Fakultas Ushuludin & Filsafat
November 20, 2025

Kemewahan Politik dan Upaya Pembusukan Agama

Kemewahan Politik dan Upaya Pembusukan Agama

Slamet Muliono Redjosari

Hancurnya tatanan nilai dimulai dari mereka yang hidup dalam kemewahan. Mereka memiliki kekayaan sehingga menjadi panutan, sekaligus sebagai pendulum tegaknya aturan. Akselerasi hancurnya tatanan nilai suatu negara justru ketika orang yang hidup dalam kemewahan itu melakukan pelanggaran. Aturan diubah dan menjadi alat untuk kepentingan politiknya. Hukum menjadi lentur karena diatur untuk memuluskan rencana besar mereka. Dari sinilah bencana politik berupa pembusukan agama. Dikatakan pembusukan agama, karena nilai-nilai agama disesuaikan dengan kepentingan mereka yang hidup mewah Korupsi dilegalkan dan dianggap biasa, penindasan dianggap kewajaran, dan kemiskinan dibiarkan tumbuh subur. Di saat rakyat menahan lapar, mereka justru berpesta, dan memamerkan gaya hidup melampaui batas. Seakan-akan dunia diciptakan khusus untuk mereka. Itulah awal pembusukan dan lahirnya bencana politik.

Pembusukan Agama

Akselerasi rusaknya suatu negara dimulai dari salah satu piramida tertinggi suatu negara. Piramida tertinggi itu merujuk pada mereka yang hidup dalam kemewahan. Mereka bisa jadi menjadi elite politik suatu negara, dimana dengan bisa leluasa menentukan arah negara. Sebagai pemegang kekayaan sekaligus kekuasaan, mereka bisa bertindak leluasa. Seolah-olah baik buruknya suatu negara, ditentukan oleh mereka yang hidup dalam kemewahan.

Dalam prakteknya, kerusakan massif suatu negara berawal dari mereka. Betapa tidak, mereka memiliki berbagai perangkat dan piranti yang bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentingannya. Allah pun menggambarkan apabila ingin menghancurkan suatu negara, maka Allah membiarkan kelompok yanghidup dalam kemewahan leluasa melakukan pelanggaran politik. Hal ini sebagaimana dinarsikan Al-Qur’an sebagai berikut :

وَاِ ذَاۤ اَرَدْنَاۤ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS. Al-Isra’ :  16)

Ayat ini menggambarkan hancurnya suatu negara karena mereka nyaman di singgasana kemewahan. Bahkan mereka berani melawan aturan Tuhan. Gelombang kerusakan begitu massif dan cepat ditentukan oleh mereka. Mereka tidak mengenal dosa, dengan terus menabuh genderang kerusuhan dan konflik di tengah masyarakat. Media dipakai membius, proyek publik diborong kroni, aparat dibungkam, dan kritik dilabeli musuh negara. Dengan kata lain, di hulu ada pembusukan nilai, di hilir, banjir nestapa.

Sejarah peradaban yang pernah rusak karena perilaku elite jahat ditunjukkan dengan kaum ‘Ad yang binasa ditimpa angin. Mereka hidup mewah dan penuh kesombongan hingga berani menentang ajakan Nabi Hud. Demikian pula dengan kaum Tsamud yang hancur setelah menistakan amanah dan menantang peringatan Nabi Shalih. Kebinasaan mereka dipelopori oleh mereka yang hidup dalam kemewahan. 

Contoh yang sangat dekat dengan tema “ekonomi-politik dosa” ada pada kaum Nabi Syuaib. Mereka mempraktikkan kecurangan timbangan, manipulasi harga, dan monopoli jalur distribusi, semacam kartel yang dilindungi kekuasaan. Ketika Syuaib menyeru kejujuran, elite memobilisasi ketakutan, dengan mengancam pengikut utusan Allah dengan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

وَقَا لَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لَئِنِ اتَّبَعْتُمْ شُعَيْبًا اِنَّكُمْ اِذًا لَّخٰسِرُوْنَ

“Dan pemuka-pemuka dari kaumnya (Syu’aib) yang kafir berkata (kepada sesamanya), “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu menjadi orang-orang yang rugi. (QS. Al-A’raf : 90)

قَا لَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لَـنُخْرِجَنَّكَ يٰشُعَيْبُ وَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَاۤ اَوْ لَـتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَا ۗ قَا لَ اَوَلَوْ كُنَّا كَا رِهِيْنَ 

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syu’aib berkata, “Wahai Syu’aib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.” Syu’aib berkata, “Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka?” (QS. Al-A’raf : 88)

Bahasa elite selalu sama yakni membungkus keburukan dengan istilah “kepentingan umum,” menjual ketidakjujuran sebagai “kestabilan.” Ketika narasi itu tidak mempan, mereka menggeser strategi dengan mengusir, mengintimidasi, dan memaksa kembali pada agama kekuasaan.

Pembusukan Agama

Fir‘aun merupakan contoh untuk menggambarkan kepentingan elite yang mendorong hancurnya negara. Birokrasi diubah menjadi piramida penindasan. Nyawa rakyat murah, proyek raksasa dibangun di atas keringat yang diperas. Ketika kebenaran datang, ia tidak berdebat, dan memilih untuk membungkam. Hasil akhirnya bukan kejayaan abadi, melainkan tenggelamnya rezim di lautan sejarah.

Negeri Saba’ juga mengingatkan sejarah kesombongan dimana elite mengkhianati amanah dan abai memelihara keadilan ekologis, kemakmuran yang dulu stabil runtuh seketika. Bencana bukan semata hukuman metafisik, ia juga konsekuensi logis dari tata kelola yang dilatarbelakangi kerakusan.

Pembusukan nilai oleh elite biasanya menempuh empat jalur akseleratif. Pertama, normalisasi dosa publik dimana suap disebut “uang terima kasih,” perampasan lahan disebut “penataan.” Kedua, pengkaplingan hukum: aturan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ketiga, kultus kemewahan dimana simbol-simbol berkilau dipakai untuk menutupi ruang kelas yang bocor dan puskesmas tanpa obat. Keempat, kriminalisasi akal sehat, jurnalis dikejar, peneliti dicurigai, ulama yang kritis diasingkan. Jika empat jalur ini berjalan bersamaan, keruntuhan tinggal menunggu tanggal.

Narasi ini bukan ajakan putus asa, melainkan ajakan waspada. Tanda-tanda kerusakan tidak selalu berupa gempa dan banjir; kadang ia hadir sebagai berita tender yang aneh, revisi regulasi di dini hari, atau pesta pora saat rakyat berduka. Ketika kita mengenali pola pembusukan nilai dari atas, kita sedang memutus mata rantai bencana politik. Sebab negeri tidak jatuh hanya karena musuh di luar; ia runtuh terutama ketika penguasa menukar kebenaran dengan kenyamanan, dan rakyat berhenti menegur.

Surabaya, 20 Nopember 2025

Spread the love

Tag Post :

Categories

Articles, Artikel, Column, Column UINSA