(Surabaya 21 Oktober 2025) Konferensi Internasional Sunan Ampel tentang Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (SAICoPSS) 2025 mengukuhkan reputasinya sebagai forum akademis yang berani mendalami isu-isu sensitif dan interdisipliner. Pada hari pertama, Room 4 menjadi titik fokus eksplorasi yang kaya, menghadirkan presentasi-presentasi yang secara efektif menjembatani warisan budaya kuno dengan gejolak politik global. Meskipun sub-tema utama sesi ini adalah “Religion, Social Norms, and Conflict Resolution,” diskusi yang disajikan melampaui kerangka konvensional dengan menunjukkan bagaimana agama dan norma sosial secara fundamental menentukan resiliensi masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis, termasuk kerawanan pangan dan konflik geopolitik.
I. Sekularisme Politik yang Didorong oleh Kesalehan: Dinamika Pemilih Muslim dan Elite Agama

Mohammad Hidayaturrahman menyajikan sebuah analisis kontemporer yang mendalam mengenai perilaku pemilih Muslim yang taat, sebuah segmen kunci dalam lanskap politik Indonesia, dan secara paradoks mengamati bahwa tindakan mereka mencerminkan sebuah proses sekularisme politik yang muncul dari akar kesalehan itu sendiri. Fenomena ini bukanlah penolakan terhadap nilai-nilai agama, melainkan sebuah strategi perlindungan yang didorong oleh keinginan kolektif yang kuat untuk melindungi tokoh-tokoh agama yang sangat mereka hormati dan junjung tinggi dari risiko keterlibatan langsung dalam aktivitas politik yang cenderung menyimpang, korup, atau tidak etis, terutama di tengah meningkatnya skeptisisme publik terhadap integritas politik.
Dalam perspektif Mohammad Hidayaturrahman, tokoh-tokoh agama yang dihormati dianggap memegang amanah spiritual yang suci dan oleh karenanya, keterlibatan mereka dalam urusan politik yang kotor dikhawatirkan dapat secara substansial menodai reputasi dan, yang lebih merusak, melemahkan otoritas spiritual mereka di mata umat. Akibat logis dari kekhawatiran ini adalah desakan yang semakin kuat dari pemilih Muslim yang taat agar tokoh-tokoh tersebut secara tegas tetap fokus pada tugas-tugas keagamaan yang esensial dan kegiatan pendidikan yang mencerahkan, alih-alih terjerumus dalam tarik-menarik urusan politik. Tren ini, yang merupakan respons langsung terhadap gambaran negatif politik terutama terkait isu korupsi dan pelanggaran etika yang belakangan ini merebak diprediksi Hidayaturrahman akan terus berlanjut dan bahkan menguat. Prediksi ini akan semakin terealisasi, khususnya jika para pejabat publik yang juga kebetulan menyandang status pemimpin agama gagal untuk secara meyakinkan menunjukkan komitmen terhadap tata kelola yang efektif, transparan, dan berintegritas tinggi. Dengan demikian, tuntutan untuk memisahkan domain ulama dari domain politik praktis muncul sebagai manifestasi perlindungan internal oleh komunitas keagamaan itu sendiri terhadap kemurnian institusi spiritual mereka.
II. Beban Elektoral Identitas dan Pergeseran Strategis dalam Politik

Berlanjut pada eksplorasi peran agama dalam arena elektoral, Danial Darwis memberikan pandangan yang tajam dan strategis, menyoroti realitas bahwa identitas agama kini mulai dirasakan sebagai beban elektoral yang menghambat, sebuah kondisi yang tercipta akibat adanya ketidakcocokan yang semakin lebar antara “modal” sosial-keagamaan yang dimiliki oleh kelompok tertentu dengan “bidang” atau arena politik yang kompetitif dan sekuler-pragmatis. Darwis secara terperinci mengidentifikasi adanya tiga hambatan struktural yang menghalangi konversi identitas keagamaan menjadi dukungan suara yang terorganisir: yang pertama adalah fragmentasi yang inheren di dalam kelompok-kelompok berbasis identitas itu sendiri; yang kedua adalah prevalensi stereotip negatif yang dilekatkan oleh kelompok luar; dan yang ketiga adalah keberadaan jembatan yang lemah yang kurang efektif dalam menghubungkan representasi identitas dengan kebutuhan politik praktis dan programatik.
Dalam meramalkan siklus politik mendatang, Darwis memprediksi sebuah pergeseran strategis yang fundamental dan tak terhindarkan: dari sekadar mengandalkan simbolisme keagamaan atau personalisasi tokoh, perhatian akan beralih kepada program-program yang konkret, dapat diaudit, dan mampu melintasi batas-batas identitas elektoral yang ada. Pergeseran ini mensyaratkan adanya upaya serius untuk merekonstruksi insentif politik dan membangun jaringan yang lebih kuat dan inklusif, khususnya sebagai langkah krusial untuk menjamin ketahanan dan representasi minoritas dalam sistem politik yang didominasi oleh mayoritas. Dengan kata lain, politik identitas harus bertransformasi menjadi politik programatik yang berbasis kinerja, jika ingin mempertahankan relevansinya dan memenangkan dukungan elektoral yang lebih luas dan stabil di masa depan.
III. Mediasi Digital dan Pembangunan Perdamaian Transformatif
Memperluas diskusi ke ranah interaksi sosial dan teknologi, Ahmad Ridha Mubarak mengulas secara kritis tentang peran media sosial, yang ia karakterisasi dengan sifat ambigu yang unik. Menurutnya, media sosial secara simultan berfungsi sebagai pemicu dan arena yang memperparah polarisasi dan penyebaran kebencian, namun di sisi lain, juga merupakan alat yang sangat kuat untuk mediasi dan pembangunan perdamaian yang transformatif. Ridha Mubarak menekankan perlunya sebuah gerakan kolektif untuk melampaui apa yang ia sebut sebagai “perdamaian negatif” sebuah kondisi pasif yang hanya bertujuan untuk menghentikan konflik dan ujaran kebencian secara de facto menuju pencapaian “perdamaian positif”. Perdamaian positif ini didefinisikan sebagai sebuah upaya proaktif dan berkelanjutan untuk membangun keadilan struktural dan solidaritas yang kokoh di tengah masyarakat yang beragam.
Untuk merealisasikan potensi mediasi media sosial ini, Ridha Mubarak mengidentifikasi tiga dimensi kunci yang harus diimplementasikan secara terpadu. Pertama, Dialog Inklusif, yang memastikan bahwa suara-suara minoritas dan marjinal didengar dan dihargai. Kedua, pelaksanaan Ritual Simbolis digital, yang membantu membangun rasa kebersamaan dan identitas kolektif yang positif. Dan ketiga, Kolaborasi Praktis, yang mengarahkan energi online untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial nyata di dunia nyata. Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara bijaksana, Ridha Mubarak meyakini bahwa media sosial dapat diubah secara fundamental dari arena konflik yang destruktif menjadi ruang inklusif dan transformatif yang menjadi lokomotif bagi pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
IV. Kota Cerdas, Hijau, dan Berwawasan Manusia: Sinergi Teknologi dan Tata Kelola Inklusif

Berpindah fokus ke isu pembangunan perkotaan dan teknologi, Septina Dwi Rahmawati menyajikan perspektif yang penting tentang upaya membangun kota pintar dan hijau. Ia dengan tegas menyatakan bahwa inisiatif ini tidak boleh direduksi menjadi sekadar proyek penerapan teknologi canggih semata, melainkan harus dipahami sebagai sebuah proses transformasi kolektif yang luas dan people-centered. Melalui studi kasus yang konkret dari Kota Malang, Septina secara empiris menunjukkan bahwa sistem Internet of Things (IoT) dan teknologi digital lainnya hanya dapat berfungsi secara optimal sebagai katalisator yang efektif untuk inovasi lingkungan dan pemberdayaan warga ketika teknologi tersebut diintegrasikan secara cermat dengan kerangka tata kelola inklusif dan kolaborasi sosial yang terstruktur.
Septina menyoroti bahwa inti dari keberhasilan transformasi ini terletak pada pengembangan interaksi berkelanjutan, pencapaian keselarasan institusional di antara berbagai sektor pemerintah dan swasta, dan pembangunan visi bersama yang mengikat semua pemangku kepentingan. Ia menyimpulkan bahwa jalan menuju kota pintar dan hijau pada akhirnya bukan hanya soal pengadaan teknologi mahal, tetapi lebih kepada pembangunan kepercayaan dan sinergi institusional yang kuat antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Pengalaman Kota Malang membuktikan bahwa transformasi digital khususnya dalam pengelolaan limbah perkotaan berhasil ketika teknologi bertindak sebagai alat pemberdayaan yang secara efektif menghubungkan warga, memperkuat akuntabilitas tata kelola, dan mendorong keberlanjutan lingkungan. Kota-kota seperti Malang, oleh karena itu, berpotensi menjadi “laboratorium hidup” bagi masa depan perkotaan hijau dan cerdas di Indonesia.
V. Ketahanan Lokal Berbasis Batasan dan Rekonstruksi Kearifan
Sebagai penutup dan sebagai akar dari ketahanan sosial, Hafis Muaddab menawarkan sebuah interpretasi yang unik mengenai ritual keagamaan lokal, khususnya Nyadran, yang ia definisikan sebagai Teologi Ketahanan Lokal Berbasis Batasan. Konsep ini secara filosofis mengajarkan bahwa hidup dan bertindak dalam kerangka rasionalitas terbatas (mengetahui batas kemampuan dan sumber daya) justru membawa kepada kecukupan teologis (rasa cukup dan bersyukur), alih-alih dianggap sebagai sebuah kegagalan atau kekurangan. Muaddab menekankan bahwa ritual-ritual ini bukanlah peninggalan masa lalu yang statis, melainkan sebuah sistem sosial-ekonomi yang berfungsi.

Implikasi kebijakan yang dapat ditarik dari pandangan ini adalah perlunya menghormati dan mengapresiasi ekonomi ritual lokal secara mendalam, karena praktik-praktik tersebut secara substansial berfungsi sebagai jaring pengaman sosial informal yang penting, terutama bagi masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, memahami dan menghargai teologi ritual lainnya sangat krusial bagi para pembuat kebijakan. Pandangan ini beresonansi kuat dengan upaya yang disuarakan oleh Mukari, yaitu perlunya rekonstruksi pengetahuan melalui eksplorasi mendalam terhadap kearifan lokal sebagai sumber utama toleransi beragama dan adaptasi sosial. Secara keseluruhan, kompilasi pandangan dari para presenter ini menghasilkan sebuah narasi yang kohesif: bahwa upaya untuk membangun masyarakat dan negara yang tangguh dan inklusif di Indonesia memerlukan sintesis yang cerdas antara tuntutan modernisasi politik (Hidayaturrahman, Darwis), pemanfaatan teknologi secara etis (Arifin_Mulawarman, Septina), dan penghormatan mendalam terhadap fondasi spiritual serta kearifan lokal yang telah teruji waktu (Muaddab, Mukari). Kesuksesan terletak pada kemampuan untuk mengintegrasikan identitas, teknologi, dan tata kelola dalam bingkai yang berwawasan manusia dan berkelanjutan. (NDNA)
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.