Fakultas Ushuludin & Filsafat
August 13, 2025

Hidup Mapan Yang Mematikan Telinga-Mata-Hati

Hidup Mapan Yang Mematikan Telinga-Mata-Hati

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Hidup mapan dengan berlimpah berbagai fasilitas, bukan mengingatkan akan kebesaran Allah, tetapi justru melupakan-Nya. Ketika melupakan Tuhan, berimplikasi bukan hanya melalaikan upaya perbaikan tetapi justru terjerembab pada pelanggaran dan kemaksiatan. Hal inilah yang mengundang Sang Penguasa alam semesta untuk memberi peringatan, dan kalau tetap angkuh, akan dibinasaan. Kenikmatan dunia telah telah membinasakan beberapa generasi karena lalai dan terjerumus dalam kubang kemaksiatan. Daya tarik dunia memang mengikat dan sulit untuk dihindari. Manusia menikmatinya tanpa batas dan tanpa kontrol. Ketika dunia  sudah sulit dikontrol dan menguasainya, maka daya rusaknya sangat dahsyat.

Disfungsi Hati

Manusia diberikan organ tubuh yang amat vital, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati. Organ vital itu sebagai penopang untuk mengambil setiap keputusan. Namun hal itu seringkali terbaikan karena godaan untuk memperturutkan keinginan untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Dunia yang seharusnya menjadi alat seringkali berubah menjadi tujuan. Daya Tarik dunia yang sangat kuat membuat manusia menikmati hingga lupa diri. Al-Qur’an mengabadikan manusia yang sibuk dengan dunia hingga seluruh energinya dilampiaskan untuk merengkuhnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya :  

أَوَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ ۚ كَانُوٓاْ أَشَدَّ مِنۡهُمۡ قُوَّةٗ وَأَثَارُواْ ٱلۡأَرۡضَ وَعَمَرُوهَآ أَكۡثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَآءَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ

Artinya:

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka, rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah  yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar-Rūm : 9)

Begitu besarnya perhatian untuk meraih dunia, manusia berharap bisa hidup mapan dan puas menikmatinya. Ketika di puncak menikmati dunia itulah mereka justru berubah dan terjerumus dalam kemaksiatan. Dengan kekayaannya, mereka berperilaku dzalim, seenaknya sendiri, dan semena-mena. Dengan hartanya, mereka bisa berbuat apa saja.

Kasih sayang Allah muncul, di mana pada saat melakukan pelanggaran itu, dikirim seorang pemberi peringatan. Sang utusan Allah mengingatkan dampak buruk perilakunya dan memberi jalan keluar agar terhindar dari kerusakan serta mengingatkan penyesalan bilamana tak menghentikan perilaku buruknya. Alih-alih berubah, mereka justru terus fokus menikmati dunia. Mereka membangun fisik seperti istana, gedung, jalan, dan berbagai fasilitas mewah untuk dinikmatinya. Pembangunan sarana fisik tidak dibarengi dengan perbaikan hati, memfungsikan pendengaran dan menglihatan. Hal ini berimplikasinya, terus berlangsungnya kedzaliman. Inilah yang membuat mereka dibinasakan karena kedzalimannya, Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

فَكَأَيِّن مِّن قَرۡيَةٍ أَهۡلَكۡنَٰهَا وَهِيَ ظَالِمَةٞ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَبِئۡرٖ مُّعَطَّلَةٖ وَقَصۡرٖ مَّشِيدٍ

Artinya:

Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, (QS. Al-Ĥajj : 45)

Al-Qur’an menggambarkan pola hidup manusia yang berorientasi dunia. Membangun rumah-rumah mewah di tempat-tempat tinggi yang tidak digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai tempat untuk menikmati hidup, dengan mabuk, berzina, dan perilaku menyimpang lainnya. Karunia Allah yang begitu besar berupa kemewahan tidak menggerakkan dirinya untuk menebar kebaikan, tetapi justru menumpuk dosa. Allah telah membinasakan mereka karena memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati tidak difungsikan dengan baik. Al-Qur’an merekam hal itu sebagaimana firman-Nya :

أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ

Artinya:

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al-Ĥajj : 46)

Ikatan dunia

Ketika menikmati dunia, manusia seringkali beranggapan bahwa hidupnya akan langgeng hingga tidak percaya adanya kehidupan sesudah kematian. Mereka yakin tidak ada hari pertanggungjawaban, karena setelah kematian tidak ada lagi kehidupan. Mereka telah tertipu dengan dunia, hingga melupakan janji-janji Allah yang disampaikan oleh para utusan-Nya.

Utusan Allah telah menyampaikan janji bahwa kehidupan sesudah mati pasti datang, kedatangan hari kebangkitan untuk membalas amal kebaikan dengan surga, dan menghukum amal keburukan dengan neraka. Setan telah membuat lupa serta memperdayakan manusia sehingga lupa dengan adanya hari pertemuan dengan Tuhannya. Setan telah melalaikan manusia dengan dunianya yang gemerlap. Fasilitas dunia yang lengkap membuat setan leluasa menghiasi perbuatan buruk seolah-olah baik, dan perbuatan bak seolah-olah buruk dan melelahkan. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ

Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah. (QS. Fāţir : 5)

Daya rusak dunia sangat cepat yang berujung merendahkan manusia serendah-rendahnya. Manusia yang awalnya mulia ketika hidupnya belum mapan. Mereka bekerja keras, jujur, dan disiplin. Begitu berubah nasibnya menjadi orang kaya dan berlimpah kekayaan, justru berbuat dzalim hingga hilang kepribadian aslinya.

Hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang terkontrol dan mampu mengendalikan diri ketika kenikmatan dunia di hadapannya. Mereka memanfaatkan dunia untuk menebar kebaikan, seperti bersedekah, membantu orang lain, hingga perjuangan di jalan Allah.

Surabaya, 13 Agustus 2025

Spread the love

Tag Post :

Categories

Articles, Artikel, Column, Column UINSA