Prodi Sejarah Peradaban Islam
July 31, 2025

Janji Melayu dan Slow Living di KLIA

Janji Melayu dan Slow Living di KLIA

Janji Melayu. Istilah ini kembali penulis dengar dari Mas Afir yang menemani perjalanan kami bersilaturahim ke kediaman salah seorang sahabat di Chow Kit, Kampung Baharu, Kuala Lumpur, Malaysia. Istilah yang sudah cukup akrab di telinga, tetapi selalu saja menyulut ketidaknyamanan bagi korbannya. Bagaimana tidak, janji Melayu adalah praktik tidak menepati sesuatu sesuai yang dijanjikan, terutama terkait masalah waktu. Padanan katanya di Indonesia mungkin ‘ngaret’ atau ‘jam karet’. Misal berjanji untuk datang menjemput jam 8 pagi, tetapi ternyata baru tiba selewat waktu itu. Maka tak heran jika janji Melayu ini sering dilawankan dengan istilah janji Islam. Kok bisa? Bukankah orang Melayu itu identik dengan orang Islam? Yeps! Terkesan kontradiktif memang. Tapi itulah fakta bahasanya. Ajaran Islam yang sangat menaruh perhatian soal waktu dan juga wajibnya menepati janji, justru dalam praktiknya tidak sesuai dengan apa yang ada di kehidupan keseharian pemeluknya. Kata Melayu di sini dipakai dengan konotasi yang bertolak belakang dengan Islam. Dengan demikian, janji Melayu bukanlah praktik yang patut dibanggakan apalagi dilestarikan. Ini praktik yang tidak baik. Bahkan, menjadi bahan candaan pun seharusnya tidak dilakukan. Bagi bangsa Melayu, ini tentu stigma negatif dan memalukan. Sementara tak semua orang Melayu pasti berperilaku demikian.

Tapi apa mau dikata. Istilah ini sempat menjadi bahan candaan ketika kami berada di bandara KLIA menuju kepulangan kembali ke Indonesia. Saat cetak tiket pesawat, keluar jadwal baru yang mengubah jadwal semula. Dari yang seharusnya berangkat (departure) jam 21.50 menjadi baru masuk boarding jam 02.50 hari berikutnya. Seketika itu pula, kami merasa menjadi korban janji Melayu untuk yang kesekian kalinya. Haha!Sambil tertawa. Tepatnya menertawakan diri sendiri. Kami menghibur diri dengan cara insyaf diri. Tetap berprasangka baik, sembari terasa seperti berprasangka buruk pada diri sendiri. Ada celetukan, “Sesuai amal ibadah masing-masing!” Suara tawa itu menjadi terasa seperti hukuman dengan sakit tak berdarah. Tapi setidaknya situasi itu bisa membawa kami untuk melantunkan istighfar sekaligus hamdalah berkali-kali atas apa yang telah menjadi takdir, meski awalnya tak dikehendaki. Celetukan lainnya, “Ini sudah resiko. Maklum, penumpang kelas proletar. Gak usah sambat!” Kembali tawa membuncah. Kali ini seperti percikan air untuk menggugah kami dari lelap tidur di siang hari. Tersadarkan. Ternyata kami masih bagian dari kelompok sosial yang dalam istilah populer lainnya: Melayu Blangsak. Dalam bahasa gaul di Indonesia: Kismin! Terkonfirmasi dari maskapai low budget yang menjadi paket pilihan kami dalam perjalanan ke negeri jiran ini. Kalau tidak kismin, pasti akan berbeda preferensinya. Rego nggowo rupo!

Menyadari masih harus menunggu lama. Penulis menjadi berkesempatan menikmati lalu lalang orang. Sebagian tampak bersantai di kursi tunggu. Mungkin lelah, atau karena bernasib serupa. Entahlah. Tapi sebagian lainnya terlihat tergesa-gesa bahkan berlari dengan tas koper bawaannya. Mungkin tengah mengejar boarding time yang segera tutup. Ya, sekian kemungkinan hilir mudik di depan mata. Tapi […] asyik juga. Dan ini menariknya. Bisa berdiam sejenak. Tak perlu terburu-buru. Bisa menghela nafas dengan tenang. Menikmati hembusan udara yang mengalir perlahan-lahan. Melihat macam ragam manusia berseliweran. Dari warna kulitnya. Bentuk rupanya. Bahasanya. Cara berpakaiannya. Perbedaan yang kasat mata. Belum yang tak kasat mata. Apa yang membawa mereka bepergian hingga diperjumpakan di tempat ini di waktu yang sama? Kemana tujuannya? Di mana muara perjalanan mereka semua? Masih jauhkah? Atau ibarat langkah, sudah tiba di pelataran rumah? Sementara dikatakan: لا تتحرك ذرة إلا بإذن الله, tiada sebutir partikel pun yang mampu bergerak kecuali atas izin Allah. Maka seluruh yang bergerak mengalir ini, yang tampak di mata, yang terdengar di telinga, yang membisik di relung jiwa, dan yang membekaskan rasa di dinding sukma, hakikatnya adalah ‘penampakan’ kuasa dan kehendak Tuhan semata.

Slow Living. Konsep ini tetiba mampir di ingatan penulis. Sebuah alternatif sekaligus seni menjalani hidup di dunia yang sedang terobsesi dengan kecepatan. Moda slow living mengajari kita untuk berani berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri. Menyoal tentang hal-hal yang prioritas dan fundamental bagi kebermaknaan hidup. Momen yang bisa membantu seseorang untuk menyegarkan dan menjernihkan kembali kesadarannya atas tujuan eksistensialnya. Bukan untuk menjadi tumpul produktivitas atau menjadi tidak efisien, tetapi sebaliknya. Artinya, memilih sementara waktu ‘menjadi lambat’ bukan karena malas, tetapi sengaja untuk menata kembali ritme hidup agar tidak tertawan oleh kelelahan dan kebosanan. Intinya, agar kita tidak terjerumus dan lalu membusuk dalam kubangan yang diistilahkan oleh Byung-Chul Han, sebagai ‘masyarakat yang sedang mengalami kelelahan’ (The Burnout Society, 2015). Di titik ini, kita membutuhkan salah satunya apa yang Han sebut sebagai the pedagogy of seeing. Cara melihat realitas dengan penuh ketenangan, kesabaran, serta membiarkan segala sesuatu datang menghampiri kita (getting your eyes used to calm, to patience, to letting things come to you). Cara yang akan memampukan kita untuk memiliki perhatian yang mendalam dan kontemplatif terhadap kenyataan.

Membaca Han, kita akan dibawa untuk memahami jika masyarakat abad 21 ini adalah masyarakat yang sedang sakit. Dikatakannya:  

Twenty-first-century society is no longer a disciplinary society, but rather an achievement society [Leistungsgesellschaft]. Also, its inhabitants are no longer “obedience-subjects” but “achievement-subjects” […]. Disciplinary society is a society of negativity. It is defined by the negativity of prohibition […] Achievement society, more and more, is in the process of discarding negativity. Increasing deregulation is abolishing it […] Prohibitions, commandments, and the law are replaced by projects, initiatives, and motivation. Disciplinary society is still governed by no. Its negativity produces madmen and criminals. In contrast, achievement society creates depressives and losers.

Di tengah keriuhan bandara KLIA, penulis lantas bertanya-tanya, selain para korban janji Melayu, apakah di antara mereka juga ada orang gila (madmen), penjahat (criminals), orang-orang depresi (depressives), dan para pecundang (losers) sebagaimana yang diidentifikasi oleh Byung-Chul Han? Ataukah kami, jangan-jangan … “Astaghfirullah.”
__________________
Ditulis oleh Dr. Nyong Eka Teguh Iman Santosa, M.Fil.I.
Kaprodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Spread the love

Tag Post :

ayo kuliah di prodi spi uinsa, BANGGA UINSA, fahum meroket, prodi sejarah peradaban islam uinsa, prodi spi uinsa keren, prodi spi uinsa unggul

Categories

Articles, Artikel, Column, Column UINSA, الكتابة