Pada Rabu (27/08), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menyelenggarakan seminar internasional berkolaborasi dengan dosen dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Kegiatan ini merupakan bagian dari Inbound Mobility 2025 dengan tajuk “Program Jejak Nusantara: Mobility Pelajar dan Kesukarelawanan“, yang bertujuan memperkuat jejaring akademik sekaligus mengembangkan kolaborasi lintas negara. Seminar ini berlangsung di Gedung Amphitheater, Twin Tower UINSA.
Seminar Internasional dibuka dengan penyambutan delegasi mahasiswa dan dosen dari UKM. Suasana semakin khidmat ketika para mahasiswa membawakan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Malaysia yang kemudian disusul dengan hymne UINSA dan UKM. Acara berlanjut dengan sambutan kepada Dekan FUF Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D. Dalam sambutanya beliau menegaskan pentingnya mempererat hubungan akademik lintas negara, karena kitab isa melihat berbagai perspektif dari mereka. “Kami berharap agenda seperti ini dapat terus berlanjut sebagai wujud silaturrahmi antara UINSA dan UKM, sekaligus memperkuat jejaring akdemik yang bermanfaat bagi kedua belah pihak,” tuturnya.
Sambutan kemudian disampaikan oleh Dr. Faizul Amri selaku perwakilan dosen UKM. Ia menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat menjadi wadah pertukaran gagasan antara kedua institusi sekaligus membuka cakrawala baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Setelah acara penyambutan terlaksana acara dibagi dua sesi yang mana para delegasi mahasiswa UKM berpindah di gedung B1 FUF untuk berdiskusi dengan mahasiswa UINSA. Acara selanjutnya pemaparan materi narasumber dari dosen UKM dan UINSA dengan moderator Hasan Mahfudh, M.Hum.

Narasuber dan Moderator Seminar Internasional FUF UINSA dan FPI UKM. (Sumber: Dokumentasi Tim Media Center FUF )
Narasumber pertama adalah Dr. Latifah Majid yang membawakan materi berjudul “Penyikapan terhadap Residivis: Pendidikan Hadis di Penjara Malaysia.” Dalam pemaparannya, Dr. Latifah menjelaskan bagaimana pendidikan hadis dijadikan sebagai salah satu instrumen pembinaan moral dan spiritual bagi narapidana, khususnya residivis, di lembaga pemasyarakatan Malaysia. Ia menekankan bahwa nilai-nilai hadis Nabi Saw yang berfokus pada taubat, akhlak, dan pengendalian diri mampu menjadi landasan kuat untuk membantu para narapidana melakukan perubahan perilaku. Menurutnya, proses ini bukan sekadar pengajaran agama, melainkan juga sarana untuk membentuk kesadaran diri, membangun optimisme, serta mendorong reintegrasi sosial ketika mereka kembali ke masyarakat.
Selanjutnya, materi disampaikan oleh Dr. Sabri Mohammad yang mengenalkan berbagai model program tahfidz Al-Qur’an yang berkembang di Malaysia. Ia memaparkan bahwa program tahfidz di Malaysia telah menjadi salah satu fokus utama dalam pendidikan Islam, baik di lembaga formal seperti sekolah dan universitas, maupun di lembaga non-formal seperti pusat-pusat tahfidz dan komunitas masjid.
Pada sesi berikutnya, Dr. Muhammad Arif bin Nazri menyampaikan materi mengenai hadis maudhu’ (hadis palsu). Dalam penjelasannya, beliau menguraikan beberapa ciri hadis maudhu’, di antaranya adalah riwayat yang mengunggulkan sesuatu secara berlebihan. Contoh yang sering muncul misalnya hadis yang menyebutkan keutamaan makanan tertentu seperti kacang dzal. Beliau juga menegaskan bahwa hadis-hadis yang mencela sebagian sahabat Nabi termasuk kategori palsu karena bertentangan dengan prinsip keadilan sahabat. Lebih lanjut, Dr. Muhammad Arif menambahkan bahwa hadis yang menyatakan al-Qur’an adalah makhluk tidak memiliki sanad yang sahih. Oleh karena itu, umat Islam perlu berhati-hati dalam menerima riwayat, dengan cara selalu melakukan kajian sanad dan matan agar tidak terjebak pada hadis palsu.
Masih dari UKM, Dr. Mohd Manawi bin Mohd Aktib menyoroti tema utama tasawuf, yaitu hubungan antara ruh dan jiwa. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan keduanya, serta mengutip pandangan al-Razi terkait hakikat ruh dan jiwa.Sementara itu, dari FUF UINSA, Dr. Muhid, M.Ag memaparkan tentang perkembangan hadis di Nusantara. Menurutnya, pada abad ke-17–18 kajian hadis lebih menekankan pada kumpulan hadis dan sanad, pada abad ke-19–20 berkembang pada aspek kumpulan hadis dan ilmu hadis, sedangkan abad ke-21 memasuki fase metodologi pemahaman hadis.Adapun Naufal Cholily, M.Th.I turut menyampaikan materi mengenai study of paratext in tafsir manuscripts. Ia menjelaskan bahwa paratext merupakan terjemahan berbaris dalam manuskrip tafsir, yang berfungsi membantu pembaca memahami teks utama secara lebih mendalam.
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung cukup interaktif. Para peserta tampak antusias, khususnya ketika menanyakan mengenai berbagai program tahfidz, termasuk model tahfidz mana yang paling tepat dijadikan pedoman. Melalui kolaborasi seminar ini, diharapkan dapat membuka cakrawala pemikiran peserta. Tidak hanya terbatas pada perspektif Nusantara saja, tetapi juga melihat berbagai sudut pandang dari luar sehingga memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Penulis: Nadia Dina Azkiya
Editor: Khalimatu Nisa