Menyadari pentingnya penguatan moderasi beragama dan pemahaman lintas budaya dalam pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Ampel Surabaya menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya” pada 10 Mei 2021. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting, dan diikuti oleh lebih dari 150 peserta yang terdiri atas mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG), dosen, dan guru pamong dari berbagai daerah.
Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen FTK dalam mendukung agenda nasional moderasi beragama serta upaya kampus untuk membekali calon guru profesional dengan keterampilan berpikir kritis, empati sosial, dan kemampuan memahami perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Literasi keagamaan lintas budaya diposisikan sebagai salah satu pilar penting dalam membentuk karakter pendidik yang tidak hanya kompeten dalam konten pembelajaran, tetapi juga mampu menjadi penjaga harmoni sosial di tengah keberagaman bangsa.
Dalam sambutan pembukaan, Prof. Dr. Muhammad Thohir, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, menegaskan pentingnya literasi keagamaan lintas budaya dalam dunia pendidikan hari ini. Ia menyampaikan bahwa pendidikan agama tidak boleh hanya berfokus pada aspek doktrinal, melainkan harus disertai pemahaman kontekstual terhadap realitas sosial dan budaya di sekitar peserta didik. “Kita tidak bisa mendidik anak-anak kita hanya dari sudut pandang satu kebenaran tunggal. Mereka hidup di dunia yang majemuk, berhadapan dengan realitas keberagaman, baik etnis, budaya, maupun agama. Di sinilah pentingnya peran guru sebagai jembatan damai yang menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan,” tutur Prof. Thohir. Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa FTK UINSA terus mendorong agar mahasiswa dan lulusan PPG memiliki bekal pemikiran dan pengalaman yang kontekstual dan relevan dengan dinamika global.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Dr. Afida Safriani, Ph.D, dosen FTK UINSA yang menyelesaikan studi doktoralnya di Australia. Dalam sesi presentasinya yang bertajuk “Religious Literacy and Intercultural Understanding: Lessons from a Multicultural Context”, Dr. Afida membagikan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat lintas agama dan budaya selama studi dan riset di Negeri Kanguru. Ia memulai dengan menyampaikan pentingnya membedakan antara “agama sebagai keyakinan” dan “agama sebagai identitas sosial”. Dalam konteks pendidikan, kedua aspek ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi penyempitan makna dalam pengajaran agama. “Selama studi di Australia, saya terpapar pada lingkungan yang sangat plural. Saya belajar bahwa keberagaman bukan hanya tentang perbedaan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami posisi kita sendiri dengan lebih jernih. Dialog lintas budaya dan agama bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk memperkaya,” paparnya.
Dr. Afida juga menyoroti pentingnya religious empathy—kemampuan memahami sudut pandang agama lain tanpa harus meninggalkan keyakinan sendiri. Hal ini menurutnya penting diajarkan kepada siswa di sekolah-sekolah Indonesia yang hidup di tengah realitas keberagaman yang kompleks.
Selain paparan teoretis, kegiatan ini juga membekali peserta dengan pendekatan-pendekatan praktis dalam menerapkan literasi keagamaan lintas budaya di kelas. Di antaranya melalui Analisis Studi Kasus dimana Peserta diajak untuk menganalisis beberapa kasus intoleransi di dunia pendidikan yang terjadi akibat kurangnya pemahaman lintas budaya. Ada juga Workshop Mini dimana Dalam sesi kelompok kecil, peserta menyusun rancangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang mengintegrasikan prinsip inklusivitas dan nilai-nilai moderasi. Selain itu terdapat juga Simulasi Dialog Antaragama dimana Beberapa peserta mempraktikkan model pembelajaran berbasis dialog, di mana siswa dari latar belakang berbeda diajak untuk menyampaikan pandangan keagamaannya dengan cara yang saling menghargai.
Dalam sesi tersebut, para peserta terlihat antusias. Banyak di antaranya mengakui bahwa konsep literasi keagamaan lintas budaya belum menjadi perhatian utama dalam pembelajaran sehari-hari, dan kegiatan ini membuka wawasan baru bagi mereka. Lina Maulida, mahasiswa PPG peserta kegiatan, menyampaikan kesan positifnya, “Saya jadi sadar bahwa mengajarkan agama bukan hanya tentang hukum dan ibadah, tetapi juga membentuk sikap siswa agar menghargai orang lain. Terutama ketika mereka hidup di lingkungan sosial yang beragam.”
Dalam diskusi penutup, para peserta menyuarakan pentingnya kegiatan serupa dilakukan secara rutin dan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk guru-guru di sekolah mitra PPG. Sebagian besar menyarankan agar topik ini juga dimasukkan dalam perkuliahan Pendidikan Profesi Guru, baik sebagai mata kuliah mandiri maupun terintegrasi dalam mata kuliah pendidikan karakter dan PAI kontekstual.
Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag., turut hadir memberikan tanggapan. Beliau menyatakan bahwa FTK UINSA siap menjadi pelopor dalam gerakan literasi keagamaan lintas budaya, terutama di kalangan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). “Sebagai LPTK, kita bukan hanya mencetak guru yang cakap mengajar, tetapi juga membentuk pemimpin pendidikan yang bijak dalam menyikapi keragaman. Kegiatan ini menjadi awal dari banyak langkah ke depan yang harus kita tempuh bersama,” ujar beliau.
Kegiatan ini ditutup dengan pernyataan komitmen dari FTK UINSA untuk terus mengembangkan inisiatif serupa dalam berbagai bentuk, termasuk seminar, pelatihan intensif, dan integrasi materi literasi keagamaan dalam modul ajar PPG. Sebagai langkah lanjutan, rencana kolaborasi dengan lembaga luar negeri dan organisasi lintas iman juga tengah disusun.
Prof. Muhammad Thohir menutup kegiatan dengan optimisme bahwa generasi guru yang sedang dibina hari ini akan menjadi pionir pendidikan damai di masa depan. “Masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kurikulum dan teknologi, tetapi juga oleh kebesaran hati para pendidiknya. Mari kita mulai dari sini, dari ruang-ruang kecil seperti ini, dengan harapan besar untuk masa depan yang lebih toleran, adil, dan damai,” pungkasnya.