
Suatu ketika saya diundang dalam acara temu manten. Keluarga pengantin pria mengundang saya untuk menyertainya. Saya hadir bersama keluarga dan rombongan. Saya hadir untuk memenuhi undangan, apalagi yang mengundang adalah tentangga. Saat di tempat acara, saya menyaksikan prosesinya. Ada prosesi yang menarik yang tidak pernah saya jumpai sebelumnya. Prosesi yang berbeda dengan prosesi temu manten yang serupa. Saya tertarik untuk tahu lebih banyak. Untuk memahami lebih detail. Terlebih bila tradisi itu dikaitkan dengan konteks ekonomi. Konteks yang terakhir inilah yang mendorong saya untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. Dari sebuah prosesi yang menyuguhkan tradisi Jawa. Bagi saya, tradisi itu sangat menghibur. Suasananya membuat saya penasaran.
Penasaran untuk tahu banyak hal. Lalu saya tanyakan ke teman. Teman yang duduk di samping saya. Maaf, mas. Mau tanya. “Itu apa namanya,” sambil menunjuk ke arah prosesi yang sedang berlangsung. Teman saya menjawab bahwa itu adalah bubak kawah. Teman saya orang Jawa dan biasa menyaksikannya, bahkan pernah turut menjadi krunya. Wajar jika ia menjelaskan maknanya secara detail. Ia mulai menjelaskan kata per kata. Bubak kawah terdiri dari kata “bubak” dan kata “kawah”. Bubak berarti membuka, sedangkan kawah merujuk pada air ketuban. Air ketuban yang pecah pertama kali saat anak sulung lahir. Tradisi ini menjadi simbol bahwa anak pertama yang menikah membuka jalan bagi adik-adiknya untuk melanjutkan jenjang pernikahan. Rangkaian ritualnya melibatkan sesaji, doa, dan prosesi adat Jawa yang sarat makna.
Bubak kawah merupakan tradisi Jawa yang dilaksanakan ketika anak pertama menikah. Tradisi ini mengandung makna pelepasan tanggung jawab orang tua sekaligus doa restu agar kehidupan rumah tangganya membawa berkah. Dalam prosesi bubak kawah, orang tua menyugughkan alat dapur dan isinya. Ini yang bikin saya penasaran. Mengapa alat dapur dan isinya? Mengapa bukan yang lain? Teman di sebelahku menjawabnya. Jawabannya cukup pendek, tapi sangat jelas. Menurutnya, alat dapur merupakan sarana dasar untuk mengolah makanan yang melambangkan sumber kehidupan. Dengan membawa alat dapur, orang tua seakan memberikan bekal agar anak yang menikah bisa mandiri dalam mengatur rumah tangganya. Sedangkan alat dapur yang disertai dengan isinya, seperti beras, bumbu, atau hasil bumi, dan lain-lain, mencerminkan harapan orang tua agar keluarga baru tidak hanya memiliki sarana tetapi juga memiliki sumber daya untuk bertahan hidup. Hal ini sejalan dengan pandangan orang Jawa bahwa rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang memiliki sandang, pangan, dan papan.
Sandang tidak saja berfungsi sebagai penutup tubuh, cerminan identitas, etika, dan status sosial tetapi juga menunjukkan sikap hidup sederhana dan keselarasan dengan lingkungan sosial. Adapun pangan dimaknai sebagai sumber energi sekaligus sarana menjaga harmoni batin. Filosofi Jawa menekankan pentingnya kecukupan, bukan berlebihan. Tradisi slametan, misalnya, menggunakan pangan sebagai media simbolik untuk membangun kebersamaan dan doa. Dengan demikian, pangan dipahami bukan hanya merupakan kebutuhan biologis tetapi juga menjadi sarana sosial dan spiritual, sedangkan papan selain sebagai rumah tempat berlindung juga menjadi ruang interaksi keluarga dan pusat pendidikan nilai. Kehadiran papan menjadi simbol keseimbangan hidup yang stabil dan teratur.
Bagi orang Jawa, sandang, pangan, dan papan merupakan kebutuhan dasar yang diharapkan orang tuanya melalui prosesi bubak kawah. Prosesi bubak kawah juga mengandung pesan moral. Alat dapur digunakan sehari-hari oleh isteri maupun suami, sehingga simbol ini menegaskan pentingnya kerjasama, kerukunan, dan kesetiaan dalam membina keluarga. Tradisi ini juga berfungsi sebagai media pendidikan budaya bagi generasi muda agar menghargai nilai kemandirian dan gotong-royong. Dalam kerangka budaya Jawa, setiap benda memiliki nilai simbolik. Alat dapur dipandang bukan sekadar benda fungsional tetapi juga lambang kesuburan, keberlangsungan hidup, dan kelanggengan rumah tangga.
Berbagai barang bawaan dalam prosesinya dilepas oleh kru bubak kawah dan diambil oleh para pengunjung yang berada di sekitarnya. Ada yang mendapatkan mangkok, piring, sendok, gelas, beras, minyak, dan ada juga yang memperoleh barang bawaan lainnya. Pelepasan barang bawaan dalam prosesi bubak kawah mencerminkan budaya berbagi. Budaya berbagi merupakan perwujudan dari nilai ta’âwun dan ’adl dalam menjaga harta dan kemaslahatan umum. Berbagi dalam Islam tidak sekadar tindakan karitatif melainkan kewajiban moral dan sosial yang memiliki dimensi spiritual. Budaya berbagi termanifestasi dalam beberapa instrumen, dan salah satunya adalah sedekah, suatu pemberian sukarela yang bentuk dan jumlahnya fleksibel. Karenanya, prosesi bubak kawah mengadung nilai kultural dan nilai spiritual.
Selain bernilai kultural dan spiritual, pelaksanaan bubak kawah juga berdampak pada dinamika sosial-ekonomi masyarakat. Interaksi sosial dan aktivitas ekonomi dalam bubak kawah saling melengkapi. Di satu sisi, partisipasi masyarakat memperkuat kohesi sosial, sementara di sisi lain, aktivitas ekonomi yang muncul berkontribusi terhadap keberlanjutan tradisi. Dinamika ini memperlihatkan bahwa tradisi bukan sekadar ritual budaya tetapi juga instrumen yang menjaga keseimbangan sosial-ekonomi masyarakat. Pelaksanaan tradisi bubak kawah biasanya melibatkan banyak pihak, mulai dari keluarga inti hingga masyarakat sekitar. Hal ini menimbulkan perputaran ekonomi. Ekonomi masyarakat muncul dengan berbagai bentuk yang terkait dengan prosesi tersebut.
Prosesi temu manten tak mungkin berjalan tanpa melibatkan pihak lain. Baik mitra tetangga, mitra teman, atau mitra penyedia jasa lainnya. Kemitraan bisa berbetuk jasa kesenian, jasa kuliner dan katering, jasa perajin dan penyedia dekorasi, serta jasa tenaga kerja lokal. Jasa kesenian dalam prosesi bubak kawah tak bisa dihindari dalam adat Jawa. Adat yang benar-benar harus diikuti oleh masyarakat yang mempercayainya. Masyarakat yang memiliki kepercayaan dan menjunjung tradisi meniscayakan adanya prosesi bubak kawah. Prosesi bubak kawah sering diiringi kesenian lokal-tradisional, seperti gamelan, wayang kulit, atau tarian Jawa. Kehadiran seniman dan pengrawit menjadi sumber penghasilan tambahan bagi para pekerja seni lokal.
Pada saat tradisi bubak kawah berlangsung, keluarga biasanya menyajikan hidangan untuk tamu undangan. Hidangan dengan varian menunya. Mulai dari menu masakan lokal-tradisional hingga menu modern-kekinian. Banyaknya menu tergantung pada selera dan kemampuan yang punya hajat atau tuan rumah. Ada tuan rumah yang tergolong sederhana dan tak memiliki selera yang serba, dan ada pula keluarga yang high class dan cenderung menyajikan sejuta menu. Itu semua adalah pilihan hidup. Namun, apa pun seleranya, dan bagaimana pun kecenderungannya tetap memberi peluang ekonomi bagi pihak lain. Selera dan kecenderungan menciptakan peluang bagi penyedia jasa katering, pedagang bahan makanan, hingga pelaku UMKM lokal yang menjual peralatan dapur atau perlengkapan pesta.
Peluang ekonomi tak semata bagi penyedia jasa makanan. Perajin dan penyedia dekorasi pun turut menjadi bagian dari kebutuhan prosesi. Prosesi bubak kawah identik dengan prosesi kejawen. Prosesi membutuhkan komponen pendukungnya. Sesaji, tumpeng, janur, hingga peralatan adat biasanya dipesan dari perajin lokal. Perajin lokal umumnya kreatif dalam merespons kebutuhan prosesi bubak kawah. Produk kreatif dan inovatif yang mendukung eksotisme bubak kawah disiapkan oleh para perajin lokal untuk menopang pelaksanaan prosesi. Dengan demikian, tradisi Jawa selain mewarat warisan budaya leluhur juga mendukung keberlangsungan ekonomi kreatif berbasis budaya.
Mitra penyedia jasa lainnya yang turut andil dalam prosesi temu manten adalah mitra tenaga kerja lokal. Prosesi adat memerlukan bantuan banyak orang, seperti pengatur acara, tukang masak, hingga pemusik. Hal ini membuka kesempatan kerja, sekalipun bersifat sementara, bagi masyarakat sekitar. Kesempatan kerja memberi peluang ekonomi. Memang tidak setiap pelibatan masyarakat sekitar dinilai dengan uang. Namun nilai uang hakekatnya tetap menjadi ukuran dalam setiap pelibatan pihak lain. Keterlibatannya menyumbang perputaran uang. Selain perputaran uang secara langsung, tradisi bubak kawah juga memiliki nilai ekonomi non-material.
Nilai ekonomi non-material, bagaimanapun, masih tetap ada dan melekat dalam tradisi masyakarat Jawa. Tradisi ini memperkuat modal sosial karena gotong-royong antar warga masih menjadi bagian penting dalam pelaksanaannya. Hubungan sosial inilah yang menjadi modal bagi pengembangan ekonomi masyarakat, terutama di desa-desa yang kental dengan budaya komunal. Kini, tradisi ini mengalami tantangan dan sekaligus peluang. Sebagian masyarakat mulai meninggalkan tradisi bubak kawah karena dianggap rumit dan memerlukan biaya tidak sedikit. Namun, jika tradisi bubak kawah dikelola dengan baik, maka tradisi ini bisa menjadi potensi wisata budaya yang memberikan nilai tambah ekonomi. Dengan promosi yang tepat, bubak kawah dapat menjadi atraksi budaya yang menarik wisatawan, sekaligus melestarikan kearifan lokal.
Jadi, tradisi bubak kawah bukan hanya ritual adat tetapi juga memiliki kaitan erat dengan ekonomi masyarakat. Dari sektor kesenian, kuliner, hingga jasa, perputaran ekonomi yang muncul menunjukkan bahwa pelestarian budaya tradisional dapat berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi. Namun tantangan saat ini adalah bagaimana masyarakat dapat menjaga esensi budaya agar tradisi tetap lestari dan memberi manfaat nyata terhadap ekonomi masyarakat. Semoga bermanfaat.
*Dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya