Suasana pagi di Muslimeen Suksa School, Hatyai, Thailand Selatan, mendadak berbeda sejak kehadiran dua mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (FSH UINSA) Surabaya. Akmal Nashrillah (Perbandingan Madzhab, semester 4) dan Muhammad Aunir Rofrofil Ukhoidhori (Hukum Keluarga Islam, semester 4) dua delegasi program Student Mobility, tak hanya datang untuk mengajar. Dalam waktu kurang dari sehari setelah kedatangan, mereka justru memulai perubahan kecil yakni dengan berinisiatif membersihkan taman sekolah yang lama terabaikan.
Taman sekolah yang sunyi dan dipenuhi dedaunan kering itu segera menarik perhatian Akmal dan Aunir. Melihat situasi tersebut, tanpa menunggu arahan, mereka berinisiatif membersihkan area tersebut. Sejak pukul 08.00 pagi, mereka mulai mengumpulkan dedaunan, ranting, serta sampah plastik yang menumpuk hingga setebal 15 sentimeter. Kerja bakti berlangsung hingga jam makan siang sekitar pukul 13.00. Dalam waktu lima jam, taman sekolah berubah rapi dan lapang, menampilkan kembali warna hijau yang telah lama tertutup.
Keberhasilan ini disambut antusias oleh pihak sekolah dan warga yayasan setempat. Banyak yang mengapresiasi semangat gotong royong mahasiswa Indonesia yang jarang ditemui dalam rutinitas harian di sekolah tersebut. Namun, kebahagiaan itu ternyata hanya berumur jagung. Hanya dalam tiga hari, hamparan taman kembali penuh dedaunan kering. Kondisi itu sempat membingungkan Akmal dan Aunir, terlebih setelah upaya keras yang sudah mereka lakukan. Setelah berdiskusi dengan guru dan warga sekolah, keduanya akhirnya memahami bahwa kebiasaan membiarkan dedaunan menggunung sebelum akhirnya dibersihkan secara massal adalah tradisi musiman di Muslimeen Suksa School. Biasanya, pembersihan taman dilakukan satu kali tiap musim berganti, bukan setiap hari atau pekan seperti di Indonesia.
Pengalaman ini membuat dua delegasi student mobility itu makin memahami pentingnya kepekaan budaya dan kebiasaan lingkungan. Apa yang dianggap “ideal” di tanah air, ternyata belum tentu tepat diterapkan di tempat baru. Rutinitas musiman ini bukan sekadar alasan malas, melainkan bentuk adaptasi terhadap lingkungan sekolah dengan banyak pepohonan rindang dan kondisi musim yang dinamis. Tradisi semacam ini juga memperkuat rasa kebersamaan dan menjadi event yang ditunggu-tunggu, karena warga sekolah akan berkumpul untuk membersihkan taman bersama dengan suasana penuh kebersamaan.
Kegiatan bersih-bersih taman menjadi pelajaran lintas budaya awal yang didapatkan Akmal dan Aunir selama mengabdi dan mengajar di Muslimeen Suksa School. Tantangan berikutnya muncul kala mereka mulai memasuki kelas. Bahasa menjadi penghalang utama. Saat mengajar siswa tingkat Prathom (setara SD), Akmal dan Aunir harus lebih banyak menggunakan gestur, ekspresi wajah, dan bahasa anak-anak, karena murid di tingkat dasar belum menguasai bahasa Melayu maupun Inggris. Mereka pun harus kreatif dengan menggunakan gambar, gerakan tubuh, dan intonasi ceria agar pelajaran mudah ditangkap anak-anak.
Situasi berbeda dialami saat masuk ke kelas Mathayom (setara SMP), di mana komunikasi lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Namun lagi-lagi, kendala muncul karena siswa rata-rata masih minim penguasaan bahasa Melayu dan sedikit canggung menggunakan bahasa Inggris. Meski demikian, pengalaman mengajar dengan berbagai metode komunikasi non verbal dan strategi linguistik menjadi modal berharga bagi Akmal dan Aunir dalam memperkuat keterampilan pedagogik internasional mereka.
Tidak hanya soal akademik dan kebersihan lingkungan, kedua delegasi juga berkesempatan memperkenalkan praktik ibadah Islam secara aplikatif. Salah satu momen spesial adalah ketika mereka mempraktikkan sholat jenazah bersama siswa Mathayom 3. Kegiatan ini menjadi ruang berbagi ilmu dan diskusi agama.
Program student mobility FSH UINSA yang diselenggarakan salah satunya di Muslimeen Suksa School membuktikan bahwa pembelajaran lintas negara tidak melulu soal transfer pengetahuan di ruang kelas. Pengalaman membersihkan taman sekolah, menelusuri keunikan tradisi lokal dalam mengelola lingkungan, dan menghadapi tantangan komunikasi multibahasa menjadi pelajaran penting tentang rasa empati, kepedulian, dan keterbukaan atas perbedaan budaya.
lampiran foto:
