Integrasi Sains dan Ilmu Agama: Pendidikan Transendental
oleh Prof. Nur Syam, M.Si.
(Guru Besar Prodi Pengembangan Masyarakat Islam)
Ilmu Pendidikan Islam dan ilmu Pendidikan tentu berbeda. Kata Islam itu menjadi pembeda yang sangat mendasar. Kata Islam bukan sekedar penekanan, akan tetapi memiliki basis filosofis, epistemologis dan aksiologis yang membedakan keduanya. Di antara yang membedakan secara ontologis atau what is adalah value atau nilai yang dikandung dan menjadi basis bagi ilmu Pendidikan Islam. Dimensi Islamic value kemudian menentukan tentang dimensi epistemologis dan tentu saja aspek aksiologisnya.
Memang, masih ada dikhotomi penempatan Pendidikan Islam; apakah berada di dalam rumpun ilmu social ataukah rumpun ilmu agama? Saya kira di kalangan internal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan juga masih ada silang pendapat. Ada yang lebih nyaman berada di dalam rumpun ilmu social sejajar dengan sosiologi, antropologi, ilmu politik, dan sebagainya. Ilmu Pendidikan Islam merupakan bagian dari Ilmu Pendidikan. Cukup menjadi ranting ilmu saja dari cabang ilmu pendidikan. Sementara juga ada yang menganggap sebagai bagian dari rumpun ilmu agama. Menjadi cabang dari ilmu agama. Pendidikan Islam merupakan terjemahan dari Ilmu Tarbiyah. Jadi, posisinya sama dengan ilmu dakwah, ilmu tafsir dan sebagainya.
Saya sampai pada pemahaman bahwa Pendidikan Islam adalah bagian dari ilmu keislaman atau cabang dari ilmu agama. Hal ini tentu terkait dengan sasaran kajian Pendidikan Islam adalah sasaran khusus proses mendidik masyarakat Islam agar menjadi masyarakat yang cerdas dalam variasi kecerdasan untuk menghasilkan produk manusia yang utuh lahir dan batin. Inilah yang membedakan dengan pendidikan dalam konteks ilmu “umum” yang tidak selalu menjadikan hal tersebut sebagai sasaran kajiannya. Pendidikan Islam dalam aneka ragamnya adalah “kewenangan” Kemenag di dalam pengelolaannya di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Di Indonesia terdapat kekhasan; Satu Sistem Pendidikan Nasional banyak atap. Ada atap kemendikdasmen, kemendikti, Kemenag, dan lain-lain.
Kita tentu bersyukur karena memiliki Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memberikan peluang bagi ilmu agama untuk eksis di tengah blantika ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia. Jika selama ini kita mengenal hanya ada tiga rumpun ilmu, yaitu ilmu alam, ilmu social dan humaniora, maka dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, kita memiliki enam rumpun ilmu, yaitu Ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu social, sains dan teknologi, ilmu terapan, dan ilmu formal. Dengan posisi agama sebagai ilmu otonom maka integrasi ilmu akan menjadi lebih variative.
Integrasi antara Pendidikan Islam dengan berbagai macam ilmu pengetahuan sudah terjadi dalam jangka yang sangat panjang. Sudah lama kita disajikan dengan ranting ilmu Sosiologi Pendidikan Islam, Antropologi Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Politik Pendidikan Islam, Manajemen Pendidikan Islam, Hukum Pendidikan Islam dan sebagainya yang bercorak crossdisipliner atau yang multidisipliner. Bahkan ada juga yang interdisipliner, misalnya Tafsir Pendidikan Islam, Hadits Pendidikan Islam, Fiqih Pendidikan Islam, Akhlak Kependidikan, dan sebagainya. Interdisipliner terjadi karena terdapat integrasi ilmu dalam satu rumpun ilmu, sama-sama ilmu agama.
Sebagai ilmu yang berwatak integrative maka Pendidikan Islam dapat diintegrasikan dengan berbagai macam ilmu, dengan peluang mengangkat subyek kajian masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan didekati dengan teori-teori dalam ilmu tertentu. Atau bahkan juga bisa menjadikan relasi social atau relasi budaya dan tradisi di dalam masyarakat lalu didekati dengan teori-teori Pendidikan Islam. Hal ini dilakukan untuk memperkaya atas cakupan dan perspektif di dalam Pendidikan Islam.
Teori-teori sosiologi, misalnya fenomenologi, baik yang dikemukakan oleh Weber, Schutz maupun Peter Berger, dan Ponty akan dapat digunakan untuk menjadi perspektif dalam Pendidikan Islam. Teori etnometodologi, dramaturgi, interaksionisme simbolik, teori Tindakan komunikatif, hermeunetika, dan sebagainya akan dapat digunakan untuk mengkaji tentang fenomena Pendidikan Islam. Demikian pula teori solidaritas social, teori konflik dan teori rational choice juga dapat digunakan untuk mengkaji fenomena Pendidikan Islam.
Pendidikan juga terkait dengan kebijakan publik. Oleh karena itu, tentu teori kebijakan publik, misalnya teori behaviorisme, dengan proposisi bahwa pendidikan akan dapat menghasilkan perubahan perilaku melalui serangkaian tindakan reward and punishment dan untuk mengetahui perubahan perilaku tersebut harus digunakan pengukuran yang pasti. Kemudian juga teori kognitivisme, yang berproposisi bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai instrument untuk memahami proses kognisi seperti perhatian, memori, persepsi yang diakibatkan oleh proses belajar. Terdapat juga teori humanisme yang menyatakan bahwa untuk menghasilkan produk pendidikan yang unggul, maka diperlukan pemenuhan atas kebutuhan dan motivasi pembelajaran di dalam proses pembelajaran dan dapat diperkuat dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Lalu yang tidak kalah penting adalah teori konstrukstivisme yang menekankan pada student center di dalam pembelajaran dengan menekankan pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya untuk mengembangkan pengetahuan baru.
Teori-teori pendidikan ini tentu saja dapat dinegosiasikan dengan berbagai teori ilmu social, baik teori sosiologi, psikhologi, antropologi dan sebagainya. Dengan menjadikan ilmu Pendidikan Islam integrative maka pengembangan teori di dalam berbagai paradigma Pendidikan Islam akan semakin cepat terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
NB. Artikel ini diuanggah ulang dari laman
https://nursyamcentre.com/artikel/kelas_sosiologi/integrasi_sains_dan_ilmu_agama_pendidikan_transendental_/1