Pusat Mahad Al-Jamiah
July 24, 2025

INSPIRASI DARI PANGERAN DIPONEGORO

INSPIRASI DARI PANGERAN DIPONEGORO

Dr. Wasid, SS., M. Fil.I
(Sekretaris Pusat Ma’had al-Jamiah,

Dosen FAH UIN Sunan Ampel Surabaya)

Tanggal 20 Juli 200 tahun yang lalu, menurut beberapa catatan, sejarah mengungkap peristiwa yang sangat dahsyat dimulai tentang perlawanan anak bangsa terhadap prilaku dholim penjajah. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan perang Jawa (de Java Oorlog) atau perang Diponegoro yang berlangsung selama tahun 1825 hingga 1830. Dikatakan perang Jawa sebab yang dipertaruhkan adalah sepanjang teritorial Jawa, dan dikatakan perang Diponegoro sebab tokoh kunci sebagai penggerak utama perlawanan adalah Pangeran Diponegoro yang memiliki nama lahir Bendoro Raden Mas Mustahar.

Tulisan ini tidak akan menulis detail bagaimana perang ini berlangsung secara sinkronik atau diakronik antara Pangeran Diponegoro __bersama pasukan atau pendereknya__ dengan Belanda yang dipimpin oleh Hendrik Merkus, Baron de Kock (25 Mei 1779–12 April 1845). Intinya perang ini cukup membuat repot Belanda dan sangat melelahkan, bukan hanya menghabiskan biaya yang cukup besar untuk sekedar mengalahkan Diponegoro, tapi juga banyaknya korban dari kedua belah pihak. Catatan Peter Carey, misalnya, menyebutkan perang ini telah mengorbankan 200.000 penduduk Jawa, dan 8.000 tentara Belanda serta serdadu pribumi sebanyak 7.000.

Pangeran Diponegoro merupakan tokoh sentral dalam cerita perang Jawa sebab perlawanannya adalah perlawanan yang tidak sederhana, mengingat persenjataan Belanda lebih modern. Tapi memang, semangatnya untuk melawan harus diakui menjadi pemantik sendiri bagi keteguhannya pada prinsip bahwa jihad tidak bergantung pada kelengkapan logistik perang yang berimbang, tapi juga pada strategi perang dengan mempertimbangan kekuatan diri sendiri. Ungkapan Arab yang cukup dikenal dalam soal peperangan adalah al-harb khad’atun, perang itu tipu muslihat. Apapun bisa dilakukan dan dibenarkan dalam berperang, demi sebuah kemenangan.

Kecerdasan Diponegoro membaca keadaan geografis Jawa, sekaligus kemampuan logistik persenjataan yang tidak modern dibandingkan Belanda, mengantarkan Pangeran Diponegoro lebih memilih perang Gerilya, yakni strategi perang yang mengutamakan pengelabuhan, melakukan penyerangan secara mendadak dan melakukan taktik sembunyi dengan menyamar bergumul bersama rakyat. Taktik ini yang cukup merepotkan pihak Belanda hingga pada akhirnya Belandapun memilih taktik licik dengan menjebak Pangeran Diponegoro melakukan perundingan, tapi ternyata perundingan ini dijadikan sarana untuk menangkapnya. Iapun lantas diasingkan ke berbagai tempat, dan Makasar adalah pengasingan terakhir hingga wafat di Benteng Rotterdam Makasar pada tanggal 8 Januari 1855.

Diponegoro adalah tokoh sentral yang berani memulai perlawanan. Ia sadar tanpa perlawanan, jangan berharap bangsa ini akan hidup lebih baik. Semangat ini yang terus ditumbuhkan juga kepada masyarakat dan para ulama sehingga iapun mendapat dukungan kuat dari arus bawah. Persatuan antar masyarakat terbentuk dengan kesadaran yang sama untuk ikut andil melawan penjajahan Belanda dibawah komando Diponegoro. Karenanya, pengasingan Diponegoro ke Makasar hingga meninggal dan dimakamkan di tempat yang sama, tidak lain adalah upaya licik Belanda untuk memutus mata rantai pergerakan ideologis anti penjajah yang ditanamkan kepada para pengikutnya.

Tapi, sayangnya ideologi anti penjajah sudah sangat matang dan mandarah daging dalam alam pikiran dan hati para pengikut Diponogero. Ketika Diponegoro ditangkap, tak lama para pengikut perjuangannya menjauh dan bersembunyi agar tidak ditangkap juga dengan pergi ke berbagai tempat, termasuk wilayah Timur. Tidak sedikit pula diantara mereka mendirikan pondok pesantren dan masjid sebagai sarana untuk membimbing umat tentang ajaran Islam, sekaligus menanamkan nilai-nilai nasionalisme yang pernah diperoleh dari Diponegoro.

Menariknya, mereka yang masuk dalam laskar Pangeran Diponegoro ini dalam waktu yang lama telah membangun persaudaraan abadi yang kuat dengan kode khususnya yang telah disepakati, misalnya penanaman pohon sawu kecik, kepel, pohon kemuning dan jambu dersono yang ditanam di rumah masing-masing. Persaudaraan antara mereka menjadi bukti ideologi perlawanan Diponegoro belum punah, bahkan para ulama yang ikut dalam perang kemerdekaan terlahir dari leluhur yang memiliki irisan ideologis dengan Pangeran Diponegoro.

Sebut saja misalnya, di Jombang nama Kiai Abdus Salam atau Mbah Shoichah/Sechah adalah tokoh penting sebagai pembabat alas Pondok Tambak Beras. Darinya beberapa pondok pesantren se-Jombang memiliki hubungan yang sangat kuat baik biologis maupun ideologis. Perlu diketahui, Mbah Sechah adalah salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro yang ikut lari dari Tegalrejo ke Timur, tepatnya di Jombang. Masih banyak contoh tentang hal ini, misalnya di Nganjuk, Kediri, Banyuwangi dan lain-lain, dimana semuanya bergerak dari pesantren dan masjid untuk mengajarkan Islam, sekaligus menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada bangsa. Tak heran, para pejuang yang aktif dalam Sabilillah dan Hizbullah __khususnya yang berasal dari kalangan pesantren__ serta ikut melawan penjajah memiliki sanad panjang dengan ideologi yang pernah ditanamkan oleh Pangeran Diponegoro, baik langsung atau tidak langsung.

2 Abad berlalu, Pangeran Diponegoro telah memberikan contoh tentang semangat keislaman di satu sisi, dan semangat anti penjajah di sisi yang berbeda yang saling bersenyawa. Ia telah mempertaruhkan harta dan nyawa untuk arti pentingnya kemanusiaan yang bebas dari penjajahan. Banyak inspriasi yang layak kita tangkap untuk konteks hari ini agar cerita-cerita tentangnya memberikan makna yang berarti dalam ruang kekinian bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah kebebasan informasi di media sosial yang terus mewarnai cara pandang dan prilaku kita.

Dedikasi Tanpa Batas

Membaca sejarah Pangeran Diponegoro membuka ingatan kita semua tentang pentingnya berdedikasi untuk hal-hal besar bagi bangsa dan agama. Ia telah mencontohkan dengan baik dan penuh keteladanan, walau masa hidupnya berakhir di tanah pengasingan di Makasar selama 22 tahun: mulai 20 Juni 1833 hingga 8 Januari 1855.  Kebaikan dan keteladannya ini diakui atau tidak ikut mempengaruhi cara pandang hari ini seiring para pengikutnya secara turun-temurun mewariskan nilai-nilai keislaman dan nasionalisme.

Setidaknya terdapat dua nilai yang menginspirasi dari Pengeran Diponegoro agar sejarahnya layak diulang-ulang untuk dibaca, dihayati dan ditiru kebaikannya. Pertama, pentingnya pergaulan yang membumi. Keberhasilan Diponegoro meng-organisir rakyat dan ulama untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah tidak datang begitu saja. Ini berkat pergaulan lamanya secara terbuka dan tidak menjaga jarak dengan rakyat bawah, walau sebenarnya ia turunan bangsawan dari Kraton Ngajogyakarta dari pasangan Sultan Hamengku Buwono III dan R.A. Mangkarawati.

Cerita Diponegoro di Tegalrejo bersama kakeknya __Sultan Hamenkubuwono I dan Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo__ adalah cerita penting yang ikut membentuk perjalanan hidupnya; mulai cara berpikir hingga keterbukaannya bergaul dengan masyarakat bawah. Bisa jadi, bila ia lebih banyak hidup di Kraton, ia kurang mengenal secara dekat dan detail bagaimana orang di bawah sangat tercekik oleh kebijakan-kebijakan Belanda yang cenderung hanya menguntungkan penjajah, misalnya tentang pajak tinggi dan monopoli perdagangan dan lain-lain. Bukan hanya itu, kharismanya juga akan tidak nampak di tengah masyarakat yang serba susah.

Maka, perlawanan Diponegoro, bukan hanya disebabkan intervensi Belanda “mengacak-ngacak” tradisi di Kraton yang merupakan asal muasalnya, tapi juga karena ia paham betul sosio-psikologis susahnya masyarakat luas sepanjang penjajahan Belanda berkuasa. Tidak heran, bila kemudian ketika Diponegoro mengangkat bendera untuk perang, dukungan dari arus bawah tidak terbendung. Artinya, dukungan penuh ini adalah maniferstasi dari proses interaksi membumi yang dilakukan Diponegoro bergaul dengan mereka, di samping juga karena ia juga berasal dari keluarga Kraton yang sangat dihormati.

Diponegoro telah mengajarkan tentang pentingnya pergaulan yang membumi. Pemimpin apapun, termasuk pemimpin agama, jika kurang membumi dengan masyarakatnya visi kemaslahatannya akan kurang membumi pula. Bisa jadi, visi hidup yang dikembangkan tidak menyentuh lapisan terpenting masyarakat, alih-alih memikirkan hal-hal yang lebih besar sebagaimana dilakukan oleh Diponegoro, mengingat ia tidak hanya berpikir kepentingan Kraton an sich, tapi juga memikirkan nasib masyarakat dan bangsanya. Maka, pergaulan yang membumi akan melahirkan cara berpikir dan bertindak yang membumi. Semua yang dilakukan akan mempertimbangkan sisi kemaslahatan yang lebih besar, dari pada kemaslahatan kecil apalagi menyangkut pemenuhan kepentingan diri sendiri atau kelompok.  

Kedua, komitmen pada kebenaran yang diyakini. Kata komitmen itu penting dalam konteks sejarah Diponegoro, betapa tidak ia sebagai turunan Bangsawan tidak mau menyerah, walau dipaksa diasingkan ke Makasar melalui strategi tipu muslihat Belanda. Padahal, pengasingan ini menyebabkan ia jauh dari keluarga Kraton di satu sisi dan di sisi yang berbeda juga jauh dengan pengikut setianya. Tapi, komitmen ini harus diakui menjadi sebab nama Diponegoro menjadi harum dan layak menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, mengingat di era perang Jawa tidak sedikit orang-orang Kraton lebih memilih berkhianat, yakni ber”selingkuh” dengan Belanda, seperti Pati Danurejo IV dan beberapa pujangga yang lebih menikmati keutungan pribadi, baik kekuasaan maupun materi.

Bertahan dengan kebenaran itu lebih baik, walau terkadang harus menjalani kepahitan hidup (Qul al-Haqq walaw kana murran, mengutip hadis Nabi SAW). Inspirasi Diponegoro dalam konteks ini layak ditiru oleh semua anak bangsa hari ini, apapun status sosial kita. Jangan pernah tergiur oleh kepentingan sesaat, tapi mengorbankan jalan kebenaran yang menyebabkan keabadian nama itu terbentuk harum di masa yang akan datang.

Dalam dunia akademik, misalnya, mempertahankan kebenaran atau kejujuran akademik dan sukses akademik agak lama, itu jauh lebih baik dari pada memilih jalan pintas dengan melakukan plagiasi. Bukankah plagiasi karya akademik sangat berbahaya jika ditemukan, bukan hanya bagi individu __yang jabatannya dicabut__, tapi juga memalukan bagi dunia kampus di mana ia mengajar. Begitu juga politisi yang mengutamakan pengabdian pada rakyat dan bangsa, walau hidup tidak dengan gelimang harta, itu jauh lebih mulia daripada politisi kaya raya yang dihasilkan dari “perselingkuhan” kekuasaan dengan ambisi materi. Sejarah yang jelek akan dikenang untuk terus dicaci maki. Sebaliknya yang baik akan dikenang untuk terus dipuji dan diingat.  Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip perkataan seorang menteri yang disampaikan kepada salah satu penguasa __ dikutip dari cerita kekuasaan di dunia Arab__: “Inna al-Dunya haditsun. Fain istatha’ta ‘an takuna haditsan hasanan faf’al”, sesungguhnya dunia itu adalah cerita. Jika anda mampu menciptakan cerita baik maka kerjakan. Karenanya, mari berbuat baik sekuat tenaga, setidaknya dalam konteks tulisan ini adalah mengambil inspirasi dari semangat yang pernah ditorehkan oleh Pangeran Diponegoro sejak 200 tahun silam. Semoga dimudahkan semua.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA, المقالات