
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Otokritik itu dibutuhkan. Termasuk pada urusan keberagamaan. Simaklah arahan Menteri Agama RI, Prof, Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA pada Breakfast Meeting, Selasa (02 Desember 2025): “Kini muncul individualisation of religiosity. Keberagamaan kini lebih dianggap sebagai urusan individu, seperti di Barat. Kita lupa ada jamaah di situ.” Arahan yang bernada peringatan ini merupakan kritik kedalam oleh Menteri Agama kepada kaum beragama. Yakni, kritik yang berasal dari, dan diperuntukkan bagi, kaum beragama ke dalam diri mereka sendiri. Bahasa lainnya, mengkritik ke dalam diri kaum beragama sendiri.
Keberagamaan yang dimaksud dalam kaitan ini adalah praktik kaum beragama dalam menjalankan agamanya. Ungkapan lainnya yang lebih sederhana adalah praktik beragama. Dan bukan agamanya itu sendiri. Nah, praktik menjalankan ajaran agama ini yang menjadi subyek dan sekaligus obyek pembahasan dalam kaitan ini. Otokritik Menteri Agama di atas adalah pada praktik kaum beragama dalam mengamalkan ajaran agamanya. Istilah religiosity dan keberagamaan yang digunakan dalam ungkapan otokritiknya di atas merujuk kepada praktik menjalankan ajaran agama oleh kaum beragama itu.
Breakfast meeting sendiri merupakan pertemuan rutin dwimingguan. Diikuti secara luring oleh seluruh pejabat eselon satu dan dua di Kementerian Agama RI. Juga secara daring oleh Kepala Kantor Wilayah dan Kabupaten/Kota Kementerian Agama seluruh Indonesia serta rektor perguruan tinggi keagamaan negeri (PTKN) seluruh Indonesia. Total pesertanya bisa mencapai sekitar 1.000an. Pertemuan itu selalu dilaksanakan pada Hari Selasa pagi. Persis dimulai jam 06:00 WIB pagi hingga berakhir dua jam atau lebih kemudian. Dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama, dan diberi arahan langsung oleh Menteri Agama RI.

Pada setiap pertemuan, selalu dilakukan pembahasan serius terhadap satu permasalahan utama. Pemantiknya adalah presentasi desain kebijakan oleh masing-masing pejabat eselon satu di kantor Kementerian Agama RI secara bergantian untuk perpertemuannya. Selalu ada kertas kerja yang disampaikan untuk dibahas secara seksama. Usai presentasi dilakukan oleh seorang pejabat eselon satu itu, Sekjen memberi kesempatan kepada peserta luring untuk menanggapi dan atau memberi respon. Baru seusai tanggapan atau respon diberikan oleh peserta luring, giliran kesempatan berikutnya diberikan kepada para peserta daring. Lalu, diakhiri dengan arahan langsung oleh Menteri Agama.
Pada Breakfast Meeting di Hari Selasa (02 Desember 2025) kala itu, dibahas materi tentang peta jalan penguatan ekoteologi di seluruh bagian dari Kementerian Agama RI. Penyampainya adalah Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM), Prof. Ali Ramadhani. Peta masalah ekoteologi dibentangkan. Program intervensi ditampilkan. Hingga tantangan teknis pun juga diuraikan. Lalu tibalah giliran respon dan tanggapan diberikan. Semangat pun digelorakan. Tampak dari banyaknya respon dan tanggapan yang dilontarkan. Dan seusai semua respon dan tanggapan itu diutarakan, Menteri Agama pun menyampaikan arahan. Dari situ, langkah konkret lalu dimantapkan untuk diwujudkan.

Tapi, peringatan spesifik Menteri Agama dengan kalimat pernyataan seperti dikutip di awal tulisan di atas menyentakkan kesadaran bersama. Betapa agama tak sejatinya dibataskan kepada urusan privat. Istilah individualisation of religiosity yang dilontarkannya mengingatkan kita semua tentang fenomena sosial keberagamaan yang justeru cendeurng kepada privatisasi urusan agama. Istilah individualisasi dalam ungkapan Menteri Agama di atas adalah nama lain dari privatisasi. Keduanya menunjuk kepada pembatasan dan penurunan urusan agama hanya sebatas sebagai perkara individu semata. Tentu, istilah individualisation of religiosity itu diutarakan oleh Menteri Agama dalam rangka peringatan dini (early warning). Kepentingannya agar gejala itu tak berkelanjutan.
Islam dan Tanggung Jawab Sosial
Diskusi mengenai publik (public) dan privat (private) memang pernah mengemuka dalam tradisi sosial keberagamaan. Zaman Pencerahan yang bergerak pada rentang abad ke-17 hingga ke-18 menjadi saksi atas pergeseran diskusi mengenai domain agama. Sebelum era itu, agama cenderung menjadi produki dan konsumsi gereja. Diskusinya lebih banyak berkaitan dengan persoalan teologi semata. Titik episentrum produksinya tetap berada dalam kewenangan gereja. Tapi, sejak Zaman Pencerahan pada kurun yang disebut di atas, diskusi mengenai agama mulai masuk ke ranah publik. Pembahasannya tak hanya terbatas pada cakupan teologi semata, melainkan juga sudah mulai menyentuh otoritas akademik intelektual, sosial, ekonomi dan bahkan politik.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan rasionalisme, yang salah satunya memunculkan skeptisisme, telah mendorong pergeseran diskusi mengenai agama dari urusan privat ke publik. Bagian sentral di antaranya adalah munculnya gugatan atas dominasi elit agama, yang diwakili oleh kalangan pemuka gereja, dalam memaknai doktrin agama. Otoritas keagamaan pun juga ikut bergeser. Ada proses demokratisasi gagasan yang menandai dimulainya gejala mencairnya otoritas keagamaan itu; tak lagi secara dominan oleh kalangan elit agama, melainkan juga tersebar ke kalangan umum. Sekularisme pun lahir justeru dari proses mencairnya otoritas keagamaan ini.
Diskusi mengenai privat dan publik dalam urusan agama pun juga kembali turut berkembang. Awalnya ditandai dari dominasi privat lalu berkembang ke urusan publik, tapi kemudian kembali ada kecenderungan untuk melakukan privatisasi urusan agama. Konkretnya, urusan teknikalitas agama dipandang tak boleh keluar dari urusan privat. Sederhananya begini: perkara ke gereja atau tidak, itu urusan pribadi. Begitu pula halnya dengan penganut Islam: mau ke masjid atau tidak, itu dikembalikan murni sebagai urusan privat. Maka, sebagai konsekuensi logis dari pandangan semacam ini, kalau ada kebajikan dalam praktik sosial di ruang publik, kebajikan itu akan diklaim bukan sebagai kontribusi agama. Artinya, agama dipandang tak berkontribusi apa-apa pada kebajikan di ruang publik.
Justru di situlah letak problematiknya bagi keyakinan Islam. Karena keislaman kita tidak diukur semata dari baiknya ekspresi privat kita. Kenapa? Mari kita telaah bersama-sama. Kata “islam” itu beda dengan kata “silm” atau “salam”. Kata “islam” itu terambil dari kata kerja yang memiliki obyek (maf’ul) untuk kelengkapan maknanya (atau dikenal dengan fi’il muta’addi), yakni aslama (artinya “menyelamatkan” atau “menyebarkan kedamaian” atau “menyerahkan diri kepada”), dan bukan fi’il lazim (kata kerja yang tak butuh obyek untuk kesempurnaan maknanya). Kalau silm (yang artinya “kedamaian”), itu fi’il lazim. Juga kata salam (yang berarti “keselamatan”), itu juga fi’il lazim. Mengingat kata islam itu merupakan fi’il muta’addi, yang artinya ia memiliki obyek, maka keberislaman seseorang juga harus memberi dampak kepada lingkungannya, sosial atau alam.
Keberislaman juga bisa diukur dari tingkat keberserahan diri. Makna keberserahan diri yang dikandung oleh kata islam, seperti diuraikan di atas, bukan sekedar dalam konteks untuk kebaikan di ruang privat. Tidak dibataskan pada ruang personal semata. Melainkan harus diperluas dengan kekuatan outreach (penjangkauan) yang dimilikinya. Konkretnya, makna keberserahan diri harus juga memberikan kebaikan dan kedamaian pada ruang hidup bersama warga masyarakat. Nah, dalam konteks inilah kemudian ketika keberadaan Islam itu dipandang sebagai sebuah ruang privat semata, atau keberagamaan kita sebagai muslim itu hanya berada di ruang privat semata-mata, maka sebetulnya keyakinan atau pandangan seperti ini justru tidak seiring dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam itu sendiri sebagai sebuah ajaran agama.
Karena itu, penunaian tanggung jawab sosial menempati posisi sangat tinggi dalam Islam. Ajaran yang dikembangkan oleh Islam memberikan penekanan sangat kuat kepada penunaian tanggung jawab sosial dari individu muslim. Itu tak lain karena keislaman seseorang tidak saja bisa dilihat dari bagaimanakah dia baik di ruang privat hidupnya, tetapi sekaligus juga harus memberikan kebaikan pada ruang sosialnya. Nah, tanggung jawab sosial seperti ini justru menjadi idealisme dari ajaran islam, seperti yang menjadi esensi ruhiyah dari penggunaan kata islam seperti diuraikan sebelumnya.
Hamba dan Warga
Pandangan Islam mengenai tanggung jawab sosial di atas tak lepas dari cara agama ini memposisikan individu sebagai hamba dan anggota warga masyarakat. Dalam pandangan Islam, seseorang memiliki dua peran: warga dan hamba. Dalam perspektif peran sebagai warga, kesalehan sosial menjadi tuntutan. Bahkan, kesalehan sosial itu menjadi ukuran baik-tidaknya seorang Muslim. Dalam kaitan ini, akhlaq atau moral publik menjadi pertimbangan utama. Mengapa begitu? Alasannya sangat sederhana. Individu Muslim adalah bagian dari warga masyarakat. Sebagai anggota kewargaan, maka dia memiliki tanggung jawab sosial dalam mewujudkan dan sekaligus juga mempertahankan kebajikan di ruang hidup bersama.
Namun demikian, karena juga merupakan hamba Tuhan, maka seorang Muslim juga memiliki kewajiban individu. Kesalehan sosial memang penting, tapi itu saja tak cukup bagi seorang Muslim. Mengapa begitu? Itu karena, selain menjadi bagian dari warga masyarakat, dia juga merupakan seorang hamba yang memiliki tanggung jawab personal kepada Tuhannya. Karena itu, kesalehan pribadi tetap menjadi keharusan yang menuntut penunaian secara sama dengan kesalehan sosial. Kesalehan privat damn kesalehan sosial itu bukan untuk dipilih, melainkan untuk diintegrasikan agar bisa menjadi kekuatan diri seorang Muslim sejati.
Secara partikular, cara pandang seperti di atas bahkan menunjuk juga ke persoalan ibadah. Meskipun sebuah kegiatan masuk kategori ibadah ritual, tetap saja dimensi sosialnya tak sepatutnya dikesampingkan sama sekali. Sebagai contoh, shalat Jumat adalah bagian dari ibadah ritual. Setiap laki-laki mukallaf, di antaranya ditandai oleh unsur dewasa dan tanpa udzur, wajib untuk melaksanakannya. Itu karena, shalat Jumat adalah ibadah ritual yang menjadi kewajiban individu setiap laki-laki mukallaf dimaksud. Hanya, penyelenggaraan shalat Jumat tak sepatutnya menimbulkan gangguan jalan terhadap kebutuhan umum warga masyarakat secara luas.
Maka, mengatur lalu lintas di sekitar masjid, khususnya yang masuk kategori masjid besar di pinggir jalan besar pula, juga menjadi kewajiban yang tak boleh ditinggalkan karena akan menimbulkan gangguan atas kepentingan umum. Dengan begitu, melaksanakan shalat Jumat adalah kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing inividu Muslim. Tapi, menjauhkan jalanan di sekitar masjid dari gangguan jalanan, termasuk di antaranya dalam bentuk kemacetan yang akut, juga menjadi keharusan untuk ditunaikan demi menjaga kemaslahatan umum.
Karena itu, pemenuhan tanggung jawab seorang Muslim sebagai hamba dan warga ini harus seimbang. Tidak dikehendaki munculnya ketimpangan antara penunaian tanggung jawab sebagai hamba dan sebagai warga dimaksud. Tanggung jawab sebagai hamba tidak otomatis pudar oleh penunaian tanggung jawab sosial. Juga, penunaian tanggung jawab sebagai seorang hamba kepada Tuhannya tidak otomatis bisa mem-by pass tanggung jawab dia sebagai warga. Sebaliknya, penunaian tanggung jawab dia sebagai warga juga tidak otomatis kemudian meruntuhkan dan atau sekaligus juga menghilangkan tanggung jawab dia sebagai seorang hamba.
Kesalehan Berdampak
Rajinnya ibadah ritual seseorang di ruang privat memang baik. Rajin shalat atau puasa, sebagai contohnya, memang sungguh terpuji. Begitu pula dengan ibadah-ibadah ritual lainnya. Alasannya sederhana. Semua ibadah ritual personal itu bisa menjadi modal bagi terbentuknya kesalehan privat. Tapi, kesalehan privat seperti itu tidak membuat diri seorang Muslim terlepas atau bahkan hilang tanggung jawabnya untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga. Nah dalam konteks inilah, maka keseimbangan penunaian tanggung jawab sebagai hamba dan sebagai warga, sebagaimana diulasa sebelumnya, patut ditunaikan secara baik dan maksimal. Keseimbangan itu perlu dijaga secara kuat.
Berangkat dari konteks nilai dan prinsip inilah, patut dimunculkan istilah kesalehan berdampak. Istilah ini bagus sekali untuk diperkuat seraya merujuk ke konsep hulu yang disebut dengan keberagamaan berdampak. Apa yang disampaikan oleh Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dengan anggitan otokritiknya individualization of religiosity yang dibahas di atas, sebetulnya, pada saat yang sama mengandung dorongan kepada kita semua kaum beragama untuk melakukan dan memperkuat praktek keberagamaan berdampak. Karena itu, masing-masing kita sebagai kaum beragama penting untuk menyadari sepenuhnya bahwa kita tidak sepatutnya hanya mementingkan kebaikan diri sendiri, tetapi juga kebaikan sesama.
Maka, setiap kali individu beragama melakukan apapun yang menjadi bagian dari perintah agama di ruang privat haruslah pada saat yang sama juga memberikan ruang yang leluasa bagi dirinya untuk melakukan refleksi bahwa semua yang dilakukan harus memiliki, minimal disadari mengandung, dampak positif kepada lingkungan sosial. Nah dalam konteks inilah konsep keberagamaan berdampak tidak memberikan ruang yang leluasa kepada fenomena yang disinyalir oleh Menteri Agama dengan istilah individualization of religiosity di atas. Tak seharusnya ada prakik berpuas diri dengan kebaikan personal yang bisa didapat secara pribadi tanpa memikirkan kebaikan yang sama untuk sesama dan warga masyarakat luas.
Sederhana sekali argumennya. Menjadi religius itu penting. Tetapi, religius dalam konteks ini tidak boleh hanya berhenti di ruang privat untuk kepentingan diri sendiri. Religiositas dalam kaitan ini harus memberikan dampak untuk menciptakan kebajikan di ruang bersama saat individu dari kaum beragama bergerak bersama dengan warga secara keseluruhan. Nah disinilah, dan dari konteks serta konsep keberagaman berdampak inilah, lalu patut dimunculkan istilah kesalehan berdampak, seperti disinggung sebelumnya. Tentu praktik pemenuhan tuntutan untuk bisa menjadi pribadi yang baik harus kemudian disempurnakan untuk naik ke level berikutnya: memberikan dampak positif bagi kebaikan masyarakat.
Pemahaman yang sama harus juga dikembangkan pada aras sebaliknya. Yakni, bahwa kesalehan di ruang publik itu harus bisa menjadi perangkat bagi lahirnya kesalehan pribadi. Maka, setiap individu kaum beragama patut menyadari bahwa masing-masing dirinya adalah bagian dari unsur penting pembentuk warga masyarakat. Karena itu, Kebajikan di ruang publik harus mendorong pula individu kaum beragam untuk juga bisa menciptakan kebajikan di ruang privat melalui praktik kesalehan personal. Dengan idealisasi pada kaitan erat antara pribadi dan sosial ini, apa yang disebut dengan kesalehan harus memiliki dampak secara serius kepada penciptaan lingkungan sosial dan personal secara simultan.
Lalu Apa Pelajarannya?
Ada dua pelajaran penting bagi kita semua dari otokritik yang diberikan oleh Menteri Agama atas munculnya fenomena individualization of religiosity di atas. Pertama, hendaknya tidak ada pemikiran bahwa apa yang kita lakukan dalam praktik beragama itu hanya untuk diri kita. Keberagamaan kita harus kemudian diorientasikan sebagai bagian dari upaya untuk penciptaan ruang publik yang baik secara bersama-sama. Ini prinsip penting yang harus dilakukan supaya apa yang menjadi kebutuhan kita bersama untuk menciptakan ruang publik yang baik adalah menjadi konsentrasi juga dari keberagaman yang kita lakukan.
Kedua, hendaknya berkembang terus kesadaran bahwa selalu ada sesama atau orang-orang di sekeliling yang saling membutuhkan teladan (uswah hasanah atau role model) dalam praktik hidup. Maka, setiap individu dari kaum beragama penting untuk mendorong agama bisa menjadi rujukan. Lalu, bagaimana caranya untuk itu? Setiap individu dari kaum beragama penting untuk tidak cuek dan egois dengan mencukupkan praktik beragamanya hanya untuk kebaikan dirinya sendiri. Disebut-sebutnya istilah “kesalehan privat” atau “kesalehan personal” dalam berbagai paragraf di atas, sejatinya, mengirimkan pesan penting agar kecenderungan itu dijauhi dalam praktik hidup beragama. Ungkapan “kita lupa ada jamaah di situ” dalam ungkapan otokritik oleh Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA di atas mengandung pesan untuk menjauhi praktik individualisasi atau privatisasi keberagamaan dimaksud.
Ringkasnya, saleh secara pribadi harus disempurnakan dengan praktik saleh di ruang publik. Kesalehan pribadi harus kemudian memberikan dampak serius kepada kebaikan warga masyarakat. Karena bagaimanapun, munculnya fenomena individualisasi kesalehan atau individualisasi religiositas menandai lemahnya dampak sosial atas kesalehan yang dimiliki dan sekaligus diciptakan oleh individu masing-masing kaum beragama. Itu karena bagaimanapun, kesalehan yang dimiliki individu kaum beragama harus berdampak kepada penciptaan kebajikan di ruang publik.