
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Karakter sudah banyak diperbincangkan. Tapi saat dikaitkan dengan persoalan mendasar-filosofis tentang peserta didik, nah itu baru pikiran anyar. Maka pantas, pendidikan masih kerap dihadapkan dengan problem karakter. Itulah pesan yang kutangkap dari kalimat arahan Prof Dr. H. Suyitno, M.Ag., Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama RI. “Hari ini orang pinter banyak, tapi orang yang berkarakter yang masih kurang,” begitu pernyataannya untuk mengingatkan kita semua. Pernyataan itu disampaikan di hadapan para wisudawan di acara wisuda Universitas KH. Abdul Chalim (UAC) Mojokerto Jawa Timur pada Hari Ahad, 21 September 2025 yang lalu. Kebetulan aku sendiri juga hadir di acara wisuda itu, diundang dalam kapasitasku sebagai Koordinator Kopertais Wilayah IV Jawa Timur.
“Karena itu,” ujarnya lebih lanjut, “pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tapi juga lebih-lebih transfer of values.” Dia pun menguraikan panjang lebar mengenai kedua istilah tersebut dan implikasinya dalam kaitannya dengan gerak pendidikan. Menurutnya, kalau dimaknai sebagai transfer of knowledge, pendidikan lebih dibatasi hanya sekadar menyalurkan atau mengalihkan informasi semata. Yakni, dari guru ke siswa. Tapi kalau dimaknai sebagai transfer of values, pendidikan sejatinya lebih menitikberatkan pada pengembangan nilai yang menjadi standar hidup warga masyarakat di dalam kehidupan nyata.

Dalam perspektif pendidikan sebagai transfer of values untuk pengembangan karakter inilah, Dirjen Pendis itu lalu mengkritisi penggunaan kata peserta didik. Alih-alih dia menyembulkan kembali konsep murid. Kritiknya pada istilah peserta didik tak ada maksud lain kecuali ingin mengulik kembali dalamnya kandungan makna yang dimiliki kata murid dibanding selainnya untuk konteks pendidikan pada umumnya. Karena itu, dia lebih memilih kata murid daripada selainnya. Sebabnya ada dua. Pertama, kata murid menunjukkan curiosity atau kehendak belajar yang kuat daripada kata “peserta didik”. Ada nilai filosofis yang ada di balik kata murid itu. Yakni curiosity yang kuat. Dengan curiosity yang kuat itulah, maka murid memiliki modal penting untuk maju. Dan, itu yang menjadi batu bata spiritual penting untuk lahirnya karakter.
Kedua, penggunaan kata murid mengandung arti bahwa di dalam proses pendidikan akan selalu terdapat dua komponen penting. Yakni, selain murid, juga mursyid. Dengan keberadaan dua istilah substansial ini, maka di antara keduanya, dalam pandangan Dirjen Pendis di atas, akan terdapat ta’alluq (keterhubungan) atau ‘alaqah (hubungan) yang kuat. Ta’alluq atau ‘alaqah ini dibutuhkan untuk kepentingan pengembangan karakter murid. Jadi, penggunaan kata murid, menurutnya, membuat keterkaitan antara guru dan murid sangat kuat hingga tidak saja hubungan di antara mereka berkaitan dengan materi tapi juga nilai.
Makna Di Balik Kata
Karakter itu penting, dan semua sepakat. Karakter itu sangat strategis, dan tidak ada yang berselisih. Kita juga sering mendapati dan juga mendengarkan pernyataan banyak orang bahwa karakter itu utama. Karakter itu sangat strategis. Tetapi pernyataan yang disampaikan oleh Prof Dr. H. Suyitno, M.Ag., Dirjen Pendis Kementerian Agama RI di atas mengajak kepada kita semua untuk berpikir lebih mendalam dan tak sekedar mengatakan bahwa karakter itu penting. Bukan hanya itu. Tetapi, penting bagi kita untuk bahwa langkah untuk menelaah kembali betapa pentingnya karakter itu bisa dilakukan dengan cara merujuk serta menelaah kembali bangunan filosofis terhadap penggunaan kata murid. Inilah perihal baru yang diusung oleh pernyataan Dirjen Pendis di atas.
Kita selama ini kerap mendengar kata murid yang dipahami identik dengan pendidikan madrasah. Maka seluruh mereka yang belajar di pendidikan yang bernama madrasah disebut dengan murid. Tetapi secara nasional, kita juga mendengar istilah siswa, [apalagi kemudian yang lebih normatif kembali] kita mendengar juga istilah peserta didik. Nah, pernyataan Dirjen Pendis di atas mengajak kepada kita semua untuk melakukan telaah dan refleksi kembali terhadap makna filosofis di balik kata murid. Sebab, di balik kata murid itu terdapat kandungan makna yang mendalam.
Nah, karena itu, penting disebut bahwa penggunaan kata murid itu bukan tanpa makna. Ada kandungan makna mendalam yang sedang ditanamkan oleh para ulama terdahulu, atau para kiai kita zaman dulu. Termasuk oleh para pelaku pendidikan Islam di Indonesia pada zaman dulu. Sebab seperti disampaikan Dirjen Pendis di atas, begitu digunakan kata murid, di sana ada kehendak kuat pada diri mereka yang sedang menuntut ilmu untuk mempelajari, mengetahui, serta mendalami tentang sesuatu yang sedang menjadi kebutuhannya. Itulah yang oleh orang Barat disebut dengan academic curiosity (lihat Derek C. Vidler dan Hashim R. Rawan, “Construct Validation of a Scale of Academic Curiosity,” Psychological Reports, vol. 35 (1974): 263-266).

Nah, kata murid itu adalah isim fa’il yang terambil dari fi’il madli yang berupa arada. Artinya berkehendak kuat. Maka ketika menjadi isim fa’il, yakni murid, kata itu berarti man arada. Artinya, orang yang punya kehendak kuat untuk mengetahui, memahami, dan mendalami sesuatu. Karena itu, dalam pendidikan Islam seperti disampaikan oleh Dirjen Pendis di atas, begitu disebut kata murid, maka orang yang bisa men-supply atau mem-feeding informasi, materi, dan substansi yang menjadi kebutuhan mereka yang berkehendak untuk mengetahui lebih mendalam itu disebut dengan mursyid.
Mursyid itu bukan sekedar guru. Dirjen Pendis itu menyatakan bahwa mursyid itu adalah orang yang menjadi perantara dari kekuatan ilahiyah atas sampainya informasi ilahiyah kepada anak manusia. Karena itu, sejatinya, penggunaan kata murid dan sekaligus juga mursyid mengirimkan pesan penting bahwa pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan spiritual yang kuat antara orang yang sedang belajar dan orang yang sedang mengajar. Nah, dalam kaitan itulah, orang yang sedang belajar dan orang yang sedang mengajar, di sana dipersyaratkan adanya ‘alaqah atau ta’alluq seperti disampaikan Dirjen Pendis di atas.
Dipersyaratkannya ‘alaqah atau ta’alluq di atas berarti bahwa dalam pendidikan, adanya keterhubungan atau hubungan bukan sekedar dalam ranah penguasaan material semata, melainkan juga lebih-lebih hubungan eksistensial antara seseorang yang sedang belajar dengan orang yang sedang mengajarkan ilmu kepadanya. Keterhubungan dan atau hubungan yang demikian dalam bahasa orang modern diidentifikasi bukan sekedar sebagai transfer of knowledge, tapi lebih-lebih transfer of values.
Nah, argumen dari pernyataan Dirjen Pendis seperti ini merupakan sesuatu yang baru dalam pengembangan ilmu pendidikan. Maka, menjadi sesuatu yang sangat strategis bagi kita semua hari ini untuk melakukan refleksi mendalam atas kata murid dan implikasi praktisnya. Ketika kita memahami bahwa karakter itu penting bagi keberlangsungan anak bangsa di masa-masa yang akan datang, kita diajak untuk melakukan telaah dan refleksi kembali terhadap makna filosofis dari kata-kata murid. Lalu, jika ditanya kenapa murid? Jawabannya, karena di sana ada makna filosofis yang mendalam yang sedang dipesankan kepada kita semua
Lalu Apa Pelajarannya?
Ada tiga pelajaran penting yang bisa kita tarik dari penjelasan dan telaah kritis atas apa yang disebut dengan murid dan mursyid dalam argumen Dirjen Pendis Prof Dr. H. Suyitno, M.Ag. di atas. Pertama, sebagai mursyid dalam perspektif telaah ulang atas relasi murid dan mursyid dalam Pendidikan Islam, tugas yang harus diemban pendidik melebihi sekadar pemaknaan regular atas dua kata kunci, yakni guru dan dosen. Seperti yang menjadi perbendaharaan kebijakan di Indonesia, terdapat pembedaan cakupan makna antara guru dan dosen. Keduanya memang sama-sama pengajar, tapi dosen mendapatkan tugas lanjutan yang tak dibebankan kepada guru. Apa itu? Ilmuwan. Yakni memproduksi ilmu pengetahuan.
Nah, mursyid dalam makna yang dikandung melebihi cakupan makna guru dan dosen dalam perbendaharaan pemaknaan regular. Mengapa? Karena mursyid, seperti dijelaskan oleh Dirjen Pendis Prof Dr. H. Suyitno, M.Ag. di atas, juga menjadi sarana sampainya ilmu Allah kepada anak manusia yang bernama murid. Ada nilai spiritual yang mengikat antara pendidik dan yang terdidik. Nilai spiritual itulah yang dalam bahasa Dirijen Pendis itu muncul karena adanya ta’alluq atau ‘alaqah yang kuat antara pendidik dan yang terdidik, yakni antara mursyid dan murid.

Karena itu, sebetulnya, konsep mursyid itu melebihi cakupan istilah yang dikandung oleh cakupan makna dari istilah guru dan dosen. Walaupun semuanya itu sama-sama dalam konteks dan kepentingan sebagai pengajar, tetapi ada kedalaman makna yang berbeda. Maka ketika kemudian sekarang dikembalikan makna murid dan mursyid, maka sebetulnya di sana ada kepentingan untuk melakukan pendalaman terhadap apa yang menjadi bagian dari tugas penting di dunia pendidikan. Yakni, pengembangan karakter pada diri setiap anak bangsa.
Nah, karena itulah, siapapun yang sedang bertugas sebagai guru atau dosen, maka sejatinya harus bisa mendatangkan nilai spiritual yang akan mengikat antara dirinya dan mereka yang sedang belajar kepadanya Kenapa? Karena nilai spiritual itulah yang akan mengantarkan seorang yang sedang belajar itu untuk sampai kepada nilai keberkahan yang dimiliki oleh pendidikan yang sedang dilakukan oleh seorang pendidik. Apakah pendidik itu bernama guru, dosen atau yang disebut dengan mursyid.
Sebagai pelajaran kedua, menyusul konsekuensi lanjutan sebagai mursyid dalam perspektif pemaknaan di atas, maka siapapun yang menjadi pendidik tak boleh sembarangan dalam memproduksi gagasan. Tak boleh sembarang melahirkan kalimat, ujaran, dan tulisan. Bahkan juga termasuk dalam ranah tindakan dan perilaku. Mengapa begitu? karena setiap yang terucapkan, terujarkan, dan tertuliskan, bahkan juga yang terlakukan, akan segera ditangkap oleh murid sebagai panduan atau arahan dalam hidup.
Mengapa begitu? Karena mursyid itu akan memiliki fungsi untuk memberikan arahan dan panduan bagi orang yang belajar kepada dirinya. Dan, mereka yang sedang belajar kepada dirinya itu memiliki kapasitas sebagai murid yang memiliki kehendak besar untuk mengetahui dan mendalami atas sesuatu. Nah, karena itulah, maka siapapun hari ini yang berprofesi sebagai pendidik, apakah bernama guru ataukah bernama dosen, maka harus hati-hati untuk menjaga ucapan, menjaga ujaran, dan juga menjaga tindakan.
Kenapa? Karena di ruang yang kita sekarang menikmati perkembangan teknologi informasi digital yang luar biasa ini, peserta didik kita ini, siswa kita ini, murid kita ini, atau mahasiswa kita ini, sekarang tidak sekadar bisa lebih cepat untuk mendapatkan informasi. Tapi sekaligus mereka juga mendapatkan banyak varian yang bisa mereka rujuk sebagai guru/dosen. Maka kalau kemudian kita gagal tampil sebagai sumber nilai atau teladan baik dalam ucapan, ujaran, tindakan, maka mereka yang sedang belajar kepada kita, apakah siswa atau mahasiswa, akan kehilangan role model pula. Kalau kemudian role model ini tidak bisa didapatkan dari figur seorang pendidik, maka mereka akan mencari figur pendidik dengan caranya sendiri.
Ini yang justru menimbulkan nilai bahaya. Mengapa? Karena, cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digital membuat peserta didik kita ini akan dengan mudah bisa mendapatkan informasi. Bahkan sekarang informasi itu tidak perlu dicari karena informasi itu datang sendiri. Kekuatan para siswa dan atau mahasiswa hari ini justru ditakar oleh kemampuan untuk mencari dan mengelola informasi sebaik mungkin. Penyebabnya adalah karena begitu banyaknya informasi yang datang bertubi-tubi dalam perspektif kognitif dan sekaligus pengalaman sosial di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, siapapun yang bertugas sebagai pendidik tidak boleh kehilangan teladan di mata anak-anak didiknya. Sekali lagi karena mereka kalau tidak mendapatkan teladan pada figur pendidiknya, maka mereka akan bisa mencari jalan untuk mendapatkan guru dengan caranya sendiri.
Ketiga, membangun karakter murid adalah bagian tak terpisahkan dari ruh pendidikan yang harus dijalankan oleh pendidik. Itu tak lepas dari posisi pendidik yang sekaligus menjadi mursyid dalam hubungan interaksionalnya dengan murid. Karena itu kemudian, siapapun kita yang sedang dalam posisi mendidik [dan apapun materi yang diamanahkan untuk ditunaikan dalam proses pembelajaran atau perkuliahan] punya kewajiban yang sama untuk juga mengembangkan karakter murid.
Sejumlah orang mengatakan, mengajar itu tidak sama dengan mendidik. Dalam Bahasa Arab mendidik itu berpadanan dengan kata tarbiyah, sedangkan mengajar itu ta’alim. Lalu pertanyaan yang penting diajukan, jika memang ta’alim itu berarti mengajar dalam bentuk hanya transfer informasi atau ilmu pengetahuan semata, dan tidak ada kaitannya dengan persoalan nilai substansial, mengapa al-Imam Az-Zarnuji memberikan nama kitab yang dia karang dengan judul Ta’lim al-Muta’allim? Bukankah isi dari kitab itu bukan persoalan materi informasi atau pengetahuan, tapi persoalan nilai yang kemudian diinstrumentasi, lalu bisa menjadi materi pembelajaran?
Bukankah kitab Ta’lim al-Muta’allim di atas justru sangat sarat dengan nilai? Karena itu, al-Imam Az-Zarnuji tidak salah bahwa kata ta’alim yang dia gunakan dalam kitabnya di atas juga menunjuk bukan sekedar transfer informasi atau ilmu pengetahuan semata, tapi di dalamnya juga menanamkan nilai kepada para peserta didik. Penggunaan kata ta’lim di situ bukan salah pasang. Bukan salah tempat. Justru itu menjadi bukti bahwa argumen yang mengidentikkan kata ta’lim dengan hanya bicara tentang alih informasi dan materi pengetahuan semata justru sangat baseless. Tidak kuat dasarnya. Alih-alih, kata itu digunakan dalam kitab itu justru untuk berbicara tentang nilai atau values.

Karena itu, karakter bukan sekedar persoalan orang tua. Karakter bukan juga persoalan orang dewasa. Akan tetapi, karakter itu persoalan kita semua. Maka, mereka yang dalam posisi sebagai orang dewasa, apalagi profesinya adalah pendidik, apakah bernama guru ataupun dosen, tidak sepatutnya kemudian mengesampingkan kepentingan pengembangan karakter dan nilai pada perkembangan diri muridnya. Penting lalu untuk menjadikan bahwa karakter adalah bagian esensial yang tak terpisahkan dari praktek pendidikan yang dijalankan.
Semua kita yang berada dalam profesi sebagai pendidik penting untuk menjadikan apa yang kita lakukan dalam tugas sebagai pendidik itu untuk selalu disinkronisasikan dengan kebutuhan untuk mengembangkan karakter. Karena pengembangan karakter pada diri anak tidak semata-mata atau hanya bisa dilakukan dengan pembelajaran agama. Tentu tidak. Justru, itu semua bisa kita lakukan dalam mata kuliah atau mata pelajaran apa saja. Itu tak lain karena nilai itu bisa diajarkan melalui matematika. Nilai juga bisa diajarkan melalui arsitektur. Nilai juga bisa diajarkan melalui tata keilmuan sosial.
Maka karakter bukan sekedar tugas dari guru yang terkait dengan pembelajaran agama. Alih-alih, karakter menjadi tugas seluruh guru yang ada di tengah-tengah lembaga pendidikan. Tak ada pembedaan satu atas lainnya. Tak ada pengecualian satu atas selainnya. Semua sama. Itu semua dibutuhkan untuk memperkuat bahwa saat kita bicara karakter, kita butuh murid dalam cakupan makna yang terbaru, yang kritis untuk sekaligus menjadi bahan refleksi untuk kita semua.
Sejarah memang penting. Bisa memberi pelajaran berharga. Betapa perjalanan hidup manusia tak bisa dipisahkan dari standar nilai. Itu yang kemudian dikenal dengan karakter. Nama lainnya akhlaq. Atau moral. Mengapa? Karena standar nilai dimaksud harus mengejahwantah dan menyatu dalam diri insani. Ia dibutuhkan untuk menjadi bagian dari cara berpikir, bersikap dan bertindak. Jika tidak, maka, gerak laku anak manusia akan tercerabut dari akar nilai yang menjadi pembentuk kemanusiaannya. Prof Dr. H. Suyitno, M.Ag, Dirjen Pendis, mengingatkan kita semua melalui arahan kritisnya tentang pentingnya kata murid untuk digunakan dalam penyebutan peserta didik di atas bahwa karakter adalah segalanya.