UIN Sunan Ampel Surabaya
August 29, 2025

EMPATIKAN DIRIMU

EMPATIKAN DIRIMU

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Siang itu, Selasa (07 Agustus 2025), kami semua sepakat untuk rehat sejenak. Dari kerja telaah dokumen. Sudah sejak sehari sebelumnya pekerjaan itu kami lakukan bersama. Dokumen perdokumen dipelototi. Sekaligus secara berlapis juga diverifikasi. Agar hasilnya betul-betul maksimal penuh teliti. Kami pun siang itu lalu keluar dari tempat acara. Meninggalkan pekerjaan yang kami seriusi sejak sehari sebelumnya. Kepentingannya untuk makan siang bersama. Di Restoran Talaga Sampireun di kawasan Bintaro Jaya. Tangerang Selatan, nama kotanya. Rehat siang itu terjadi sebelum kami melanjutkan kembali sidang pleno akhir di sore hingga malam harinya.  

Sesampai di lokasi restoran itu, duduklah kami semua. Seorang lelaki di antara kami lalu menyampaikan kalimatnya. “Silakan Bu Otis menyampaikan sepatah-dua patah kata sebagai sambutan perpisahan,” kata lelaki itu. Nama lelaki itu Pak Jajang. Dia sampaikan kalimat itu untuk mengatur jalannya acara pertemuan siang itu. Penyebutan frase “sambutan perpisahan” tampak mendapat reaksi langsung dari yang lain. “Sebetulnya ini bukan perpisahan, tapi semacam tasyakkuran,” sergah Pak Muhammad Aziz Hakim menimpali kalimat Pak Jajang itu. Pak Aziz Hakim meyampaikan kalimatnya tersebut sambil tertawa riang untuk menyegarkan suasana pertemuan siang itu. Bu Otis pun menyampaikan kalimatnya. Berpamitan karena harus segera bergabung dalam tugas menjadi dosen tetap di UIN Siber Syech Nurjati Cirebon.  

“Menyimak kalimat Bu Otis, mari kita semua sama-sama membayangkan bahwa kelak kita akan seperti Bu Otis.” Demikian sambutan Pak Muhammad Aziz Hakim selaku Kasubdit Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI. Pak Aziz Hakim harus menyampaikan sambutan dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Bu Otis dan rekan-rekan di Subdit Ketenagaan itu. “Karena dulu saya juga diajari sama seorang senior; jika ada senior yang berpamitan, mari membayangkan bahwa kita kelak akan menjadi senior seperti beliau.” Begitu alasan Pak Aziz Hakim menjelaskan mengapa dia mengajak semua yang hadir di rumah makan siang itu untuk apresiatif dan menghormati senior seperti Bu Otis. Oh ya, Bu Otis sendiri beralih tugas dari pejabat struktural menjadi pejabat fungsional dosen di kampus Islam di Cirebon itu.

Foto: Tasyakkuran di Restoran Talaga Sampireun Bintaro (07/08/2025)

Di ujung yang lain, ada kisah menarik yang perlu ku-spill. Kisah itu terjadi pada hari kedua dari acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Tepatnya, Rabu (13 Agustus 2025). Kala itu aku harus menyampaikan materi “Kedokteran, Islam dan Kemanusiaan.” Di kelas mahasiswa kedokteran UIN Sunan Ampel Surabaya. Di awal aku masuk ruangan, mahasiswa baru kedokteran itu menyambut dengan yel-yel. “Siapa Kita?,” teriak pimpinan mahasiswa baru kedokteran itu. “Dokter Santri!” sahut empat puluh sembilan mahasiswa lainnya. Sang pimpinan mahasiswa baru itu lalu meneriakkan satu kalimat lagi: “Dokter Santri?” Lalu para mahasiswa kedokteran lainnya kontan menyahuti: “Smart and empathy.”

Aku pun terpesona dengan kalimat “smart and empathy” pada yel-yel mahasiswa kedokteran UINSA di atas. Kalau kata “smart” diteriakkan, saya pasti paham ke mana arahnya. Sebab, untuk bisa lulus dan menjadi mahasiswa kedokteran UINSA Angkatan 2025 itu, seorang mahasiswa baru kedokteran itu harus berhasil menyisihkan dan memenangkan persaingan hingga sekitar 18 orang yang lain. Sebab, yang diterima hanya sebatas lima puluh mahasiswa saja. Tak banyak kursi yang disediakan. Karena itu, besarnya animo pendaftar menimbulkan persaingan yang sangat ketat. Tentu, kata “smart” lalu mewakili situasi peraihan sukses menjadi mahasiswa kedokteran itu.

Tapi, kata “empathy” yang digunakan oleh mahasiswa baru kedokteran UINSA di atas terasa sangat tepat untuk melukiskan karakter keilmuan dan kecakapan kedokteran.  Sebab, nilai prinsipil itu kelak harus mereka teguhkan dalam melaksanakan tanggung jawab mereka nanti sebagai dokter profesional. Jiwa menolong orang yang lagi dalam kondisi sakit pasti harus kuat. Jiwa membantu pasien harus pula menjadi bagian dari ruh penunaian tanggung jawab mereka kelak sebagai dokter profesional. Aku pun lalu meminta mereka untuk membuka HP masing-masing. Lalu membuka laman Google. Aku ajak mereka untuk mendalami makna substansial kata empathy dan sympathy dari berbagai sumber yang tersedia secara online.  

Berbagi Kemuliaan

Teriakan “smart and empathy” oleh mahasiswa baru kedokteran UINSA di atas menarik ingatanku kembali kepada kisah di Restoran Talaga Sampireun di kawasan Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, yang kuceritakan di awal tulisan ini. Sebab, menyerap serangkaian untaian kalimat yang disampaikan Pak Aziz Hakim di atas, otakku langsung me-recall kembali sebuah istilah penting: simpati (sympathy). Mirip dengan istilah “empati” (empathy). Kedua istilah ini berangkat dari basis nilai yang sama: sincerity. Artinya, ketulusan. Yakni, nilai kecakapan untuk bisa mengerti dan memahami perasaan orang lain atau sesama tanpa adanya motivasi pamrih. Keduanya berangkat dan sekaligus mewujud dalam bentuk kepedulian yang tinggi terhadap situasi sulit, tidak mengenakkan, atau bahkan menyakitkan yang dialami orang lain atau sesama itu. 

Meski serupa, kedua istilah itu masih memiliki perbedaan titik sentuh (nuance). Merriam-Webster Dictionary (lihat URL: https://www.merriam-webster.com/grammar/sympathy-empathy-difference) menjelaskan begini: Sympathy and empathy both involve feelings of concern for someone, but empathy goes beyond a feeling of concern to include an active sharing in the suffering person’s emotional experience. Begini terjemahannya: “Simpati dan empati keduanya melibatkan perasaan peduli terhadap seseorang, tetapi empati lebih dari sekadar perasaan peduli karena mencakup praktik berbagi secara aktif dalam pengalaman emosional orang yang menderita.”

Artinya, dengan pemaknaan di atas, empati adalah the next level dari simpati. Konkretnya begini: kalau hanya berhenti pada peduli semata, maka itu adalah simpati. Saat rasa peduli itu ditingkatkan dan dilanjutkan ke dalam keterlibatan aktif untuk merasakan pengalaman emosional orang lain lalu mengulurkan tangannya untuk meringankannya, maka sikap itu telah naik level menjadi empati. Bukan lagi simpati. Sebagai misal, saat ada sesama yang sedang menghadapi musibah kesedihan, lalu kita mengulurkan tangan untuk meringankan beban kesedihan itu, maka kita sudah masuk kategori empati. Kalau hanya ikut menyampaikan rasa sedih usai mendengar musibah itu dialami sesama, maka levelnya baru simpati.

Ada kata kunci penting di situ: actively sharing. Berbagi secara aktif. Saat kepedulian itu diwujudkan dalam bentuk pengertian, pemahaman, dan pemakluman yang serupa dengan yang dimiliki oleh sesama yang sedang mengalami situasi sulit itu, maka itu baru masuk level simpati. Mengapa? Karena praktik itu masih cenderung pasif. Belum memenuhi unsur actively sharing. Bentuk-bentuk praktik seperti pengertian, pemahaman, dan pemakluman baru menyentuh ekspresi internal diri si pelaku. Cakupannya belum menyentuh ekspresi berbagi secara aktif. Yakni, adanya ekspresi diri yang menunjuk kepada penjangkauan (outreach) sang pelaku terhadap proses pengurangan beban kesulitan yang dihadapi sesamanya. Minimal, melakukan pendampingan kepadanya dalam sutuasi sulit itu.

Terlepas dari perbedaan level antara keduanya, simpati dan empati dibangun di atas kesadaran yang sama. Yakni, sincere concern. Kepedulian sejati. Kepedulian yang tulus. Yakni, kepedulian yang berangkat dari kejernihan hati, pikiran, dan tindakan yang bergerak secara seirama-lurus dalam menempatkan dirinya pada posisi sesama, dan juga meletakkan sesama pada posisi dirinya. Tentu, kepedulian sejati nan tulus ini bukan kepedulian semu atau serba pura-pura. Kepedulian semu atau serba kepura-puraan ini mirip dengan apa yang sangat terkenal di kalangan Orang Jawa dengan istilah abang-abang lambe. Orang Barat menyebutnya lips-service semata. Hanya untuk pantes-pantesan. Hanya agar tak dibilang aneh. Hanya agar tak disebut cuek bebek. Tak lebih dari itu.

Padahal, jika ditarik lebih dalam, kesejatian dan ketulusan merupakan prinsip dasar dalam ajaran agama.  Lihatlah redaksi Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini: al-Din huwa al-nashihah. Dalam Bahasa Inggris, redaksi kalimat pada Hadits ini sama dengan: religion is sincerity. Agama adalah ketulusan. Agama adalah kesejatian. Bahkan dalam lanjutan Hadits itu, ada ungkapan tanya jawab antara para sahabat dan Rasulullah Muhammad mengenai orientasi nilai ketulusan dan kesejatian itu. “Li man Ya Rasulallah (Untuk siapa ya Rasul)?” tanya para sahabat.  

Lalu, atas pertanyaan para sahabat itu, Nabi Muhammad SAW pun menjawab begini: “Li Allahi, wa li kitabihi, wa li rasulihi, wa li ‘a’immat al-Muslimin wa ‘ammatihim.” Jawaban Nabi Muhammad ini dalam terjemahan Bahasa Indonesianya berarti begini: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk semua pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.”Demikianlah penjelasan Nabi Muhammad SAW tentang orientasi dan peruntukan ketulusan dan kesejatian yang harus ditunaikan oleh setiap pribadi Muslim. Artinya, ketulusan dan kesejatian ini berlaku baik untuk urusan vertikal maupun horizontal, serta baik dalam kaitannya dengan urusan ukhrawi maupun duniawi.   

Melalui redaksi “al-Din huwa al-nashihah” dalam Hadits di atas, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita soal ketulusan dan kesejatian. Substansinya mendorong kita untuk tidak jatuh pada kepalsuan dan kepura-puraan dalam hidup. Jika prinsip dasar agama saja adalah ketulusan dan atau kesejatian seperti disebut oleh Nabi dimaksud, maka urusan yang lebih bersifat praktis dalam kehidupan duniawi juga sepatutnya tak meninggalkan prinsip ketulusan dan atau kesejatian dimaksud. Dan, ini semua berarti bahwa ketulusan dan atau kesejatian begitu penting dalam tata kelola kehidupan.

Maka, pada tataran yang paling mendasar sekali, kesejatian dan ketulusan adalah pemantik kemuliaan. Dalam kaitan itu, kemanusiaan kita sangat diukur oleh kemuliaan hidup kita. Lebih-lebih, prinsip ini berlaku dalam urusan yang berkaitan dengan kehidupan sesama. Tentu juga sekaligus berhubungan dalam urusannya secara khusus dengan kepedulian sosial. Bahkan, kemanusiaan itu adalah kemuliaan itu sendiri. Kepedulian sosial dan semacamnya adalah bagian dari ekspresi fundamental atas nilai kemanusiaan itu sendiri.  

Teknokrasi Empati

Karena hidup tak bisa sendirian, maka berjalannya hidup bersama di ruang publik tak boleh dibiarkan begitu saja. Harus diselenggarakan tata kelola sebaik mungkin atasnya. Itu harus dilakukan agar setiap kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing individu tetap bisa mengacu kepada kepentingan bersama. Minimal tidak sampai bertabrakan satu sama lainnya. Kalau itu terjadi, maka berarti masing-masing selalu mempertimbangkan kepentingan sendiri sesukanya. Masing-masing menyusu kepada kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan sesama. Tentu, situasi itu kan menimbulkan riak dan bahkan keguncangan sosial di tengah kehidupan bersama.

Lebih-lebih, pentingnya tata kelola kehidupan bersama adalah agar tercipta ekosistem kemuliaan di tengah kehidupan masyarakat. Apa yang disebut dengan “ekosistem kemuliaan” ini mempersyaratkan adanya gugusan komponen yang menumbuhkan dan mempertahankan kemuliaan dalam gerak praktik masing-masingnya. Semua komponen itu bergerak di atas dan dalam nilai yang sama. Mereka semua berbagi semangat dalam upaya untuk menegakkan kemuliaan itu. Dengan berbagi semangat dan nilai itu, kemuliaan menjadi sumbu dari pergerakan masing-masing komponen itu.

Indikator utama dari ekosistem kemuliaan adalah berkembang meratanya nilai kebajikan sosial di tengah kehidupan masyarakat. Nilai kebajikan sosial itu menjangkau seluas-luasnya kepentingan warga masyarakat. Bukan kepentingan personal orang perorang. Semua komponen masyarakat berjuang untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan mempertahankan nilai kebajikan itu. Ambruknya nilai kebajikan sosial itu berarti ambruknya marwah masyarakat itu. Begitu pula sebaliknya, tertegakkannya nilai kebajikan sosial itu juga berarti terjaganya marwah masyarakat.

Salah satu contoh partikular dari nilai kebajikan sosial di atas adalah kepedulian sosial. Secara konkret, kepedulian sosial ini merupakan wujud nyata dari nilai kebajikan sosial. Sebab, nilai dan praktik kepedulian sosial itu menjangkau seluas-luasnya warga masyarakat. Karena itu, sebagai sebuah nilai dan praktik, kepedulian sosial itu selalu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan juga golongan. Sakit satu akan dianggap sebagai sakit semua. Bahagia satu akan dianggap sebagai bahagia semua. Persis seperti kondisi tubuh: sakit satu bagian, dirasakan juga oleh bagian lainnya; bugar satu bagian, dirasakan juga oleh bagian tubuh lainnya. Itulah wujud dari nilai kepedulian sosial.

Nah, empati bisa diterjemahkan melalui praktik kepedulian sebagaimana diuraikan di atas. Sama-sama berbagi semangat ketulusan yang sejati sebagaimana cakupan makna kata “simpati” seperti dijelaskan sebelumnya, empati mendorong anggota masyarakat untuk melangkah lebih lanjut nan konkret dalam bentuk uluran tangan untuk meringankan beban sesamanya. Maka, institusi zakat, infaq dan sedekah adalah contoh instrumen penting yang diciptakan dalam rangka memperkuat nilai kepedulian sosial di atas. Karena itu, tumbuhnya praktik filantropis seperti itu menandai tingginya kesadaran tentang kepedulian sosial sebagaimana dimaksud.  

Karena itu, tugas siapapun yang sedang mengemban amanah publik adalah melakukan teknokrasi atas sebuah nilai ajaran. Terhadap nilai kepedulian sosial, sebagai salah satu contohnya, harus dilakukan teknokrasi. Dalam kaitan contoh ini secara partikular, pengemban amanah publik harus melakukan penerjemahan konkret dalam bentuk kebijakan praktis dalam memperkuat nilai kepedulian sosial di antara seluruh sumber daya manusia yang berada di bawah kewenangannya. Lalu, nilai manfaat dari kepedulian sosial dimaksud menjangkau seluas-luasnya anggota masyarakat.

Lalu, Apa Pelajarannya?

Ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari kisah dan uraian yang diberikan di atas. Pertama, ketulusan harus dibangun dari dini. Sebab, ketulusan menjadi fondasi awal bagi tumbuhnya simpati dan empati dalam praktik kehidupan. Simpati dan empati itu ibarat dua sisi mata uang. Bisa dibedakan tapi tak bisa dipisahkan. Memang, empati itu the next level dari simpati, seperti diuraikan sebelumnya. Tapi tetap saja bahwa keduanya diikat oleh nilai sincere concern. Kepedulian yang sejati. Kepedulian yang tulus. Begitulah kira-kira terjemahannya.

Karena itu, menumbuhkan simpati memang merupakan langkah awal menuju lahirnya empati. Dan, itu memang harus ditumbuhkan sejak dini dalam kehidupan manusia. Tapi, yang tak boleh dilupakan dari langkah itu adalah membangun mentalitas kesejatian. Ya, mentalitas ketulusan. Sebab, kesejatian dan ketulusan dimaksud menjadi kerangka bagi praktik kepedulian sosial. Maka, siapapun orang dewasa harus menyadari betul bahwa kesejatian dan ketulusan harus ditanamkan secara dini dalam pendidikan dan perawatan anak.

Kedua, kepedulian sosial itu harus dikelola dengan baik. Maka, yang diperlukan Adalah tata Kelola yang baik terhadap nilai dan praktik kepedulian sosial itu. Bentuknya bukan saja dengan melakukan pendirian lembaga filantropi hingga pengembangan tata kelola modern atasnya untuk melembagakan nilai dan praktik kepedulian sosial itu. Melainkan, juga dengan melakukan edukasi yang tinggi tentang kepedulian sosial kepada semua individu yang ada di dalam institusi dan di luarnya. Kata “di dalam” bermakna internal pegawai atau sumber daya manusia yang ada di dalam sebuah institusi pengelolaan filantropi. Kata “di luarnya” berarti bahwa edukasi itu juga harus digerakkan keluar hingga menjangkau komponen masyarakat luas.

Pelembagaan nilai dan praktik kepedulian sosial ini menjadi kebutuhan mendasar bagi upaya pengarusutamaan nilai kebajikan sosial itu secara partikular. Tentu juga nilai-nilai kebajikan sosial lainnya secara umum. Langkah pelembagaan yang efektif dan berjangka panjang adalah melalui instrumen edukasi. Cakupan edukasi dalam kaitan ini tidak saja mewujud dalam bentuk peningkatan literasi kepedulian sosial kepada seluas-luasnya anggota Masyarakat. Melainkan juga pelembagaan nilai kepedulian sosial dimaksud ke dalam bentuk pengembangan tata kelola kepedulian sosial melalui institusi pengelolaan praktik baik kepedulian sosial itu.

Simpati memang sebuah nilai kebajikan. Tapi untuk kepentingan kebermanfaatan, simpati itu harus diteruskan dan dikembangkan ke dalam praktik empati. Karena dengan empati, sebuah nilai kebajikan bisa memberi dampak terhadap terciptanya kemaslahatan yang berarti. Baik pada level individual maupun sosial kolektif. Itu semua harus dilakukan karena hidup harus selalu bisa memberi dampak positif. Maka, tak cukup hanya simpati. Sempurnakan dengan empati. Agar diri bisa punya arti. Melalui manfaat yang ditebar ke sesama hamba ilahi.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA