UIN Sunan Ampel Surabaya
September 24, 2025

DEMOKRASI, GERAKAN SIPIL, DIALOG

DEMOKRASI, GERAKAN SIPIL, DIALOG

Oleh: Muchammad Ismail, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Demokrasi pada hakikatnya merupakan konstruksi politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber utama legitimasi kekuasaan. Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani Kuno, demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Menurut Okoye Blossom Chisom dalam Democracy and Right to Freedom of Expression (2021: 36), demokrasi dipahami sebagai sistem pemerintahan yang lahir dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, serta ditujukan bagi kepentingan rakyat. Meski demikian, definisi demokrasi tidak pernah bersifat final. Ia senantiasa mengalami perdebatan filosofis, transformasi historis, serta reinterpretasi yang dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya di berbagai konteks.

Dalam konteks Indonesia, kerusuhan yang terjadi di sejumlah kota besar pada akhir Agustus 2025 menjadi ujian serius bagi konsolidasi demokrasi. Apa yang pada mulanya dimaksudkan sebagai unjuk rasa untuk menyalurkan aspirasi rakyat justru berkembang menjadi benturan fisik, perusakan fasilitas publik, hingga menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini tidak hanya mengindikasikan adanya kegelisahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada kepentingan publik, tetapi juga menyingkap lemahnya mekanisme dialog antara negara dan warga. Padahal, dialog yang terbuka dan inklusif merupakan salah satu instrumen fundamental dalam menjaga keberlangsungan demokrasi yang sehat.

Aksi massa terjadi di berbagai daerah menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Kumpulan elemen masyarakat sipil turun ke jalan dengan membawa beragam isu mulai dari ketidakadilan sosial, kritik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah, evaluasi kinerja elite politik, hingga tugas alat negara dalam pengamanan. Seperti lazimnya sebuah demokrasi, aksi demonstrasi menjadi bagian wajar dari dinamika bangsa.

Demokrasi sejatinya memberi ruang bagi kebebasan berekspresi dan kritik, namun tanpa kanal komunikasi yang sehat, kebebasan itu mudah tergelincir menjadi konflik terbuka. Di titik inilah gerakan sipil memainkan peran penting menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dengan pengambil kebijakan, sekaligus penyeimbang agar negara lebih menggunakan pendekatan aspiratif, humanis dan demokratis.

Dialog, yang semestinya menjadi jantung demokrasi, justru sering absen dalam proses politik kita. Negara lebih sibuk menjaga stabilitas jangka pendek, sementara masyarakat sipil sering terfragmentasi oleh kepentingan yang beragam. Padahal, pasca kerusuhan, yang dibutuhkan bukan sekadar pemulihan keamanan, melainkan rekonstruksi kepercayaan. Demokrasi hanya akan bertahan jika ruang dialog diperluas, suara kritis dihargai dan pemerintah berani menempatkan aspirasi rakyat sebagai mitra dalam membangun tata kelola Demokrasi.

Namun realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Bukannya dipandang sebagai wujud suara rakyat, gerakan tersebut justru berhadapan dengan tekanan, pembatasan, bahkan represi. Menurut laporan September (2025) dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) masih ada kriminalisasi, ancaman kebebasan berekspresi; sedangkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), September (2025) mencatat adanya pembubaran paksa, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan aspirasi demokrasi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran, atau bahkan mengarah pada tanda-tanda demokrasi mati sebagaimana diulas Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018: 10).

Demokrasi dan Janji Konstitusi

Konstitusi UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Dua prinsip dasar ini freedom of aspiration dan freedom of association merupakan fondasi utama bagi sistem politik yang sehat di Indonesia. Tanpa keduanya, demokrasi berisiko merosot menjadi sekadar prosedur formal: ada pemilu, ada lembaga negara, tetapi roh kebebasan rakyat perlahan memudar. Dalam konteks ini, penyampaian aspirasi di ruang publik seharusnya tidak ditempatkan berlawanan dengan asas ultimum remedium dalam hukum pidana, sebab hak untuk berserikat dan berkumpul telah diakui dalam Freedom of Association yang dikeluarkan ILO (International Labour Organization), Geneva (2018: 17. P.72) dan Universal Declaration of Human Rights; International Bill of Human Rights; International Convenant on Civil and Political Rights. Hendardi dalam Gugat Negara: Lindungi dan Lenyapkan Kriminalisasi Kebebasan (2005: 27) mengatakan ada prinsip kewajiban bagi Negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil) hak atas kebebasan.

Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan adanya jarak antara idealitas konstitusi dengan realitas aspirasi politik masyarakat. Banyak mahasiswa dan aktivis sipil merasa aspirasi mereka dibatasi oleh aturan hukum yang ditafsirkan secara sempit. Bahkan, ruang publik yang seharusnya menjadi arena dialog, berubah menjadi arena pembatasan. Situasi ini membuat demokrasi kita seolah kehilangan nafasnya.

Pembatasan ruang sipil kerap berangkat dari logika state anxiety atau kegelisahan pemerintah. Pemerintah dan aparat kadang khilaf memandang aksi massa sebagai sumber instabilitas, kerusuhan, bahkan ancaman terhadap kekuasaan. Cara pandang semacam ini masih dibayangi post authoritarian trauma atas tumbangnya rezim Orde Baru selama 32 tahun berkuasa. Namun, di era Reformasi, semangat Merah Putih seharusnya diwujudkan bukan dengan membatasi atau membungkam suara publik, melainkan dengan membuka ruang dialog dan partisipasi. Tanpa perubahan menuju tata kelola politik yang lebih sehat, kebijakan represif hanya akan menimbulkan krisis kepercayaan, melemahkan struktur politik, dan menggoyahkan legitimasi keamanan nasional.

Dalam analisis sosiologi politik, fenomena pembatasan ruang sipil tidak hanya terjadi di Indonesia. Tren serupa juga terlihat di berbagai negara lain, di mana pemerintah lebih memilih pendekatan represif ketimbang dialog. Pola ini tampak pada para pemimpin otoriter di Rusia, El Salvador, serta di kawasan Sahel seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger yang memanfaatkan ketakutan dan disinformasi untuk membungkam perbedaan pendapat. Situasi tersebut memperlihatkan sebuah paradoks bahwa negara berupaya menjaga legitimasi, tetapi justru kehilangan kepercayaan publik. Akibatnya, demonstrasi yang seharusnya menjadi kanal aspirasi berubah menjadi titik ledakan ketidakpuasan yang lebih luas.

Human Rights Watch (2025) melaporkan bahwa dalam satu dekade terakhir ruang kebebasan sipil di Asia Tenggara terus mengalami penyempitan. Kebijakan negara-negara di kawasan ini, termasuk Pakistan, Nepal, Filipina, hingga Indonesia, cenderung menempatkan stabilitas politik di atas penghormatan terhadap hak-hak demokratis warga negara.

Kondisi tersebut juga terlihat di Indonesia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui Posko Orang Hilang merilis laporan pada September (2025). Laporan itu mencatat bahwa dalam rangkaian aksi yang berlangsung pada 25-31 Agustus 2025, masih ada tiga orang yang belum dikembalikan dan diduga menjadi korban penghilangan paksa. Temuan ini menegaskan bahwa praktik pelanggaran hak asasi manusia belum sepenuhnya menjadi catatan masa lalu, melainkan terus berulang dalam bentuk yang baru.

Hingga saat ini, masih ada upaya pembatasan atau pelarangan terhadap literatur filsafat, karya-karya kritis, maupun kajian berbagai isme-isme lain, padahal hal tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi. Demokrasi hanya dapat bertahan jika masyarakat memiliki ruang bebas untuk membaca, berdialog, dan menguji gagasan. Karena itu J. S. Mill dalam karyanya On Liberty John Stuart Mill 1859 (2001: 16-17) menegaskan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi adalah syarat mutlak bagi kemajuan manusia. Menurut Mill, melarang suatu bacaan sama saja dengan mengingkari hak publik untuk menilai kebenaran melalui pertukaran gagasan.

Dalam konteks global, pembatasan ruang sipil dipandang sebagai indikator kemunduran demokrasi. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018: 12) menegaskan, demokrasi tidak runtuh hanya melalui kudeta atau perang, melainkan kerap melemah secara perlahan melalui tindakan represif yang dibungkus alasan legalitas. Di titik inilah pentingnya kesadaran politik, baik dari penguasa maupun masyarakat, aktor sosial maupun elite politik untuk menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan. Tanpa itu, demokrasi hanya akan tinggal nama, sementara substansinya kian terkikis.

Padahal, demokrasi justru menuntut keberanian untuk membuka telinga. Suara rakyat, betapa pun bising dan keras, adalah tanda vitalitas sebuah bangsa. Jika suara itu dibungkam, ketidakpuasan akan mencari jalan lain kadang lebih destruktif dan sulit dikendalikan. Sejarah Indonesia sendiri membuktikan bahwa represi terhadap aspirasi rakyat justru melahirkan ledakan sosial yang lebih besar, fenomena itu tidak boleh terjadi dan terulang kembali dalam membangun demokrasi yang kita cintai.

Gerakan Sipil dan Menjaga Demokrasi

Elemen masyarakat sipil kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka ingin terus memperjuangkan hak-hak rakyat, menjadi penyeimbang kekuasaan, sekaligus mengingatkan negara agar tidak lupa pada janji konstitusinya. Namun di sisi lain, ancaman represi membuat gerakan sipil kian sulit bernafas.

Beberapa organisasi mahasiswa melaporkan adanya tekanan, baik dalam bentuk intimidasi langsung maupun melalui jalur hukum. Bahkan, ada kecenderungan mengkriminalisasi aktivis elemen sipil; kebebasan berpendapat dan berserikat dibenturkan dengan delik hukum.  Jika tren ini menjamur, bukan tidak mungkin eksistensi masyarakat sipil akan semakin tergerus, dan Indonesia kehilangan salah satu tiang penyangga demokrasinya.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan adalah mengapa kebebasan beraspirasi dan berserikat dalam Demokrasi begitu penting harus dijaga? Kapan akademisi hadir sebagai gerakan intelektual untuk mengawal dan menjaga tata kelola Demokrasi? Jawabannya sederhana, tanpa kebebasan, demokrasi hanyalah topeng. Pemilu bisa saja berjalan lima tahun sekali, tetapi jika rakyat takut bersuara, maka substansi demokrasi hilang. Tanpa keterlibatan serta kebebasan akademisi dan intelektual kampus diruang publik sebagai pengawal arah reformasi, bisa jadi kekuatan sipil dan mahasiswa akan kehilangan orientasi dalam memperjuangkan demokrasi.

Sejalan dengan pesan yang disampaikan oleh top leader UIN-SA kita melalui tulisan bertajuk “Wahai Akademisi, Jangan Telat Hadir.” Kita diingatkan bahwa kampus tidak boleh terjebak dalam menara gading. Ilmuwan kampus, baik sebagai intelektual tradisional maupun intelektual organik, perlu hadir dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Penulis meminjam perspektif Antonio Gramsci dalam Selections from the Prison Notebooks (1971: 10-12) menegaskan bahwa intelektual organik tidak hanya berkutat pada teori, melainkan melebur dengan masyarakat dan menjadi bagian dari perjuangan sosial. Dengan cara itu, ilmu pengetahuan tidak berhenti sebagai abstraksi, tetapi menjadi nafas kehidupan yang menjiwai gerakan sosial dan demokrasi.

Ketika akademisi absen, arah perjuangan rakyat berisiko kehilangan pijakan filsafat, rasional, dan moral. Noam Chomsky menulis dalam The Responsibility of Intellectuals (1967: 6-7) bahwa tanggung jawab utama kaum intelektual adalah mengungkap kebenaran dan menghadirkannya di hadapan publik. Inilah bentuk keberpihakan akademisi, dari mengawal kebenaran, memberi pencerahan, dan menjaga idealisme agar demokrasi tidak tereduksi menjadi sekedar ritual prosedural.

Dengan demikian, peran akademisi tidak cukup hanya mengajar, meneliti, menulis jurnal, atau berdiskusi di ruang terbatas. Lebih dari itu, mereka dituntut menjalin ikatan nyata dengan denyut nadi masyarakat saat mengawal reformasi. Tanpa keterlibatan tersebut, kampus akan kehilangan relevansinya, dan demokrasi akan kehilangan penopang filsafat, moral, serta rasional yang membuatnya tetap hidup.

Kebebasan selalu memberi ruang bagi kritik, dan kritik berfungsi menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batasnya. Demokrasi yang sehat ditandai oleh keberadaan oposisi yang kuat, pemerintah yang bersih, media yang independen, serta masyarakat sipil yang berani bersuara dan terlindungi hak-haknya. Inilah yang membedakan demokrasi sejati dari otoritarianisme yang sekadar dibungkus prosedur. Francis Fukuyama dalam State Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004: 9) menegaskan, elemen dasar manusia adalah kehendak untuk bebas. Kebebasan itulah yang menjadi modal utama sekaligus penggerak perubahan.

Jalan Keluar: Membuka Dialog

Dalam menyikapi perkembangan demokrasi saat ini, terdapat dua langkah yang dapat ditawarkan; Pertama, yang bisa dilakukan negara adalah mengembalikan kepercayaan publik. Caranya bukan dengan mempersempit ruang aspirasi, melainkan dengan membuka ruang dialog yang sehat. Pemerintah hendaknya berani duduk bersama mahasiswa, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil untuk mendengar aspirasi mereka.

Aparat penegak hukum perlu mengedepankan pendekatan humanis dalam mengawal aksi masyarakat. Demonstrasi bukanlah ancaman, melainkan ekspresi konstitusional warga negara. Tugas aparat sejatinya adalah melindungi, mengayomi, dan memastikan aspirasi berjalan tertib tanpa mengganggu ketertiban umum. Dalam konteks ini, Jacques Van Doorn dalam Ideology and the Military (1971: 20) mengingatkan bahwa fungsi alat negara kerap mengalami pergeseran: dari ideologi operasional, berubah menjadi ideologi korporat, hingga berkembang menjadi ideologi politik ketika menghadapi krisis. Pengalaman masa transisi dari Orde Baru menuju Reformasi saat ini menunjukkan bahwa fungsi semacam itu tidak boleh terulang.

Kedua, sebagai alat negara, TNI hendaknya kembali pada jati dirinya sebagai pasukan elite tempur menjaga persatuan NKRI, sementara Polri berperan sebagai pengayom masyarakat. Polri dituntut mampu menjalankan prinsip democratic policing sebagaimana diuraikan oleh Tito Karnavian dan Hermawan Sulistiyo, Polisi dalam Arsitektur Negara (2019: 17). Artinya, polisi wajib menghargai hak-hak sipil, tunduk pada prinsip demokratis, serta menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hanya dengan cara itu kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan demokrasi dijaga dari ancaman kemunduran.

Tugas strategis alat negara di bidang patroli keamanan siber tidak boleh merambah terlalu jauh ke ranah sipil. Ada batasan etis yang perlu dijaga agar upaya melindungi warga tetap sejalan dengan prinsip kebebasan berasosiasi dan berekspresi, yang merupakan hak fundamental setiap warga negara di ruang publik Demokrasi. Salah satunya adalah ruang digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang publik. Membatasi ruang tersebut dengan alasan keamanan, jika dilakukan secara berlebihan, justru bisa melahirkan ketidakpercayaan terhadap negara.

Etika patroli keamanan siber seharusnya tidak hanya berbicara soal kemampuan teknis dalam melacak dan menindak ancaman, tetapi juga soal sensitivitas terhadap hak-hak warga sipil. Aparat negara sepatutnya menyadari bahwa setiap intervensi berlebihan dapat mereduksi kualitas demokrasi. Di sinilah pentingnya menegakkan batas yang jelas antara melindungi tanpa membungkam dan mengawasi tanpa mengekang Sipil.

Hal ini menjadi sebuah catatan refleksi, bahwa apabila dalam praktiknya Demokrasi diruang publik muncul perilaku sosial yang menyimpang, tindakan indisipliner, atau bahkan patologi sosial dalam penyampaian aspirasi, maka respons yang diambil oleh aparat seharusnya tetap berada dalam koridor demokratis dan etis. Kehadiran pihak berwenang diperlukan, tetapi dengan pendekatan yang proporsional, mengayomi, melindungi unsur Sipil saat aspirasi disampaikan di arena ruang publik.

Hanya dengan cara demikian, ruang publik dapat tetap menjadi arena yang sehat bagi demokrasi, di mana kebebasan sipil berjalan beriringan dengan keamanan nasional.

Penutup tulisan, transisi agenda reformasi saat ini masih belum selesai termasuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam penyelenggaraan Negara. Demokrasi di Indonesia kini berada pada titik ujian. Peristiwa Agustus 2025 seharusnya menjadi bahan kontemplasi bersama. Ia memberi isyarat bahwa masih ada hal-hal yang perlu kita evaluasi, terutama dalam memperlakukan rakyat di ruang publik demokrasi. Jika ruang aspirasi masyarakat terus dipersempit, maka demokrasi berisiko terjebak menjadi sekedar slogan, sementara cita-cita supremasi sipil tidak akan pernah benar-benar terwujud.

Menjadi pengingat bersama, kedaulatan sejatinya berada di tangan rakyat, sementara negara hanyalah pelaksana mandat. Karena itu, tidak boleh ada tanda-tanda meredupnya ruang demokrasi. Jika keredupan itu terjadi, maka hal tersebut menjadi peringatan serius tentang rapuhnya hubungan antara rakyat dan negara. Demokrasi hanya akan bertahan jika pemerintah berani mendengar, menghargai perbedaan, serta menempatkan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan. Seperti perkataan Abraham Lincoln pada 16 September 1863 di Gettysburg, Pennsylvania dalam Transcript of Cornell University’s (2013: 1) mengatakan “… that government of the people, by the people, for the people …” Artinya, Pemerintah adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kini saatnya pemerintah membuktikan bahwa demokrasi di negeri ini masih memiliki masa depan. Demokrasi tidak cukup hanya dipertontonkan lewat prosedur elektoral lima tahunan, tetapi harus hidup dalam keseharian warga: kebebasan berpendapat, ruang partisipasi yang terbuka, serta jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA