UIN Sunan Ampel Surabaya
July 28, 2025

EKOLOGI IMAN: MENJAGA ALAM SEBAGAI JALAN SPIRITUAL

EKOLOGI IMAN: MENJAGA ALAM SEBAGAI JALAN SPIRITUAL

Oleh: Dr. Moch. Irfan Hadi, M.KL.
Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kebencanaan
Fakultas Sains dan Teknologi UINSA

Indonesia adalah negeri dengan jutaan masjid, ribuan pesantren, dan mayoritas penduduk yang beragama. Tapi anehnya, di negeri yang katanya religius ini, kita masih melihat sungai penuh sampah, udara penuh polusi, dan hutan-hutan yang ditebangi atas nama pembangunan. Setiap tahun kita mendengar kabar bencana: banjir, kekeringan, tanah longsor, hingga gagal panen. Sebagian kita menganggap itu semua ujian Tuhan, padahal sebagian besar adalah ulah tangan kita sendiri.

Pertanyaannya: apakah iman kita masih punya dimensi ekologis?

Dalam Islam, iman tidak hanya diukur dari banyaknya rakaat atau panjangnya jenggot. Iman sejati terwujud dalam sikap hidup yang adil, seimbang, dan penuh tanggung jawab,termasuk terhadap alam. Tauhid, yang menjadi dasar utama Islam, mengajarkan bahwa seluruh makhluk adalah ciptaan Allah. Maka menyakiti lingkungan sama dengan menyakiti ciptaan-Nya. Ini bukan sekadar dosa ekologis, tapi juga bentuk pengingkaran terhadap keesaan-Nya.

Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan kita bahwa manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah:30). Tapi kita sering lupa: menjadi khalifah bukan soal kekuasaan, melainkan tanggung jawab. Kita diberi akal dan wewenang bukan untuk mengeksploitasi, tapi untuk menjaga keseimbangan.

Lihatlah QS. Ar-Rum:41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini seolah diturunkan untuk zaman kita hari ini.

Sayangnya, kesalehan ekologis sering absen dalam pendidikan agama kita. Kita rajin menghafal doa makan, tapi tidak diajarkan untuk tidak membuang makanan. Kita diajari bersuci dengan air, tapi tidak diajari menjaga sumber air. Masjid-masjid kita terang benderang siang malam, tapi jarang yang menggunakan energi surya. Bahkan, dalam banyak kegiatan keagamaan, justru meninggalkan sampah plastik dalam jumlah besar. Ini bukan sekadar paradoks. Ini adalah krisis etika spiritual.

Padahal, banyak nilai-nilai Islam yang seharusnya bisa menjadi fondasi kuat untuk gerakan lingkungan. Rasulullah dikenal sangat hemat air, bahkan saat berwudlu di tepi sungai. Ia juga mengajarkan kasih sayang kepada hewan, larangan menebang pohon sembarangan, dan pentingnya menjaga habitat alam. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan: “Dunia ini hijau dan indah, dan Allah telah menempatkan kamu sebagai khalifah di dalamnya. Ia akan melihat bagaimana kamu memperlakukannya.”

Kini saatnya kita membangun iman yang ekologis. Iman yang tidak hanya terpancar dari sajadah, tetapi juga dari taman kota, kebun sekolah, dan hutan yang lestari. Kita butuh gerakan eco-masjid: rumah ibadah yang hemat energi, minim sampah, dan jadi pusat edukasi lingkungan. Kita butuh kurikulum pendidikan Islam yang mengintegrasikan fiqh lingkungan dan tasawuf ekologi dimana spiritualitas tidak hanya bicara akhlak kepada manusia, tetapi juga kepada semesta.

Kampus Islam seperti UINSA punya peran strategis. Kita bisa menjadi laboratorium perubahan: membangun silabus agama yang relevan dengan krisis iklim, meneliti dampak ekologis dari perilaku masyarakat, dan mencetak dai lingkungan yang bisa berbicara dengan data dan dalil. Iman bukan sekadar percaya, tapi juga bertindak. Menjaga bumi bukan sekadar aktivisme, tapi ibadah. Karena pada akhirnya, tidak ada pemisahan antara mencintai Allah dan mencintai ciptaan-Nya.
            Di berbagai pelosok negeri, benih ekologi iman mulai tumbuh. Di Bawean, saya bersama tim Indonesia Conservation Institute dan BKSDA Jawa Timur terlibat dalam konservasi Rusa Bawean (Axis kuhlii), satwa endemik yang hampir dilupakan. Di pulau kecil itu, kami tidak hanya menginventarisasi pakan alami rusa, melakukan konservasi terhadap spesies ini tetapi juga menyatukan riset ekologi dengan edukasi masyarakat berbasis spiritualitas lokal. Kami memulai diskusi tentang tanggung jawab ekologis sebagai bentuk ibadah.
            Di Banyuwangi, tepatnya di Pantai Grand Watu Dodol dan kampung kopi Gombengsari, kami merintis konservasi terumbu karang dan edukasi ekonomi sirkular berbasis kopi. Gombengsari adalah saksi bagaimana ekologi dan spiritualitas menyatu dalam aroma kopi, sabun herbal, dan madu lokal, diolah oleh tangan anak muda yang diberdayakan melalui Sekolah Konservasi. Di sana, lingkungan bukan hanya objek studi, tapi bagian dari adab. Sementara di Trenggalek, melalui program Sekolah Konservasi di Pantai Mutiara, kami membangun model pendidikan lingkungan berbasis iman dan aksi. Para Generasi muda belajar tentang rantai makanan laut, perubahan iklim, dan konservasi pesisir,bukan hanya di kelas, tapi langsung di pantai, dengan tangan mereka sendiri menanam mangrove,melakukan transplantasi terumbu karang dan membersihkan sampah. Di sini, iman diajarkan melalui tindakan: bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Sang Pencipta.

Ekologi iman bukan utopia. Ia adalah keniscayaan zaman. Dan kita, sebagai orang beriman, tidak punya pilihan selain menjalaninya.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA