Fakultas Ilmu Sosial & Politik
November 13, 2025

DEMA FISIP UINSA Gelar Simposium “Dengar Suara Rakyat”: Bangun Kembali Kepercayaan Publik terhadap DPR

DEMA FISIP UINSA Gelar Simposium “Dengar Suara Rakyat”: Bangun Kembali Kepercayaan Publik terhadap DPR

FISIP UINSA Surabaya – Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (DEMA FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menggelar Simposium bertajuk “Dengar Suara Rakyat: Merekonstruksi Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Legislatif di Tengah Gelombang Kritik”, Rabu (12/11), bertempat di Auditorium FISIP UINSA lantai 5.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber dengan latar belakang berbeda: Dr. Mukayat Al-Amin, S.Sos, M.Sosio selaku Kepala Lembaga Pengkaji Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Abdul Ghoni Mukhlas Niam, S.Pd.I anggota DPRD Kota Surabaya Komisi D, dan Yono Malolo, S.Sos sebagai aktivis sosial. Simposium ini menjadi forum reflektif yang menghadirkan pandangan akademis, pengalaman legislatif, dan kritik masyarakat sipil tentang menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Dalam sambutan pembuka, Ketua DEMA FISIP UINSA menyampaikan bahwa simposium ini merupakan bentuk komitmen mahasiswa dalam memperkuat literasi politik dan membangun ruang dialog antara masyarakat, akademisi, dan legislator.

“Simposium ini bukan sekadar agenda seremonial, tapi ruang refleksi kritis agar mahasiswa mampu membaca realitas politik secara utuh. Demokrasi yang sehat hanya akan lahir bila rakyat berani mengkritik dan wakil rakyat bersedia mendengar,” ujarnya.

Ia menambahkan, acara ini juga menjadi program kerja terakhir DEMA FISIP UINSA tahun 2025, penutup yang bermakna bagi kepengurusan. “Kami berharap semangat kritis dan kolaboratif tetap hidup di lingkungan FISIP, agar kampus terus menjadi ruang lahirnya gagasan-gagasan kebangsaan yang segar dan progresif,” imbuhnya.

Dalam paparannya, Dr. Mukayat Al-Amin memaparkan analisis akademis tentang fungsi dasar DPR sebagai lembaga legislatif. Menurutnya, DPR memiliki tiga fungsi utama yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, yang diamanatkan langsung oleh UUD 1945. Namun, dalam praktik politik modern, ketiganya kerap bergeser dari ideal konstitusional.

“Seringkali fungsi DPR kehilangan ruh pengawasan dan justru terjebak dalam politik kompromi. Padahal, secara ideal, fungsi legislatif adalah mengawal kepentingan publik melalui produk hukum yang adil dan berpihak kepada rakyat,” tegasnya.

Ia juga menyinggung demonstrasi besar-besaran pada 25 Agustus 2025 di Senayan, Jakarta, sebagai bentuk ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR yang dinilai tidak sejalan dengan kehendak rakyat.
“Ketika rakyat turun ke jalan, itu bukan sekadar luapan emosi, tetapi refleksi dari representasi politik yang kehilangan arah,” ungkap Dr. Mukayat.

Dari data yang ia paparkan, DPR menempati posisi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik hanya 41 persen. Rendahnya angka ini, katanya, merupakan peringatan bahwa transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat.

Sebagai penutup, Dr. Mukayat menegaskan bahwa rekonstruksi kepercayaan publik harus dimulai dari reformasi etika politik dan pendidikan demokrasi di ruang akademik.
“Kampus seperti FISIP UINSA harus menjadi laboratorium sosial yang melahirkan generasi politisi etis, bukan sekadar pencari kekuasaan,” ujarnya.

Sementara itu, Abdul Ghoni Mukhlas Niam, S.Pd.I, anggota DPRD Kota Surabaya Komisi D, berbagi pengalaman nyata dalam perjalanan politiknya. Ia menepis anggapan bahwa menjadi anggota legislatif harus bermodal besar.

“Saya tidak punya modal miliaran. Saat maju, saya hanya bermodal komunikasi yang jujur dan keinginan kuat untuk berdialog langsung dengan warga,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Abdul Ghoni menekankan bahwa politik sejati bukan soal uang, tetapi soal kepercayaan dan dialog. Ia mengingatkan mahasiswa agar tetap kritis, namun juga objektif dan berbasis data saat menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.

“DPRD Kota Surabaya terbuka lebar bagi siapa pun, termasuk mahasiswa. Tapi saya selalu menekankan: datanglah dengan data yang valid dan analisis yang kuat, bukan hanya opini dari media sosial,” pesannya.

Ia juga mengapresiasi inisiatif DEMA FISIP yang menggelar forum terbuka seperti ini. “Kegiatan akademik seperti ini harus sering dilakukan karena politik membutuhkan ruang pendidikan publik. Demokrasi tidak bisa tumbuh tanpa literasi politik yang memadai,” tambahnya.

Dari perspektif aktivisme sosial, Yono Malolo, S.Sos menyoroti persoalan jarak antara lembaga legislatif dan masyarakat yang semakin lebar. Ia menilai DPR belum maksimal dalam menjalankan fungsi representatifnya.

“Rakyat hari ini bukan lagi ingin janji, tapi ingin didengar. Ketika kepercayaan turun, itu berarti ada komunikasi yang putus antara wakil dan yang diwakili,” katanya.

Yono menyerukan agar setiap legislator memperkuat sinergi dengan masyarakat sipil dan mengembalikan DPR ke pelukan rakyat. Ia menegaskan, kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika wakil rakyat benar-benar hadir dalam kehidupan sosial masyarakat, bukan sekadar menjelang pemilu.

“Kebijakan publik yang baik lahir dari empati dan interaksi. Demokrasi bukan sekadar sistem politik, tapi juga soal rasa memiliki terhadap bangsa,” pungkasnya.

Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu mendapat antusiasme tinggi dari mahasiswa. Sejumlah peserta aktif mengajukan pertanyaan tentang strategi membangun politik yang bersih dan transparan, serta peran mahasiswa dalam pengawasan kebijakan publik.

Ketua DEMA FISIP menutup acara dengan refleksi singkat:
“Mahasiswa harus menjadi subjek demokrasi, bukan objek politik. Kepercayaan publik terhadap DPR tidak bisa dipulihkan dengan kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata, integritas, dan transparansi dalam setiap kebijakan.”

Melalui simposium ini, FISIP UINSA kembali menegaskan perannya sebagai ruang dialektika akademik yang menghubungkan ilmu politik, masyarakat, dan negara.
Kegiatan DEMA FISIP ini menjadi contoh konkret bahwa perguruan tinggi tidak hanya berperan dalam transfer ilmu, tetapi juga sebagai laboratorium demokrasi yang menumbuhkan kesadaran politik etis dan rasional. Acara ditutup dengan penyerahan cenderamata kepada para narasumber dan foto bersama.
Semangat intelektual, keterbukaan berdialog, dan refleksi kritis yang tercipta di auditorium FISIP UINSA hari itu menjadi penegas bahwa kampus adalah ruang pertama untuk menanamkan integritas politik bangsa. (RAA Ed BsR)

Spread the love

Tag Post :

Categories

Berita