelajarannya?

Ada tiga pelajaran penting yang bisa ditarik dari kalimat petuah yang diberikan oleh seorang kyai sepuh di MUI di atas. Pertama, jangan pernah menyepelekan konsep dalam menjalankan tugas organisasi/lembaga. Sebab, konsep di situ berisi perencanaan yang baik, pertimbangan yang matang, dan bahkan skematisasi dari rencana aksi yang akan dijalankan. Semua tergambar dalam konsep yang dibikin untuk melaksanakan tugas organisasi atau lembaga itu. Nah dalam kaitan inilah, saat konsep yang berisi perencanaan hingga pertimbangan tadi dihilangkan, tentu sebuah pemikiran, program, atau konsep tidak akan memiliki nilai keberlangsungan yang cukup memadai.

Mengapa begitu? Karena, perjalanan sebuah kegiatan atau program dengan pemikiran yang bagus itu tidak mendapatkan rumusan tentang peta jalan implementasinya sesuai dengan yang dibutuhkan. Nah, konsep sebetulnya adalah pintu masuk terhadap peta jalan yang dibutuhkan. Karena itulah, nasihat jangan sepelekan konsep menjadi sangat penting untuk sebuah organisasi beserta kepemimpinan yang ada di dalamnya. Karena bagaimanapun, kekuatan pikiran dan atau gagasan akan mempengaruhi tingkat sukses dan tidaknya pelaksanaan. Karena itu, saat konsep sudah menjadi sebuah kebutuhan, tidak ada cara lain kecuali harus melakukan rumusan terhadap konsep itu. Dengan begitu, semua pemikiran, perencanaan, dan bahkan pertimbangan-pertimbangan yang harus dilakukan sebagai bagian dari awal mitigasi potensi resiko dan semacamnya bisa dilakukan secara baik. Di sinilah pentingnya konsep.  

Sebagai pelajaran kedua, jangan juga lupakan skema aksi dari sebuah gagasan. Sebab, sebagus apapun konsep yang disusun, tetap saja dibutuhkan pengujian atas nilai praktikalitasnya. Nilai ini menjadi kebutuhan dasar bagi sebuah organisasi. Sebab, perubahan tidak bisa diselesaikan hanya dengan sebuah konsep yang baik. Perubahan itu butuh landing secara baik di lapangan. Soal apakah soft landing ataukah hard landing, itu bergantung kondisi lapangan yang berlangsung. Tetapi, apapun kondisi yang ada dan mungkin akan dihadapi, skema aksi membuat konsep dan atau gagasan memiliki arti. Melalui apa? Melalui perubahan yang nyata kea rah lebih baik yang ditimbulkan oleh implementasi praktis gagasan dimaksud di lapangan.

Tetapi, perubahan itu butuh teknokrasi yang terukur nan efektif. Rumusan skema aksi, karena itu, menjadi kebutuhan nyata untuk menerjemahkan pemikiran, pertimbangan, dan bahkan narasi awal yang hebat. Nah, atas kepentingan itulah, skema aksi tidak boleh dilupakan oleh siapapun yang sedang diberi amanah kepemimpinan di sebuah organisasi. Sebab, skema aksi ini akan menguji tingkat kekuatan konsep untuk turun kepada efektivitas pelaksanaan. Saat skema aksi ini tidak terlalu kuat untuk bisa menurunkan nilai praktikalitasnya untuk sebuah perubahan dalam perilaku dan organisasi, tentu hal itu patut mendapatkan atensi dalam bentuk koreksi dan atau perbaikan. 

Sebagai pelajaran ketiga, biasakanlah berorganisasi dengan penyiapan diri yang kuat, baik di konsep maupun implementasi. Prinsip ini bisa begitu kuat dirasakan. Karena, seseorang yang sukses dalam berorganisasi dan atau berkarir biasanya memiliki pengalaman konsep yang sangat baik dan sekaligus juga pengalaman implementasi yang baik pula atas konsep itu. Sederhana sekali nalarnya. Tidak selalu yang ada dalam konsep itu terefleksikan dalam kehidupan nyata. Tidak sedikit justru kehidupan nyata itu keluar dari konsep-konsep yang dirancang dari awal.

Itu semua tak lain karena memang ada dinamika. Ada dinamisme yang melekat pada aktivitas manusia. Maka, kita diingatkan untuk selalu melakukan penyiapan diri yang kuat baik di konsep maupun implementasi. Organisaai atau lembaga apapun pasti membutuhkan orang dengan kacakapan yang tinggi pada dua unsur penting, yaitu konsep dan implementasi.Karena itulah, ada kebutuhan bagi kita semua untuk menerjemahkan kepemimpinan yang kuat ke dalam makna konkret dan relate dengan pekembangan terkini. Yakni, bahwa kepemimpinan yang kuat adalah yang kuat di konsep dan sekaligus juga di aksi. Kalimat petuah, seperti diuraikan sebelumnya, adalah pemantik pentingnya kepemimpinan yang kuat dalam konsep dan aksi.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA