
Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kebencanaan
Fakultas Sains dan Teknologi UINSA
Pagi itu saya merenung di laboratorium, di tengah tumpukan tabung reaksi dan hasil PCR. Di satu sisi, saya sedang meneliti ekspresi mikroRNA pro-inflamasi pada masyarakat pesisir yang terpapar mikroplastik. Di sisi lain, terngiang suara seorang ibu dari kampung nelayan yang berkata, “Saya percaya, Pak… asal saya berdoa dan makan bersih, anak saya akan sehat.” Sains dan iman. Tabung reaksi dan doa. DNA dan lingkungan. Apakah semuanya ini benar-benar terhubung?
Dalam dua dekade terakhir, kita hidup dalam dunia yang membanjir oleh teknologi, tetapi sekaligus dihantui oleh penyakit kronik yang tak kunjung reda: diabetes, hipertensi, kanker, autoimun. Banyak yang menyalahkan genetik. Tapi sains modern justru menunjukkan bahwa bukan gen yang sepenuhnya menentukan nasib kita, melainkan bagaimana gen itu diekspresikan. Di sinilah lahir cabang ilmu yang merevolusi biologi: epigenetik.
Epigenetik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana faktor eksternal seperti makanan, stres, polusi, bahkan pola asuh, bisa memengaruhi gen kita tanpa mengubah struktur DNAnya. Misalnya, jika seseorang hidup dalam lingkungan penuh sampah mikroplastik, makan tinggi gula, dan terus menerus cemas, maka gen-gen yang mengatur peradangan bisa terpicu aktif oleh molekul mikroRNA. Artinya, tubuh akan mengalami inflamasi kronik yang jadi pintu masuk banyak penyakit.
Yang mengejutkan, ekspresi gen ini ternyata bisa diturunkan ke generasi berikutnya. Jika hari ini kita acuh pada lingkungan, anak cucu kita bisa mewarisi konsekuensinya. Dalam istilah Qurani, ini adalah bentuk zulm terhadap keturunan.
Namun di balik itu, ada kabar baik: epigenetik bersifat reversibel. Artinya, perubahan gaya hidup, makanan sehat, ketenangan batin, dan lingkungan bersih bisa mematikan gen-gen buruk dan mengaktifkan gen pelindung. Di sinilah “doa” dalam arti luas sebagai bentuk ketundukan, harapan, dan perenungan memiliki tempat istimewa.
Sejumlah riset di bidang psychoneuroimmunology menunjukkan bahwa praktik spiritual seperti meditasi, salat khusyuk, dzikir mendalam, bisa menurunkan kadar sitokin inflamasi (seperti IL-6 dan TNF-α), memperbaiki ekspresi gen antioksidan, dan menenangkan sistem saraf. Dalam bahasa molekuler: doa yang tulus bisa berdampak pada jalur biokimia tubuh. Bukan magis, tapi ilmiah.
Islam, sebagai agama fitrah, sebenarnya telah lama mengajarkan keseimbangan antara tubuh, ruh, dan lingkungan. QS. Ar-Rum:41 menyebutkan bahwa kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia adalah peringatan agar kita kembali ke jalan yang seimbang. Tubuh kita adalah amanah, seperti halnya bumi yang kita injak.
Namun dalam dunia pendidikan, dikotomi antara sains dan agama masih terlalu lebar. Ilmu kesehatan dipisahkan dari nilai spiritual. Sementara ilmu tafsir jarang menyentuh sains molekuler. Padahal, riset epigenetik hari ini membuka peluang besar untuk menjembatani keduanya.
Di sinilah kampus seperti UINSA seharusnya mengambil peran utama. Dengan landasan integrasi keilmuan, kita bisa mendorong penelitian lintas bidang: biologi molekuler dengan fiqh lingkungan, kesehatan masyarakat dengan tasawuf ekologi. Kita butuh laboratorium yang tak hanya memeriksa DNA, tapi juga menyentuh kesadaran akan makna hidup sebagai khalifah.
Refleksi ini bukan romantisme. Ini adalah panggilan zaman. Ketika bumi semakin rusak, ketika penyakit makin tak terduga, kita harus berani bicara: jika doa dan lingkungan bisa mengubah ekspresi gen, maka menjaga lingkungan adalah bentuk tertinggi dari doa itu sendiri.
Mari kita jadikan epigenetik sebagai jembatan. Jembatan antara laboratorium dan masjid. Antara sains dan iman. Antara kampus dan kampung.
Karena di sanalah di antara doa dan DNA, kita menemukan kembali makna menjadi manusia.