
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kalimat pada judul di atas adalah pesan penting yang bisa ditarik dari al-Qur’an Surat al-Fatihah. Engkau tak perlu terbang saat dipuji orang. Engkau pun juga jangan tumbang saat dicaci orang. Mengapa? Karena “Segala puji bagi Allah SWT.” Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Begitu resep al-Qur’an dalam ayat di Surat al-Fatihah itu. Hanya kepada Allah segala pujian disandarkan. Karena di dalam pujian itu ada kesucian. Ayat tersebut memberikan dasar untuk hidup dalam kewajaran. Itu di satu sisi. Di sisi lain, dipesankan juga bahwa tak ada yang pantas untuk mendapatkan pujian penghormatan yang tinggi kecuali Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengatur semesta raya.
Pesan yang ada pada judul dan sekaligus juga dikandung oleh pesan ayat di atas terasa sangat penting. Dan, aku ceramahkan pula pesan itu di sebuah momen di kantor BTN Cabang Surabaya pada Jumat (18 Juli 2025) lalu. Latar belakang pentingnya pesan di atas sederhana. Generasi Z yang disebut-sebut gampang rapuh memang patut menjadi atensi khusus oleh pesan di atas. Namun sejatinya, pesan di atas berlaku lintas generasi. Tak ada batasan yang mengkerangkai kelompok generasi. Kecuali untuk memudahkan identifikasi. Sebab, soal rapuh atau kuat bisa dialami oleh siapa saja. Apalagi, saat hidup sudah semakin terbuka pada dunia luar akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, potensi untuk mudah terpapar penyakit gegana sangat tinggi. Kata gegana di sini kependekan dari gelisah, galau dan merana. Lalu, karena terpaan gegana itu, seseorang tumbang karenanya.
Salah satu penyebab mudahnya terpaan penyakit gegana di atas adalah lebarnya jarak antara ekspektasi dan kenyataan. Ekspektasi mudah meninggi karena akses informasi makin terbuka dan fasilitasi konsumsi atas berbagai informasi yang diinginkan makin terhampar luas. Lalu muncul jeratan gelisah, galau dan merana itu saat dalam kehidupan senyatanya, selalu ada celah yang menganga. Terbukanya akses kepada informasi yang luas memberi ekspektasi dan harapan yang tinggi atas berbagai hal. Keinginan pun bisa meninggi terbang karena berbagai kemajuan di beragam wilayah di dunia bisa diketahui dengan mudahnya.
Tapi, di sisi lain, hidup tak selalu seindah yang dibayangkan. Tak selalu seenak yang diangankan. Tak selalu semudah membalikkan telapak tangan. Akan selalu ada proses yang membuka ruang untuk terjadinya negosiasi antara yang dibayangkan dan yang menjadi pengalaman. Selalu ada ruang bagi munculnya celah antara yang diangankan dan yang bisa didapatkan. Kadang membayangkan sesuatu di tangan. Tapi nyatanya yang dialami berkebalikan. Terkadang menginginginkan sesuatu yang menjadi harapan. Tapi yang datang justeru bukan yang menjadi idaman.
Ruang Publik
Ruang publik menjadi medan negosiasi antara yang diinginkan dan yang menjadi pengalaman. Antara yang diharapkan dan yang menjadi kenyataan. Itu semua terjadi karena hidup memang lahan perjuangan. Memperjuangkan agar yang diinginkan bisa tercapai dalam pengalaman. Agar yang diharapkan bisa terwujud dalam kenyataan. Munculnya celah itu di antaranya karena keinginan pribadi harus didialogkan dengan keinginan sesama. Sebab, masing-masing pribadi memiliki harapan dan keinginan. Saat memasuki ruang publik, harapan dan keinginan yang dimiliki seseorang itu akan bertemu dan bahkan pula berhadapan dengan harapan dan keinginan selainnya.
Apalagi saat ruang publik seperti yang dimaksud di atas adalah medan tempat bertemunya kepentingan beragam pribadi untuk mendapatkan penghasilan hidup. Namanya tempat kerja. Maka tentu proses negosiasi pasti terjadi dalam intensitas yang tinggi. Di situlah ketentuan, aturan, dan atau regulasi tempat kerja pasti dibuat. Lalu, penegakannya pun menjadi kebutuhan mendesak untuk direalisasikan. Agar tak terjadi tabrakan kepentingan antara satu diri pegawai dan yang lainnya. Di tempat kerja yang menjadi lahan bersama untuk mendapatkan penghasilan itu.
Setiap lembaga pasti kemudian memiliki nilai kerja dan kode etik penunaian tugas kerja tersendiri. Nilai kerja lembaga itu mengikat semua yang berada di dalamnya ke dalamnya. Juga, kode etik dimaksud menuntut setiap diri di dalamnya untuk memenuhinya. Menyelisihi berarti pelanggaran. Berat-ringan itu soal ukuran. Tapi, pelanggaran berarti menabrak substansi yang dikandung oleh nilai kerja dan kode etik penunaian kerja dimaksud. Tentu, pelanggaran itu menandai tak patuhnya pribadi yang ada di dalam tempat kerja itu terhadap ketentuan bersama.
Sebaliknya, mematuhi berarti kuatnya komitmen dalam perilaku kerja sesuai dengan nilai kerja dan kode etik penunaian tugas kerja institusi yang menaunginya. Berarti di situ sudah ada kesesuaian antara perilaku kerja dengan nilai kerja dan kode etik penunaian tugas kerja dimaksud. Lembaga manapun pasti menginginkan kondisi ini terjadi. Agar kepentingan lembaga tak tergadaikan oleh kepentingan pribadi masing-masing pegawai di dalamnya. Tentu kepentingan ujungnya adalah agar kinerja lembaga tak terganggu oleh perilaku kerja yang bertabrakan atau bahkan berlawanan dengan target lembaga yang ada.
Ikhlas Rumus Utama
Ikhlas adalah rumus hidup mulia. Membuat kita bisa mengayun di antara rentang relasi antara pujian dan cacian. Ajaran ikhlas itu, minimal, punya dua pasal. Pasal 1 berbunyi begini: berhasil jangan minta dipuji. Jika masih berharap pujian, maka siap-siaplah pada kekecewaan. Sebab, engkau tak akan selalu menemukan pujian itu dari sesama. Apalagi pujian dengan ketulusan. Maka, jangan terlalu berharap pujian. Berharaplah pujian itu kepada Allah SWT. Dalam bentuk doa dan harapan kebajikan dalam kehidupan. Saat Allah sudah mengabulkan doa dan harapan itu, seisi dunia tak harus lagi diandalkan. Pada titik inilah ikhlas mulai ditebarkan.
Pasal 2 dari ajaran ikhlas berbunyi begini: jangan takut gagal hanya karena takut dicaci. Kalau masih takut dicaci, berarti engkau masih berharap untuk dipuji. Kalau sudah begitu, engkau tak akan pernah berikhtiar kembali. Engkau tak akan pernah berani melangkah dalam usaha sendiri. Sebab, takut gagal adalah separuh kegagalan itu sendiri. Apalagi, saat takut gagal itu dilatarbelakangi oleh takut dicaci, maka engkau tak akan pernah berani melangkah dan mengambil risiko dalam usaha diri. Saat seseorang tak berani mengambil risiko, maka dia akan terperangkap pada kondisi yang ada saja. Tak ada semangat untuk mengejar kemajuan dalam hidup di dunia. Padahal dalam kemajuan itu pasti ada kebajikan yang relevan dengan perkembangan yang dilaluinya.
Dua pasal di atas tampak berbeda, tapi keduanya tak akan pernah bisa dipisah. Melakukan satu hal juga menimbulkan konsekuensi sikap pada yang lain. Dan begitu pula sebaliknya. Begini terjemahan konkretnya: jika Anda masih haus pujian orang lain saat berbuat baik, maka pada saat yang sama Anda sejatinya juga takut dicaci jika berbuat salah. Atau, jika Anda masih haus pujian orang lain saat bekerja dengan baik, maka pada saat yang sama Anda sejatinya juga takut dicaci jika tidak berkinerja. Jika itu yang terjadi, Anda pasti enggan untuk melangkah. Kekhawatiran dan kecemasan menjadi pemicunya.
Karena itu, menata mental ikhlas adalah perihal utama dalam penciptaan kinerja. Sederhana sekali panjelasannya. Yang dibutuhkan oleh lembaga manapun yang menjadi tempat kerja adalah kinerja utama. Semua yang bekerja di dalam lembaga itu diharapkan untuk bisa mencapai kinerja utama itu. Loyalitas semu pada pekerjaan tak akan menjadi harapan. Sebab, akibat loyalitas semu, semua akan dinegosiasikan dengan kepentingan perseorangan. Jika sudah begitu, maka yang akan lahir juga adalah kinerja semu. Kayak-kayaknya penuh kinerja, padahal kinerja itu hanya muncul saat pelakunya ada kepentingan personalnya: berharap pujian sesama dan pimpinannya. Dan, ikhlas adalah solusi jitu untuk menjauhkan diri dari loyalitas semu dan sekaligus kinerja semu itu.
Untuk itulah, ikhlas wajib dihadirkan. Ikhlas adalah awal dari kinerja utama. Dan kinerja bergerak seperti jarum jam. Tak pernah berhenti walau tak dilihat. Tetap bergerak walau tak ditengok. Itulah inspirasi ikhlas oleh jarum jam. Hanya untuk bekerja dengan baik, ia tak butuh dilihat dan ditengok. Tetap saja tugas pekerjaannya dilakukan dengan baik. Dilihat atau tidak oleh yang punya. Ditengok atau tidak oleh selainnya. Jarum jam itu tetap bergerak dengan baik walaupun yang mendapat pujian itu jamnya dan bukan jarum yang bekerja untuknya. Tak pernah jarum harus menarik diri saat ada pujian yang diberikan oleh selainnya untuk yang punya.
Begitulah inspirasi jarum jam. Kita perlu meniru untuk sebuah keikhlasan dalam kerja. Manajemen modern memang telah membuat banyak instrumen untuk mengukur kinerja. Dan semua pasti baik adanya. Tapi, agama hadir sebagai solusi mental kehidupan. Ikhlas adalah salah satu ajaran agama yang menjadi kebutuhan hidup mulia. Melalui penciptaan mentalitas mulia diri menuju kinerja yang menjadi idaman semua. Karena itu, ajaran ikhlas melintasi sekat waktu, tempat dan batas kultural anak manusia. Selama individu anak manusia itu hidup bersama lainnya, selama itu pula ikhlas dibutuhkan untuk menjadi panduan menuju hidup yang mulia.
Lalu Apa Pelajarannya?
Ajaran ikhlas sebagaimana diuraikan sebelumnya mendasari secara kuat sekali prinsip dipuji jangan terbang, dicaci jangan tumbang di atas. Keberadaan rumus hidup ini selalu dibutuhkan dalam kehidupan, privat ataupun publik. Tentu, semua kita patut mengambil inspirasi darinya. Kepentingannya adalah untuk lahirnya kinerja diri yang utama. Sebagai kaum beragama, kita tentu memiliki tanggung jawab moral untuk selalu menjadikan ayat suci sebagai pedoman, dan sekaligus menerjemahkan ajaran sucinya ke dalam praktik hidup nyata. Bukan saja di ruang privat. Melainkan juga lebih-lebih di ruang publik.
Lalu, berangkat dari prinsip dipuji jangan terbang, dicaci jangan tumbang yang didasarkan pada ayat Alhamdulillahi rabbil ‘alamin di atas, apa pelajaran yang bisa dipetik untuk perbaikan tata kelola birokrasi lembaga publik? Ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik. Kedua pelajaran ini bisa ditarik untuk kepentingan hidup secara umum. Namun, akan ada ruang untuk dilakukannya penguraian lebih dalam kaitannya secara khusus dengan perilaku kerja. Apa itu perilaku kerja? Yaitu tindakan dan sikap yang ditunjukkan oleh individu dalam lingkungan kerja. Pelajaran dalam perilaku kerja ini dibutuhkan untuk perbaikan atas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing diri dalam organisasi tempat kerja. Kepentingannya untuk menjunjung tinggi kemuliaan organisasi yang ada.
Pelajaran pertama, tetaplah menjadi pribadi yang sadar diri dan sadar posisi terhadap apapun yang terjadi. Tak perlu ada praktik dramatisasi tanpa arti. Tak perlu berlebihan dalam praktik hidup yang dijalani. Karena semua sudah ada takarannya tersendiri. Tak selalu takaran yang baik untuk seseorang lalu baik pula saat dikenakan kepada selainnya. Maka, tak perlu ada cacian kepada sesama. Meskipun begitu, saat mendapat cacian, tak perlu cacian orang lain itu membuat diri kehilangan kesabaran. Begitu pula terhadap pujian. Tak seharusnya pula pujian membuat diri kehilangan kesadaran.
Semua perlu dipahami dan direspon biasa-biasa saja. Prinsip hidup seperti ini penting dipedomani. Kepentingannya agar hidup tak kehilangan arahan dan kendali. Akibat diri kehilangan kesadaran hati. Prinsip hidup yang demikian ini juga berlaku untuk penunaian tugas di tempat kerja. Karena, semua pemilik kerja pasti memperhatikan perihal perilaku kerja itu. Apakah pemilik kerja itu perseorangan ataukah publik. Karena bagaimanapun, akhlaq seseorang sangat ditentukan bagaimana perwujudannya di ruang nyata. Perilaku kerja itu area yang disediakan bagi setiap diri untuk menunjukkan adab dan akhlaq pribadinya di muka publik. Maka, mudahnya mencaci, sebagai contoh kecil, akan segera menunjukkan keburukan budi pelakunya. Dan, itu tentu tak bagus bagi semangat kolegialisme di tempat kerja.
Sebagai pelajaran kedua, setuju atau sedang tidak setuju, tak boleh menistakan sesama. Pertanyaannya pentingnya lalu begini: Bisakah seseorang hidup tanpa yang lain? Tentu saja jawabannya tak mungkin. Karena itu, keinginannya harus didialogkan dengan keinginan selainnya. Pada titik inilah, hidup selalu dihadapkan pada persoalan setuju atau tidak setuju. Itu karena hidup seseorang selalu bersama lainnya. Setiap keinginan diri harus didiskusikan dan disinkronkan dengan keinginan sesama. Maka, setuju atau tidak setuju adalah sesuatu yang biasa saja. Tapi, caci maki tak seharusnya menghinggapi. Apalagi hingga harus menistakan diri sesamanya. Tentu itu bukan kemuliaan sama sekali adanya.
Di ruang publik, termasuk di tempat kerja, menistakan sesama itu sama dengan menurunkan derajat diri sendiri. Melakukan kekerasan verbal, psikis, dan seksual adalah bagian dari praktik penistaan. Karena itu, mengintimidasi sesama rekan kerja tak boleh dilakukan. Siapapun rekan kerja itu. Itu fatsun kepegawaian. Tak boleh dilanggar. Sebab, perilaku kerja semacam ini dilihat dari aspek apapun tak bisa ditolerir. Prinsip dipuji jangan terbang, dicaci jangan tumbang itu mendasari perilaku kerja yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Karena itu, menistakan sesama sama halnya dengan menistakan marwah kemanusiaan.
Pilihan Suci
Hidup memang tak pernah lepas dari keinginan. Adanya keinginan menandakan adanya kehidupan. Karena itu, keinginan bukan untuk dienyahkan. Melainkan diatur agar tak menabrak prinsip kemuliaan. Munculnya suasana hati kerap merujuk kepada keinginan. Pada titik inilah muncul harapan pada diri. Mengingat masing-masing diri tak akan bisa memastikan harapan itu terwujud atau tidak, segera atau juga tidak, maka harapan itu selalu dihitung dengan kenyataan. Karena itu, munculnya respon hati hanya buah saja dari relasi antara harapan dan kenyataan.
Apalagi, suka dan tidak suka selalu ada. Memaksa orang untuk selalu suka bukanlah opsi yang selalu tersedia. Juga, memaksa orang lain untuk tak suka adalah perilaku yang jauh dari mulia. Maka, suka atau tak suka itu biasa-biasa saja. Selalu hadir selama nafas masih ada. Karena itu, merespon sikap dan praktik suka atau tak suka tak boleh membuat diri terpenjara. Pesan ayat Alhamdulillahi rabbil ‘alamin harus menjadi pedoman arah. Menuju hidup yang mulia. Dipuji jangan terbang, dicaci jangan tumbang adalah ikhtiar konkret untuk menerjemahkan pesan ayat suci dimaksud.
Ajaran yang dipesankan oleh ayat Alhamdulillahi rabbil ‘alamin di atas penting menjadi prinsip hidup masing-masing kita. Di derap langkah apa saja. Termasuk di lintasan generasi mana saja. Sebab, jika masih mudah terbang saat dipuji, maka saat itu pula kita akan mudah tersungkur. Sebaliknya, bila masih gampang tumbang saat dicaci, maka saat itu pula kita sejatinya telah kehilangan orientasi. Maka, nilai yang dipesankan oleh ayat di atas harus mendasari hidup setiap kita: semua penghormatan sejati adalah milik Allah SWT. Maka, jangan mudah terbang saat dipuji, dan jangan mudah tumbang saat dicaci. Tetap sadar bahwa hanya Allah pemilik segala pujian adalah pilihan suci.
Ajaran Alhamdulillahi rabbil ‘alamin sejatinya membangun mentalitas baru dalam hidup. Ikhlas adalah substansi dasar dari mentalitas baru itu. Pesan dipuji jangan terbang, dicaci jangan tumbang yang bisa dilahirkan dari ayat suci tersebut berlaku bukan hanya untuk kehidupan di ruang privat. Melainkan juga kehidupan di ruang publik. Terhadap urusan pribadi, ajaran dimaksud memberi basis mentalitas terukur agar semua usaha dan gerak hidup personal dilakukan dengan keikhlasan tinggi. Tak haus pujian. Juga tak takut cacian. Itulah mentalitas ikhlas. Mentalitas ini lebih-lebih dibutuhkan saat seseorang masuk ke dalam kehidupan ruang publik. Sebab, mentalitas ikhlas adalah awal dari lahirnya kinerja optimal.