
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
“Everyone matters.” Setiap orang begitu berarti. Itu pernyataan yang diucapkan oleh Brett G. Scharffs. Dia adalah Chair dan sekaligus Profesor bidang hukum serta Direktur The International Center for Law and Religion Studies. Homebase-nya di Brigham Young University Law School, Hawaii, Amerika Serikat. Kalimat itu dia sampaikan untuk mengingatkan semua peserta International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (IC-CCRL) 2025. Konferensi itu sendiri bertempat di Hoel Shangri-la Jakarta (11-12 November 2025). Peringatan itu dia sampaikan saat menjadi pembicara pada sesi panel The Importance of Social Trust in Upholding Human Dignity.
Kalimat “everyone matters” di atas disampaikan usai menjelaskan munculnya krisis marwah kemanusiaan (human dignity) dalam perkembangan terkini. Artinya, kalimat itu dia lepaskan sebagai peringatan atas problem kemanusiaan hari ini. Sebagai sebuah peringatan, kalimat itu mengajak semua yang hadir untuk mengembalikan lagi kesadaran bahwa setiap orang memiliki marwah yang sama sebagai manusia. Tak boleh ada yang menistakan satu sama lain. Tak boleh ada yang menyakiti satu sama lain. Lebih-lebih, tak boleh ada yang melukai satu sama lain.
Mengapa begitu? Karena setiap diri manusia punya harkat dan martabat yang sama dengan lainnya. Tak boleh ada satupun yang berperilaku merusak harkat dan martabat diri satu sama lain. Selain bahwa karena harkat dan martabat itu masing-masing diri memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang semestinya, peringatan itu juga ingin mengajak semua kita untuk kembali kepada kesadaran paling mendasar bahwa setiap diri pasti berusaha sekuat-kuatnya untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat yang diterimanya dari Sang Ilahi. Maka, sungguh lacur jika ada seseorang atau kelompok orang yang berusaha menghancurkan harkat dan martabat sesamanya.
Motif memang bisa macam-macam atas praktik penistaan terhadap harkat dan martabat sesama itu. Tapi jika dilakukan telaah mendalam, praktik penistaan itu bermuara kepada kepentingan utama dalam bentuk egosektoral. Kepentingan egosektoral itu memang bisa menunjuk kepada dua unsur mendasar. Yakni, pertama adalah perbedaan kepentingan yang tak kunjung bisa dikompromikan, apalagi disatukan;dan kedua adalah perbedaan insaniah yang lahir karena takdir alam, atau dalam bahasa spiritualnya “kehendak ilahi”. Namun, jika tak mendapatkan kematangan diri yang terjaga, kepentingan egosektoral itu bisa memunculkan praktik kebencian yang ahumanis. Yakni, kebencian yang tak saja berlawanan dengan kepentingan peneguhan harkat dan martabat kemanusian, melainkan lebih-lebih meruntuhkannya ke dasar jurang kehancuran kemanusiaan.
Masalahnya lagi, kebencian yang berangkat dari perbedaan sebagaimana dimaksud di atas kerap tak berhenti hanya sebatas kebencian semata. Melainkan sering pula diteruskan kepada praktik dan tindak kekerasan. Memang kekerasan paling minimal adalah kekerasan verbal (verbal violence). Bentuknya adalah perampasan makna kata dan kalimat untuk menistakan sesama karena didorkong oleh semangat kebencian itu. Namun, dalam senyatanya, kebencian yang mendera hubungan antar individu atau kelompok di tengah kehidupan sosial kerap sekali melahirkan tindak kekerasan fisik.
Karena itulah, perbedaan tak boleh melahirkan kebencian, dan untuk selanjutnya kebencian juga tak boleh menciptakan kekerasan. Jangan hanya karena berbeda, lalu muncul kebencian. Apakah perbedaan itu karena faktor keyakinan agama, ras, dan kesukuan, ataukah karena faktor kepentingan sesaat. Faktor yang disebut terakhir ini bsia saja berwujud kepentingan kuasa politik. Atau bisa pula berupa kuasa sosial ekonomi. Perbedaan menandai kehidupan dan bukan untuk memicu kebencian. Maka, saat perbedaan sudah memunculkan kebencian, alarm kewaspadaan harus dibunyikan. Mengapa harus? Karena, kebencian semacam itu bukan saja menodai, melainkan sudah meruntuhkan harkat kemanusiaan.
Jadi, lahirnya pernyataan “everyone matters” tak lepas dari persoalan martabat kemanusiaan yang menjadi kata kunci dari panel pembahasan tentang upholding human dignity (menjunjung tinggi martabat kemanusiaan) pada konferensi internasional itu. Seperti diuraikan sebelumnya, kalimat itu memang seakan normatif semata. Wujudnya seakan kalimat afirmatif biasa. Namun, karena diucapkan usai penjelasan mengenai sejumlah kejadian di berbagai kawasan di dunia mengenai kasus kekerasan atas dasar perbedaan, maka kalimat itu sejatinya mengandung substansi peringatan. Apalagi, kalimat itu diucapkan oleh penuturnya untuk menutup presentasinya pada panel mengenai upholding human dignity itu. Maka, kalimat itu semakin jelas dimaksudkan sebagai peringatan keras.
Inspirasi Untuk Perbaikan Diri
Dengan substansi peringatan tersebut, kalimat “everyone matters” di atas tiba-tiba membawaku untuk mengingat kembali mutiara hikmah lain. Bunyinya seperti ini: every word counts. Setiap kata punya makna. Setiap ujaran punya arti. Setiap tulisan punya maksud. Kata “makna”, “arti”, dan “maksud” di sini adalah padanan kata yang menunjuk kepada kata counts dalam kalimat mutiara hikmah dimaksud. Adapun “kata”, “ujaran”, dan “tulisan” diturunkan untuk mewakili makna yang dikandung oleh unsur bahasa word. Melihat struktur kalimat yang digunakan, ungkapan everyone matters persis sama dengan every word counts. Kandungan maknanya pun juga serupa. Sama-sama mengingatkan pentingnya urusan yang dikandungnya.
Dengan kandungan nilai seperti yang demikian, mutiara hikmah every word counts yang jamak digunakan di masyarakat Barat di atas langsung menusuk pikiranku begitu Brett G. Scharffs datang dengan ungkapan everyone matters dalam konferensi internasional di atas. Dengan kemiripan struktur dan makna yang dikandung, kedua kalimat mutiara hikmah tersebut mengingatkan kita semua untuk tidak main-main dengan harkat dan martabat manusia. Main-main saja, jangan. Apalagi hingga menistakan. Baik dalam ujaran lisan maupun tindakan. Karena itu, setiap kata dan kalimat yang dipilih harus dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi. Sebab, semua punya arti dan makna tersendiri.
Mutiara every word counts ini mengirimkan pesan konkret: setiap kata yang engkau gunakan dalam ucapan maupun tulisan seyogyanya dipilih dengan penuh niat dan tujuan. Jangan sembarangan dalam berujar lisan dan tulisan karena ada komponen niat dan tujuan itu. Dalam Bahasa Inggris, niat dan tujuan itu masing-masing sepadan dengan kata intention dan purpose (atau ends). Tentu saat niat baik atas sebuah kata, maka baik pula makna yang ditimbulkan oleh kata itu. Dan begitu pula sebaliknya. Saat niat buruk, makna yang dilahirkannya atas kata yang ditunjuk juga buruk.
Mengapa begitu? Karena, setiap kalimat pasti normatif. Bergantung pada niat. Bahkan, niat itulah yang bisa menjadi pendorong lahirnya sebuah kalimat. Maka, baik-buruknya substansi kalimat diawali dari niat yang menjadi pendorongnya. Dan soal niat atau intention ini sudah menjadi pembahasan mendalam dalam kajian teks (lihat M.A.K. Halliday, Linguistic Studies of Text and Discourse, New York & London: Continuum, 2002). Bahkan, niat sudah menjadi pengikat dari kaitan antara teks satu dan lainnya. Karena itu, muncul istilah intentionality (Halliday, 2002:130) yang menunjuk kepada sentralnya posisi niat bagi teks.

(Foto: Sampul Buku Karya Halliday, 2002)
Maka, kebutuhan untuk melakukan kajian lintas teks atau yang lebih dikenal dengan istilah intertextuality (lihat W. F. Hanks, “W. F. Hanks, “Text and Textuality,” Annual Review of Anthropology, 1989, Vol. 18 (1989), hal. 95-127) tak bisa jauh-jauh dari strategisnya posisi niat di hadapan teks. Karena itu, selalu niat akan menentukan maksud dari teks. Bahkan, bisa diungkapkan begini: dilahirkannya sebuah teks justeru untuk memenuhi apa yang terlintas dalam niat. Dengan kata lain, teks cenderung menghamba pada niat. Maka, sebagai konsekuensi lanjutannya, teks tak bisa jauh-jauh dari niat yang mendorong lahirnya teks itu.
Demikian pula halnya dengan purpose (atau ends)atau tujuan atas kata atau kalimat. Saat tujuan yang dimaksudkan atas kata atau kalimat baik, maka tentu baik pula makna yang dilahirkan dari kata atau kalimat itu. Sebab, kekuatan kalimat ditentukan oleh tujuan yang menjadi salah konteks dari dilahirkannya kalimat itu. Dalam kaitannya dengan kalimat “everyone matters” di atas, sebagai contoh, dilahirkannya kalimat itu oleh Brett G. Scharffs sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah dalam konteks dan kerangka kepentingan agar berbagai bentuk kekerasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan atas nama perbedaan di berbagai belahan di dunia segera diakhiri. Dan kalimat “everyone matters” itu sebagai sebuah peringatan penting untuk diindahkan.
Maka, kata yang dipilih dalam setiap tutur atau tindakan akan menimbulkan konsekuensi serius menyusul niat dan tujuan yang menggerakkannya. Mengapa begitu? Karena, kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi, mengkomunikasikan dan bahkan menimbulkan sebuah dampak yang konkret atas obyek yang disasar oleh penggunaan kata itu. Kata “bodoh” dan “kurang pintar” memang sama-sama menunjukkan derajat yang menurun, atau di bawah, dari pintar. Begitu juga dengan kata tough dan authoritarian dalam Bahasa Inggris. Tak setiap tough itu authoritarian. Tapi, setiap authoritarian adalah tough dalam derajat yang lebih ekstrem.
Argumen yang sama dengan pembahasan soal kata di atas juga berlaku bagi kalimat everyone matters. Baik dalam konteks kaitan antara kalimat dengan niat maupun tujuan. Karena itu, saat dikaitkan dengan tema sesi panel konferensi internsional yang menjadi saksi dari lahirnya kalimat everyone matters sebagaimana diuraikan di atas, maka pemilihan kata atau kalimat dalam ucapan akan berkaitan langsung dengan niat dan tujuan upholding human dignity. Ya, berhubungan langsung dengan kepentingan untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itulah, menistakan harkat dan martabat siapapun tak boleh dilakukan.
Mulutmu Harimaumu
Untuk memudahkan pemahaman dan pelaksanaan, nilai memang kerap diterjemahkan ke dalam ungkapan petunjuk dan nasehat. Dalam kerangka kearifan lokal, sebagai misal, petunjuk dan nasehat itu kerap pula diwujudkan ke dalam bentuk ungkatan mutiara hikmah. Kecenderungan itu berkembang secara serupa, dan sekaligus tak jauh-jauh dari khazanah peradaban global. Sebagai contoh, nilai penghormatan dan penjagaan harkat-martabat kemanusiaan diterjemahkan, sebagaimana di uraiakn di bawah, ke dalam sejumlah mutiara hikmah yang mudah dipahami oleh masyarakat setempat. Termasuk perkembangan-perkembangan dari rumusan ungkapan mutiara hikmah itu. Kita mengenal ungkapan mulutmu harimaumu ini. Ungkapan yang memberi pesan agar setiap kita berhati-hati dengan lisannya. Memang ungkapan itu masih berlaku hingga kini tapi kini ada ungkapan lain yang menyempurnakannya. Bunyinya begini: jemarimu harimaumu. Dalam perkembangannya, kata “mulutmu” yang dulu dianggap menjadi produsen kata atau kalimat kini diperluas dengan juga meliputi kata “jemarimu”. Itu artinya, produsen kata dan kalimat kini tak hanya didominasi oleh mulut sebagai instrumennya. Melainkan juga oleh jemari yang kini semakin menemukan realisasinya akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Karena itulah, prinsip everyone matters bukan sekadar mutiara hikmah semata, melainkan juga peringatan ternama. Begitu pula every word counts. Keduanya merupakan mutiara hikmah dan sekaligus peringatan. Bahkan, ungkapan every word counts merupakan terjemahan konkret dari prinsip everyone matters. Kedua ungkapan mulia ini mengajak setiap pribadi manusia untuk tak saja mementingkan kebutuhan dirinya sendiri. Melainkan juga menjunjung tinggi harkat dan martabat sesamanya. Konsep harkat dan martabat inilah yang kemudian dikenal di masyarakat global dengan istilah human dignity.
Dalam konteks inilah, setiap kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan sesama. Maka, pesan yang mungkin lahir dari kalimat every word counts akan persis dengan ungkapan everyone matters di atas. Di antaranya: Tak boleh ada yang menistakan satu sama lain. Tak boleh ada yang menyakiti satu sama lain. Lebih-lebih, tak boleh ada yang melukai satu sama lain. Sebab, masing-masing diikat oleh nilai kemanusiaan berikiut ini: setiap orang memiliki marwah yang sama sebagai manusia. Maka, kalimat every word counts mengingatkan bahwa menyakiti secara verbal saja jangan. Apalagi lebih dari itu. Tentu sangat nista.
Lalu Apa Pelajarannya?
Ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari uraian kisah dan pembahasannya di atas. Pertama, tak ada yang lebih baik selain berhati-hati dalam berujar. Bukan saja soal isi. Tapi juga dalam pilihan kata dan kalimat. Karena pilihan kata dan kalimat itu pasti akan mengandung isi yang dikehendaki untuk dilepaskan. Lisan maupun tulisan. Apalagi, setiap pilihan kata dan kalimat, serta bahkan rumusannya, tak jauh-jauh dari niat dan tujuan penuturnya. Persis sebagaimana diulas di atas. Apa yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya jelas menunjukkan bahwa berhati-hati dalam berujar itu memiliki dasar yang kuat. Baik dari sisi akademik keilmuan linguistik maupun ajaran spiritual.
Maka, tak salah saat berkembang postulat begini: ujaranmu adalah hatimu. Karena, ujaran itu menunjukkan niat yang memicu. Juga, ucapanmu adalah tujuan dan maksudmu. Sebab, ucapan itu lahir dari maksud dan tujuan yang manyapu. Begitulah yang diajarkan oleh kajian linguistik dan spiritual seperti diuraikan sebelumnya. Karena itu, posulat-postulat dimaksud kerap bergerak menjadi nasehat mulia yang sering kita terima. Mengambil nasehat itu adalah memuliakan diri. Mengabaikannya hanya akan merugikan kemuliaan diri sendiri. Sebab, berhati-hati dalam berujar itu tak akan ada yang dirugikan. Bahkan malah menambahkan kemuliaan. Minimal tak membuat marwah diri mengalami defisit yang tak terperikan.
Kedua, tak ada yang lebih lacur kecuali langkah menjerumuskan diri sendiri. Langkah itu diawali dari gagalnya kecakapan untuk menjaga mulut dan jemari. Sebab, mutiara hikmah yang berbunyi mulutmu harimaumu dan jemarimu harimaumu sama-sama mengingatkan bahwa mulut dan jemari bisa menerkam marwah dan “keselamatan” diri sendiri. Mulut dan jemari bisa mengancam kemuliaan diri sendiri. Semua itu bisa terjadi akibat tak dijaganya pergerakan mulut dan jemari dalam berpendapat. Sebab, saat mulut dan jemari tak terkendali, akhlaq tercela (akhlaq madzmumah) diri akan segera diketahui. Begitu pula sebaliknya; saat mulut dan jemari terjaga dengan baik, akhlaq terpuji (akhlaq mahmudah) akan cepat tersaji.
Mau lisan maupun tulisan, itu pasti sama saja. Hanya soal media yang membuat beda. Substansinya serupa. Begitu sebuah pesan diujarkan dan atau diucapkan, substansi itu akan segera menunjukkan isi hati. Niat dan tujuan seperti yang menjadi pembahasan kajian teks sebagaimana diuraikan panjang lebar di atas adalah nama lain untuk menjelaskaan isi hati. Karena itu, semakin tak terkendali mulut dan jemari, semakin tergambar jelas isi hati. Semakin ontran-ontran mulut dan jemari, semakin memperjelas apa yang menjadi isi otak dan tindak laku. Karena itu, menjaga mulut dan jemari adalah langkah jitu untuk menjaga harga diri dan akhlaq pribadi.
Perbedaan tak sepatutnya melahirkan kebencian. Apapun latar belakang dan orientasi dari perbedaan itu. Mulai karena faktor material, ras dan kesukuan hingga karena faktor keyakinan dan agama. Sebab, perbedaan adalah bagian dari fakta kemanusiaan. Maka, kebencian yang lahir dari perbedaan apapun sebagai latar belakangnya tak pantas untuk ada, apalagi dipelihara dan dibiarkan berlangsung berketerusan. Itu, lebih-lebih karena, terdapat konsep human dignity yang mengikat setiap diri individu manusia ke dalamnya untuk menegakkannya. Karena itu, saat everyone matters menjadi kata kunci untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan itu, every word counts menjadi kalimat magis akan menyempurnakan penunaian kewajiban penghormatan dan penjagaan harkat-martabat kemanusiaan itu. Maka, bukan hanya tangan dan kaki yang harus dijaga. Mulut dan jemari pun kini juga menuntut untuk secara kuat dipelihara dari segala keburukan. Apalagi, dalam perkembangan terakhir viralitas sangat mungkin terjadi akibat mulut dan jemari. Karena itu, menjaga mulut dan jemari adalah menjaga kemuliaan diri. Ujungnya adalah memperkuat penghormatan dan peninggian harkat dan martabat kemanusiaan.