Dr. Slamet Muliono Redjosari
Kegelisahan Nabi Muhammad tidak bisa dipungkiri ketika menghadapi umatnya yang menuntut kehidupan hedonis. Di tengah perjuangannya menegakkan kebenaran dan menyebarkan wahyu Ilahi, Nabi justru berhadapan dengan umat yang menuntut bukti material berupa kekayaan dan harta, sebagai syarat keimanan. Fenomena ini bukan sekadar kisah sejarah, melainkan cermin bagi manusia modern yang terus mengukur kebenaran dari manfaat duniawi. Orientasi dunia yang berlebihan dapat memalingkan manusia dari makna sejati kehidupan dan menghancurkan nilai-nilai spiritual yang dibawa oleh kenabian.
Kegelisahan Nabi
Setiap nabi diutus untuk membawa pesan Ilahi yang menembus lapisan kesadaran manusia. Nabi Muhammad, sebagai penutup para nabi, menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Di satu sisi, beliau membawa risalah yang menuntun manusia pada tauhid dan akhlak mulia. Dalam konteks ini, nabi sangat gigih memperjuangkan tegaknya tauhid dengan contoh-contoh akhlak mulia. Namun di sisi lain, umatnya banyak yang memandang agama sebagai jalan untuk memenuhi hasrat hidup hedonis.
Ketika mendapati realitas umat yang berorientasi hedon, maka nabi pun sempat tergoda hingga terbetik dalam pikiran nabi untuk meninggalkan sebagian ayat guna mengikuti keinginan umatnya. Hal ini direkam dengan baik, sebagaimana firman-Nya :
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌۗ اِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌۗ
Artinya :
Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu menjadi sempit karena (takut) mereka mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang malaikat bersamanya?” Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah adalah pemelihara segala sesuatu (QS. Hud 12)
Ayat ini menggambarkan suasana batin Nabi yang diliputi kesempitan dada, bukan karena lemahnya iman, melainkan karena perasaan sedih dan kecewa menghadapi kaumnya yang menilai kerasulan berdasarkan ukuran duniawi. Mereka menuntut agar Nabi memiliki kekayaan, istana, atau malaikat pendamping sebagai simbol kebesaran. Padahal, inti dakwah kenabian bukan pada kemewahan, melainkan pada kebenaran yang menuntut pengorbanan dan ketulusan.
Kegelisahan ini mencerminkan pergulatan spiritual Nabi antara menyampaikan wahyu secara murni dengan tekanan sosial yang menuntut legitimasi duniawi. Dalam konteks sosial Arab kala itu, kemuliaan sering diukur melalui harta dan status. Maka wajar bila sebagian kaum Quraisy berkata sinis, “Seandainya Muhammad benar-benar utusan Tuhan, tentu ia memiliki kekayaan berlimpah.” Namun, risalah kenabian justru hadir untuk meruntuhkan paradigma materialistik itu. Nabi menegaskan bahwa misi kerasulan bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk memperkaya jiwa manusia dengan iman dan pengetahuan.
Sikap Nabi yang teguh, meski dituduh dan diremehkan, menjadi teladan bagi para pendakwah dan pemimpin moral sepanjang zaman. Kegelisahan beliau adalah bentuk kasih sayang yang mendalam terhadap manusia yang lebih mencintai dunia daripada kebenaran. Dalam pandangan profetik, kegelisahan bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kemanusiaan yang luhur. Beliau merindukan agar manusia kembali mengenal Tuhan, bukan tunduk pada benda dan status.
Dunia yang Menipu
Sudah menjadi tabiat manusia untuk mengejar dunia. Namun karena kemurahan-Nya manusia bisa meraih apa yang dikejarnya. Bahkan terkadang manusia mendapatkan kekayaan melimpah hingga seluruh hidupnya merasa sempurna.
Allah pun memberinya kehidupan yang berkecukupan dan berkelanjutan. Usaha dan bisnisnya lancar tanpa pernah merasa dirugikan. Dengan kata lain, orientasinya di dunia benar-benar mendatangkan kekayaan yang membuat dirinya semakin eksis. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ
Artinya :
Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. (Hud : 15)
Namun di tengah sukses dan melimpahnya dunia, ada ongkos yang harus dibayar. Mereka tersibukkan oleh aktivitas duniawi hingga terlalaikan untuk memikirkan kehidupan akheratnya. Oleh karena kekayaannya yang belimpah dan hidup sukses tanpa pernah gagal maka mereka berbuat apa saja tanpa ada nilai yang mengendalikannya. Hal inilah yang membuat dirinya berbuat menyimpang hingga terancam neraka. Hal ini sebagaimana dinarasikan Al-Qur’an berikut :
ولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya :
Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan (QS. Hud : 16)
Ayat ini merupakan teguran keras bagi manusia yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia memang memberi imbalan bagi usaha manusia: harta, kekuasaan, dan popularitas. Namun, semua itu hanya bersifat sementara dan semu. Orang yang hidup semata-mata untuk dunia sebenarnya sedang menukar keabadian dengan kefanaan. Dengan kata lain, mereka mendapatkan imbalan sesuai niatnya tetapi kehilangan segalanya di akhirat.
Dalam kehidupan modern, ayat ini menemukan relevansinya yang mendalam. Banyak orang mengukur kesuksesan dari sisi materi, seperti jabatan, rumah mewah, atau pengaruh sosial. Bahkan dalam dunia dakwah sekalipun, muncul godaan untuk menjadikan agama sebagai sarana popularitas dan keuntungan. Semua ini mengulang kembali kegelisahan Nabi, di tengah spirit menjaga kemurnian niat selalu ada godaan arus hedonism-materialisme yang deras.
Surabaya, 12 Nopember 2025