Fakultas Ushuludin & Filsafat
October 20, 2025

FUF UINSA Gelar IC-MUST 2025: Kolaborasi Akademik Global untuk Membangun Perdamaian Berbasis Nilai Keagamaan

FUF UINSA Gelar IC-MUST 2025: Kolaborasi Akademik Global untuk Membangun Perdamaian Berbasis Nilai Keagamaan

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menyelenggarakan International Conference on Islamic-Christian Thought (IC-MUST) 2025 yang menghadirkan sejumlah dosen FUF serta para akademisi dari berbagai lembaga mitra internasional. Kegiatan berskala internasional ini terselenggara atas kerja sama antara FUF dengan Center for Interdisciplinary Studies in Religions and Culture (CISRC). Salah satu tokoh penting yang turut hadir adalah Dr. Ferry Mamahit, Ph.D, selaku Executive Director CISRC, yang juga bertindak sebagai co-chair komite konferensi. Kegiatan ini bertempat di hotel Amaris Margorejo, Surabaya.

Dalam sambutan pembukaannya, Ferry Mamahit, Ph.D, menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta dan panitia atas terselenggaranya konferensi ini. Ia menyoroti tema utama konferensi, yaitu Religion, War, and Peace: Nurturing a Peaceful Life in Plural Society, sebagai sebuah isu yang sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini.“Tema ini bukan sekadar kajian teoretis, melainkan realitas harian yang mendesak (pressing daily reality) yang perlu kita refleksikan bersama,” ungkapnya.

Sebagai pembicara utama sesi pembukaan, Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip., SEA., M.Phil., Ph.D. menyampaikan refleksi mendalam mengenai peran agama dalam perdamaian dan konflik sosial. Ia mengangkat pertanyaan kunci: “Apakah agama menjadi faktor perdamaian atau justru pemicu konflik?” Menurutnya, generasi tua cenderung melihat agama sebagai solusi, sementara sebagian generasi muda memandangnya sebagai sumber ketegangan sosial.

Prof. Muzakki menegaskan pentingnya menghadirkan kembali nilai cinta (love) dalam kehidupan beragama. Ia mengutip gagasan Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, yang memaknai cinta sebagai deep respect (penghormatan mendalam) dan deep affection (kasih sayang mendalam). Dua hal ini, menurutnya, merupakan fondasi bagi terciptanya toleransi yang sejati dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks Indonesia, ia mencontohkan UIN Sunan Ampel yang mengambil nama dari salah satu Walisongo, simbol penyebaran Islam yang damai. “Indonesia adalah benteng besar umat Muslim dunia yang dikenal dengan Islam rahmatan lil ‘alamin. Di sinilah agama berperan membangun, bukan memecah,” ujarnya.

Sesi pertama yang dimoderatori Muhammad Abdillah, Ph.D., menghadirkan empat pembicara dari berbagai negara, masing-masing mengangkat perspektif berbeda tentang hubungan antara agama, kekerasan, dan perdamaian.

Sesi Pemaparan Materi (Sumber: Dokumentasi Tim Media Center FUF)

Christopher M. Joll, Ph.D. dari Selandia Baru, membahas konflik yang terjadi di Thailand Selatan selama lebih dari dua puluh tahun. Ia menjelaskan bahwa bentrokan antara pemerintah Thailand dan komunitas Muslim Melayu telah memicu kekerasan, baik terhadap umat Buddha maupun Muslim. Dr. Chris mengkritik pandangan para akademisi setelah peristiwa 9/11 yang sering mengaitkan konflik lokal dengan ideologi radikal global. Ia juga menilai dialog antaragama yang ada masih bersifat elitis karena hanya melibatkan kalangan tertentu. Selain itu, ia mengingatkan bahwa perang digital turut memperburuk perpecahan sosial di masyarakat.

Selanjutnya,  Iyad M. Aburabee, PhD dari Palestina, menyampaikan makalah berjudul “The Maqasid Approach: Reading Scriptures Purposefully.” Ia menjelaskan bahwa tujuan utama dari kitab suci seperti Taurat, Injil, dan Al-Qur’an adalah untuk menciptakan kehidupan yang baik, damai, dan bahagia bagi manusia. Menurutnya, penyelesaian konflik, termasuk konflik Israel, Palestina, sebaiknya didasarkan pada nilai cinta (mahabbah) dan kasih sayang (rahmah) Allah, bukan hanya pada keadilan yang bersifat balas dendam. Ia juga menekankan bahwa penting untuk membedakan antara Israel sebagai negara politik dan orang Yahudi sebagai Ahl al-Kitab (penganut kitab suci). Selain itu, Dr. Iyad mengingatkan bahwa memahami kitab suci sebaiknya dilakukan melalui bahasa aslinya, yaitu bahasa Semit, agar maknanya tidak salah dipahami.

Dr. Atifa dari Malaysia kemudian memaparkan tema tentang koeksistensi damai dalam masyarakat multiagama Malaysia. Ia menyoroti kerangka konstitusional yang menjadikan Islam sebagai agama Federasi namun tetap menjamin kebebasan beragama. Meski tidak ada konflik fisik, ia menilai Malaysia menghadapi perang digital berupa provokasi dan prasangka di media sosial. Dr. Atifa menekankan konsep tasamuh (saling menghormati) sebagai nilai yang lebih tinggi daripada sekadar toleransi, serta membedakan antara pluralitas (pengakuan keberagaman agama) dan pluralisme (penyamakan semua agama).

Sementara itu, Richard McCallum, Ph.D. dari Oxford, yang hadir secara daring, menyoroti tema “Kekerasan dan Perdamaian dalam Kitab Suci”.  Ia mengingatkan bahwa krisis global dan kemunduran lembaga-lembaga dunia sedang memicu kembalinya kekerasan dan otoritarianisme. Dr. Richard menolak pandangan ekstrem yang menyalahkan agama sebagai akar kekerasan, namun juga mengkritik anggapan naif bahwa agama otomatis membawa perdamaian. Ia mengajak komunitas agama untuk berani membaca dan menafsirkan teks-teks keras dalam kitab suci dengan konteks historis yang tepat agar tidak disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan.

Setelah seluruh pemateri menyampaikan paparannya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab selama sekitar 36 menit. Dalam sesi ini, peserta mengajukan berbagai pertanyaan menarik, mulai dari peran dialog antaragama dalam menghadapi kekerasan struktural di Palestina hingga isu ketidaksetaraan dan konstitusi di Malaysia. Acara kemudian ditutup pada pukul 17.00 WIB dan dilanjutkan dengan sesi berikutnya dalam rangkaian konferensi IC-MUST 2025.

Penulis : Nadia Dina Azkiya
Editor: Khalimatu Nisa

Spread the love

Tag Post :

Media Center FUF

Categories

Berita, News