Surabaya — Di tengah arus deras informasi dan konsumsi media sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya mengambil langkah berani dalam dunia pendidikan. Sebuah inovasi pembelajaran yang transformatif berhasil membalik peran mahasiswa, dari sekadar konsumen menjadi kreator makna. Kegiatan bertajuk “Layar Nusantara: Kisah, Tradisi dan Keberagaman Budaya Nusantara” bukan sekadar festival film, melainkan sebuah bentuk Ujian Akhir yang menantang kreativitas dan kedalaman analisis sosial mahasiswa.
Acara yang diinisiasi oleh dosen Sosiologi, Dr. Mohammad Isfironi, M.H.I., ini telah sukses mendorong sekitar 120 mahasiswa untuk secara aktif menarasikan fenomena sosial-budaya kontemporer di Indonesia ke dalam format film pendek. Bertempat di ruang auditorium lantai 5 FISIP UINSA, kegiatan nonton bareng (nobar) yang digelar pada hari Rabu, 26 November 2025, ini menjadi puncak dari Mata Kuliah Antropologi dan Sistem Sosial Budaya Indonesia yang diampu langsung oleh Pak Isfironi.
Dari Konsumen Informasi Menjadi Subjek Pemberi Makna
Dalam sambutan pembukanya, Dr. Mohammad Isfironi menyampaikan sebuah refleksi tajam mengenai tantangan kehidupan modern. Beliau menekankan bahwa ruang dan makna adalah dua entitas yang tak pernah lepas dari perebutan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Setiap hari, kita telah menjadi konsumen informasi tanpa henti lewat media sosial. Kita begitu sibuk menerima dan mengonsumsi, hingga kita lupa bahwa kita memiliki kapasitas, kita memiliki daya, kita memiliki kemampuan untuk memaknai apa saja yang hadir dalam kehidupan ini,” ujar Pak Isfironi dengan nada yang menggugah.
Inilah inti filosofi di balik “Layar Nusantara.” Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengasah keterampilan teknis mahasiswa dalam membuat sinema, tetapi lebih jauh, bertujuan untuk mendorong mereka agar bertransformasi menjadi subjek.
“Menjadi subjek berarti memiliki kehendak dalam diri untuk memberikan makna. Ketika kita menjadi subjek yang aktif, kita tidak lagi hanya menerima narasi yang disodorkan. Kita mampu menciptakan narasi kita sendiri,” tegasnya.

Visi jangka panjangnya pun sangat jelas: setelah menyelesaikan kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya lulus mata kuliah, tetapi lulus sebagai individu yang mandiri dalam memaknai realitas sosial. Dalam konteks Antropologi, film menduduki tempat yang penting karena ia adalah medium yang paling efektif untuk menceritakan data emik—yaitu, upaya untuk memahami dan merepresentasikan pengalaman hidup dan perspektif orang lain dari sudut pandang mereka sendiri, bukan sekadar sudut pandang peneliti (etik).
Apresiasi Institusi dan Tradisi Baru Berbasis Media
Inovasi yang diusung oleh Pak Isfironi ini disambut hangat oleh pimpinan fakultas. Dalam sambutan yang diberikan oleh Dr. Zudan Rosyidi, M.A., selaku Kepala Laboratorium FISIP UINSA, kegiatan gelar karya mahasiswa ini menupakan upaya segar untuk mendinamisir proses akademik.
“Setelah tiga tahun bergabung di FISIP, sungguh saya bersyukur akhirnya ada kegiatan inovatif seperti ini,” ungkap Pak Zudan. Beliau menyampaikan apresiasi tinggi kepada Dr. Mohammad Isfironi karena telah membuka ruang eksplorasi dan kreativitas yang begitu luas bagi mahasiswa.

Kepala Laboratorium FISIP UINSA ini juga menegaskan komitmen institusi untuk mendukung inisiatif serupa di masa depan. “Laboratorium FISIP siap mendukung penuh tradisi baru yang mendiskusikan dinamika masyarakat, perubahan sosial, dan kekayaan budaya kita dalam bentuk media film. Ini adalah jembatan yang menghubungkan teori di kelas dengan realitas di masyarakat,” tambahnya, menandakan komitmen FISIP UINSA untuk merangkul metode pembelajaran yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan media popular.
Dari pihak mahasiswa yang tergabung dalam Panitia Sosiologi Short Movie, Imeliana menuturkan bahwa kegiatan pemutaran film ini berhasil menciptakan ruang belajar yang interaktif dan dinamis. “Pemutaran film ini tidak hanya tentang melihat hasil karya, tetapi juga membuka diskusi yang mendalam tentang bagaimana dinamika masyarakat berjalan, sehingga proses belajar menjadi lebih hidup,” ujarnya.
Tujuh Film Pendek, Tujuh Narasi Kebudayaan yang Menggugah
Puncak acara “Layar Nusantara” adalah pemutaran tujuh film pendek karya mahasiswa yang mengangkat isu-isu sosial-budaya dari sudut pandang yang segar dan kritis. Setiap film tidak hanya menampilkan keterampilan sinematik, tetapi juga kedalaman analisis sosiologis dan antropologis.

1. Warisan dan Budaya: Mempersatukan Tradisi dan Modernitas
Film pertama ini menyajikan sebuah dilema klasik yang sering dialami oleh masyarakat modern: benturan antara tradisi dan modernitas. Cerita berpusat pada seorang mahasiswa yang dihadapkan pada pilihan sulit: merawat orang tua di rumah yang sakit atau mengikuti ujian penting di kampus. Konflik memuncak ketika mahasiswa tersebut, yang berpikiran modern, bersikukuh membawa orang tuanya ke dokter, sementara budaya pedesaan tempat ia tinggal cenderung mengarahkan penanganan sakit kepada dukun atau pengobatan tradisional.
Film ini menekankan bahwa tradisi dan modernitas tidak seharusnya dipertentangkan, melainkan untuk saling menguatkan. Setiap generasi memiliki cara pandang tersendiri terhadap tradisi, dan sistem sosial senantiasa bergerak dalam dialektika yang abadi antara yang lama dan yang baru. Mahasiswa diajak melihat bahwa modernitas tidak harus menghapus kearifan lokal, tetapi dapat bersinergi dengannya.
2. Aku Asing di Rantau: Menumpuk Keberanian, Bukan Ketakutan
Narasi kedua beralih ke kisah migrasi dan adaptasi. Film ini mengisahkan Siti, seorang mahasiswi asal Madura yang pertama kali merantau di hiruk pikuk Kota Surabaya. Jauh dari kampung halaman dan budaya yang dikenalnya, Siti kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kampus, khususnya terkait penampilan dan gaya berpakaian yang berbeda dengan teman-temannya. Ia menghadapi tatapan negatif, ejekan, dan peremehan yang mengancam rasa percaya dirinya.
Melalui perjuangan Siti, film ini menyampaikan pesan yang kuat yaitu tujuan kuliah adalah untuk belajar dan berkembang, bukan untuk menumpuk rasa takut. Siti pada akhirnya belajar untuk bangkit dari pengalaman diremehkan demi menjadi pribadi yang lebih baik dan menemukan jati dirinya di tengah perbedaan budaya. Ini adalah kisah tentang keberanian dan penemuan diri.
3. Menurut Kepercayaan Masing-Masing: Pluralitas Kepercayaan Lokal
Film ini membawa penonton menjelajahi isu sensitif: keberagaman kepercayaan dalam kebudayaan daerah. Cerita berfokus pada sekelompok pemuda yang berdiskusi mengenai kisah-kisah mistis dan supranatural yang dipercaya secara turun-temurun di lingkungan mereka. Diskusi ini mengungkap fakta bahwa, di tengah modernitas, keyakinan akan hal-hal gaib, seperti hantu-hantu lokal, masih mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Karya ini menyoroti keberagaman kepercayaan daerah yang hidup berdampingan. Pesan utamanya adalah pentingnya menghargai dan memahami perspektif yang berbeda tentang realitas, yang tidak selalu dapat diukur dengan logika ilmiah semata. Ini adalah refleksi tentang pluralitas dalam keyakinan dan ekspresi spiritualitas masyarakat.
4. Satu Atap Banyak Bahasa: Komunikasi Melampaui Logat
Film keempat adalah representasi mikro dari Indonesia yang multikultural. Cerita berlatar di sebuah kampung penghasil jamu, di mana sekelompok mahasiswa dari latar belakang suku yang berbeda—Sunda, Jawa Ngapak, Batak, Bugis, dan Madura—sedang melakukan observasi dan belajar membuat jamu. Keragaman ini menciptakan dinamika komunikasi yang unik. Cerita juga diselipkan dengan isu sosial lokal, yaitu gunjingan terhadap penjual jamu yang dituduh menggoda suami orang.
Judul “Satu Atap Banyak Bahasa” menyiratkan makna mendalam. Bahasa bukan hanya soal logat atau dialek, tetapi juga mencakup bahasa tubuh, mimik wajah, dan kode-kode sosial yang memerlukan pemahaman kontekstual. Film ini mengajak penonton untuk melihat bahwa keberagaman adalah kekayaan yang memerlukan toleransi dan upaya untuk saling memahami.
5. Kearifan Lokal: Budaya Perah Sapi Susu di Pacet sebagai Tradisi dan Ekonomi
Film dokumenter mini ini menyorot kearifan lokal yang terbukti mampu menopang ekonomi. Cerita berfokus pada Bu Umbarwati, seorang perempuan desa di Pacet yang sukses merintis usaha peternakan sapi perah secara tradisional. Dengan produksi susu yang mencapai 20-30 liter per hari, usahanya menunjukkan ketahanan ekonomi lokal. Namun, film ini juga tidak mengabaikan tantangan yang dihadapi peternak, seperti penyakit, pakan, dan perawatan sapi.
Film ini membawa pesan bahwa tradisi memeras sapi secara tradisional dapat diandalkan sebagai fondasi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana kearifan lokal, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber penghidupan yang layak dan menjaga ikatan sosial masyarakat.
6. Memori yang Terlupakan: Menyelamatkan dari Jurang Individualisme
Berangkat dari kegelisahan akan perubahan perilaku sosial remaja, film ini mengangkat tema kesenjangan generasi dalam permainan anak-anak dan remaja. Jika anak dan remaja masa lalu gemar bermain komunal seperti petak umpet, remaja kini cenderung larut dalam permainan game online individual. Film ini memotret pergeseran nilai dari interaksi tatap muka ke interaksi virtual.
Permainan komunal adalah upaya vital untuk menyelamatkan anak-anak dan remaja dari jurang individualisme. Film ini adalah ajakan untuk kembali menghargai interaksi sosial secara langsung sebagai pondasi pembentukan karakter dan solidaritas.
7. Kelir di Tengah Desa: Revitalisasi Wayang di Era Digital
Film penutup ini memadukan tema pengabdian masyarakat (KKN) dengan revitalisasi budaya. Cerita mengikuti sekelompok mahasiswa yang melaksanakan KKN di sebuah desa di kawasan pegunungan. Program kerja utama mereka adalah sosialisasi dan pengenalan kembali budaya wayang kepada anak-anak muda di desa tersebut. Mereka berupaya mengemas wayang agar relevan dan menarik bagi generasi digital.
Film ini menampilkan semangat revitalisasi budaya yang dilakukan oleh kaum muda. Wayang, sebagai warisan budaya tak benda, perlu diceritakan dan diperkenalkan kembali agar tidak hilang ditelan zaman. Mahasiswa Sosiologi dan Antropologi didorong untuk menjadi agen perubahan yang menjembatani masa lalu dan masa depan budaya Indonesia.
Jurnalisme Media Popular untuk Dinamika Sosial
“Layar Nusantara” menutup Ujian Akhir Mata Kuliah Antropologi dan Sistem Sosial Budaya Indonesia dengan pesan yang jelas: media popular, dalam hal ini film pendek, adalah alat yang ampuh untuk menangkap dan menganalisis dinamika sosial serta perubahan budaya yang terjadi di masyarakat.
Melalui kegiatan ini, FISIP UINSA Surabaya menunjukkan komitmennya untuk tidak hanya mencetak sarjana yang menguasai teori, tetapi juga praktisi yang terampil dalam mengartikulasikan pengetahuan mereka melalui media yang populer dan mudah diakses. Harapannya, tradisi baru ini akan terus berlanjut, melahirkan generasi jurnalis dan sosiolog yang tidak lagi hanya mengonsumsi, tetapi mampu menjadi subjek yang mandiri, kreatif, dan kritis dalam memaknai sekaligus membentuk narasi kebudayaan Nusantara.(ASE)
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.