UIN Sunan Ampel Surabaya
September 12, 2025

EKOTEOLOGI BUKAN SEKADAR GAGASAN

EKOTEOLOGI BUKAN SEKADAR GAGASAN

Oleh: Sirajul Arifin*

Tema tulisan saya hadirkan dalam kemasan ringan. Mungkin ada yang bertanya, mengapa baru ditulis sekarang? Padahal kebijakan ekoteologi sudah lama terbit. Alasan saya cukup sederhana. Saya tak bisa menulis tanpa bukti. Saya harus melihat fakta. Ketika sudah cukup data dan bukti, maka saya baru menuangkannya dalam tulisan ini. Ternyata ekoteologi bukan sekadar program. Bukan untuk eksotisme gagasan. Bukan gagasan yang terkesan melangit. Tapi gagasan yang menjelma dalam kebijakan. Tentu kebijakan yang membumi. Di bumi nusantara, bumi kita semua. Pak Menag Prof. Nasaruddin Umar yang menggagas dan menetapkannya dalam sebuah kebijakan. Kebijakan untuk merespons krisis lingkungan. Krisis bukan saja soal fisik material, seperti perubahan iklim, kerusakan hutan, polusi, kepunahan spesies, dan lain-lain, tetapi juga soal nilai-nilai moral, religius, dan tanggung jawab umat manusia.

Krisis lintas batas yang meniscayakan hubungan harmoni antara agama, pendidikan keagamaan, dan kepedulian terhadap lingkungan dengan keragaman hayati. Itulah esensi kebijakan pak Menteri yang dikemas dengan kemasan ekoteologi. Ekoteologi adalah pendekatan yang menggabungkan pemahaman teologis dengan kesadaran ekologis. Praktik keagamaan dan pendidikan agama tidak hanya berkutat pada ritual, dogma, ibadah formal, tetapi juga harus menunjukkan kepedulian terhadap alam dan lingkungan sebagai bagian dari ciptaan Allah yang harus dirawat. Merawat dan menjaganya tentu bukan tanpa nilai tetapi sarat nilai. Ada tiga nilai yang esensial dalam konteks ekoteologi, yaitu khalîfah fî al-arđ, pelestarian dan pencegahan kerusakan, dan ibadah lingkungan. Ketiga nilai ini berjalin kelindan dan bukan nilai yang memisahkan diri antara satu dengan yang lain. Manusia sebagai wakil Allah (khalîfah) mengemban amanah untuk merawat bumi. Manusia tak bisa hidup tanpa peduli dengan alam.

Alam harus dijaga dan dilestarikan, bukan sebaliknya, dihancurkan. Kerusakan harus dicegah. Jika manusia tak mampu melestarikannya dan bahkan merusaknya, maka alam pun tak segan untuk membinasakannya. Melestarikan dan mencegah kerusakan alam adalah bukti nyata tindakan manusia yang telah mampu menjaga keharmonisan ciptaan-Nya, termasuk flora, fauna, dan ekosistem. Perbuatan menjaga lingkungan bukan tak bernilai melainkan memiliki nilai ibadah sebagai ekspresi syukur dan cinta kepada Tuhan dan ciptaan-Nya. Nilai harmoni melatari gagasan besar sekaligus kebijakan pak Menteri dalam merawat alam. Merawat alam tak mudah dan harus ada kebijakan yang mengikatnya. Kebijakan bukan dalam makna teoretik-melangit tetapi harus mewujud dalam makna kebumian. Kebijakan yang harus diterjemahkan dalam tindakan. Nah, dalam konteks inilah dibutuhkan langkah konkret dan kebijakan yang membumi.

Kebijakan ekoteologi dijalankan melalui insersi materi ekoteologi dalam kurikulum pendidikan agama. Pak Menteri meminta agar nilai-nilai pelestarian alam dan ekoteologi diintegrasikan dalam pendidikan agama dan keagamaan. Gerakan penanaman pohon dilakukan. Gerakan satu juta pohon Matoa diluncurkan sebagai aksi nasional untuk memperingati Hari Bumi. MoU dengan organisasi masyarakat keagamaan, dan lembaga keagamaan untuk penanaman ribuan pohon. Rumah ibadah, masjid, KUA, dan lembaga pendidikan keagamaan sebagai motor gerakan. Kementerian Agama menjadikan institusi-institusi ini sebagai pusat penyebaran kesadaran dan praktik ekoteologi. Melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 244 tahun 2025, penguatan ekoteologi menjadi salah satu program prioritas KMA 2025–2029. Semua ASN di lingkungan Kementerian Agama harus mengimplementasikan praktik-praktik ramah lingkungan dalam tugas, perilaku sehari-hari, dan program kerja.

Praktik ramah lingkungan tak serta merta berjalan alami, tapi memang terkadang harus diikat dengan kebijakan. Kebijakan Rektor Prof. Akh. Muzakki, misalnya, adalah tindak lanjut dari kebijakan yang tertuang dalam KMA. UINSA Surabaya sebagai salah satu Satker di bawah Kementerian Agama membumikan kebijakannya. Kebijakan kampus diikuti dengan penanaman pohon Tabebuya. Pohon yang merefleksikan keindahan. Bunga mekar nan indah di saat musim kemarau. Kekeringan alam bukan hambatan untuk memberikan rasa senang bagi orang yang melihatnya. Orang-orang bukan saja melihat keindahannya tetapi justru semakin mendekat untuk bersamanya. Mereka banyak yang mengabadikannya. Mereka take foto bahkan take video. Mereka unggah hasilnya dalam media sosial miliknya. Di Instagram, Tik Tok, dan media sosial kesukaannya. Mereka mengabadikan sebagai ekspresi kebahagiaan. Ini baru dari Tabebuya dan belum dari praktik-praktik ekoteologi lainnya.

Praktik ekoteologi yang ramah lingkungan disambut baik oleh ASN. Sambutan ASN yang sudah lama di kampus mungkin itu biasa karena praktik ramah lingkungan telah diwujudkan dalam kebijakan UINSA sebagai green campus, kampus hijau. Kampus yang berada di tengah-tengah kota yang tetap menjaga kesejukannya. Menjaga keramahannya kepada alam dan jagad. Namun menjadi luar biasa ketika ASN baru tak kalah pedulinya. ASN yang baru diangkat di tahun 2025. ASN yang baru bergabung dan menjadi bagian dari keluarga UINSA. Mereka memiliki inisiatif untuk menanam pohon. Tabebuya yang telah kusebut. Mereka melakukan pengadaan sendiri. Iuran tanpa paksa. Iuran dengan semangat berbagi kebaikan. Investasi kebaikan yang bernilai abadi. Kebaikan untuk diri dan lingkungan. Kebaikan dalam menjunjung tinggi kebijakan Rektor. Kebijakan ekoteologi yang kata banyak orang merupakan casecading dari kebijakan pak Menteri. Apa pun kebijakan Kemenag—suka tidak suka, mau tidak mau—harus dijalankan sebagai wujud ketaatan birokrasi. Apalagi kebijakan yang memberikan rasa aman dan nyaman untuk kebaikan sesama dan alam semesta, rahmah li al-âlamîn.

Kebijakan yang merefleksikan nilai rahmah (rahmah li al-âlamîn) dan nilai ramah (ramah lingkungan). Rahmah dan ramah adalah dua istilah yang secara bahasa berasal dari dua kutub, Arab dan Indonesia., namun memiliki makna dan tujuan yang sama. Dari sisi kebahasaan, rahmah berasal dari bahasa Arab, رَحْمَة, bermakna kasih sayang, kelembutan, kepedulian, dan perlindungan. Dalam Alqur’an, kata ini sering dikaitkan dengan sifat Allah (al-rahmân, al-rahîm) dan menjadi misi utama kerasulan Nabi Muhammad, yaitu rahmah li al-âlamîn (Al-Anbiyâ’: 107), “Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Sedangkan kata ramah berasal dari bahasa Indonesia yang berarti sopan, santun, penuh perhatian, tidak kasar, bersahabat, dan tidak merugikan pihak lain. Ramah dalam konteks ramah lingkungan mengandung makna sikap, perilaku, atau tindakan manusia yang tidak merusak lingkungan, melainkan menjaga, menghormati, dan bersahabat dengan alam.

Dua kata yang tampak berbeda, rahmah dan ramah, memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kebaikan dan bersahabat dengan alam. Itu baru dari sisi kebahasaan. Bagaimana dalam dimensi maknanya. Apakah makna keduanya memiliki muatan yang sama? Dari sisi makna, kata rahmah mencakup dimensi spiritual dan teologis, yaitu rasa kasih sayang yang bersumber dari Allah dan menjadi etos moral bagi manusia untuk berlaku baik kepada sesama, hewan, tumbuhan, dan alam semesta, sedangkan kata ramah mencakup dimensi etis dan sosial praktis, yaitu sikap konkret manusia dalam berhubungan dengan sesama dan lingkungannya secara penuh hormat, peduli, serta tidak merusak. Redaksi yang berbeda, menyatu dalam makna, atau paling tidak ada kedekatan makna.

Ramah dapat maknai sebagai turunan perilaku praktis dari rahmah. Jika seseorang benar-benar meneladani sifat rahmah, maka sikap kesehariannya akan terlihat ramah baik kepada manusia maupun kepada alam. Kasih sayang universal kepada seluruh ciptaan tidak terbatas pada manusia. Dengan demikian, kasih sayang ini seharusnya mewujud dalam perilaku ramah lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kelestarian hutan, hemat energi, peduli terhadap hewan, dll. Gagasan rahmah dalam ekoteologi diterjemahkan untuk konteks kontemporer menjadi ramah lingkungan. Rahmah bukan hanya kasih sayang antar manusia, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap bumi sebagai amanah Allah. Pak Menteri menyatukannya melalui kebijakan yang popular. Tak saja dikenal dan diikuti oleh ASN di kementeriannya tetapi juga diapresiasi oleh kementerian lain bahkan menjadi banyak rujukan masyarakat global.

Jadi, ekoteologi bukan sekadar gagasan melainkan sebuah pendekatan progresif. Pendekatan yang tak hanya mengajak agar agama dan iman dipahami secara ritual-dogmatik tetapi juga melibatkan tanggung jawab terhadap alam sebagai bagian dari ciptaan Allah. Kebijakan untuk memanusiakan iman sekaligus menjaga ciptaan bahwa ibadah yang sejati adalah melibatkan tindakan nyata. Kebijakan yang melintasi batas langit dan bumi. Semoga bermanfaat.

*Dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA