Garnetta Liya Widyanti (HTN, semester 6) dan Rani Sufanah Nurul Islam (IF, semester 4), dua mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (FSH UINSA) Surabaya, tengah menjalani pengalaman berharga di program student mobility di Thailand Selatan. Ditugaskan sebagai pengajar tamu di Bamrung Islam School di Provinsi Phatthalung, Thailand Selatan, keseharian mereka tidak hanya mengajar bahasa Inggris di sekolah mitra, tapi juga aktif berbagi budaya Indonesia melalui presentasi dan diskusi lintas budaya bersama para siswa lokal.
Dalam sesi mengajarnya, kedua delegasi student mobility FSH 2025 ini menggunakan alat bantu presentasi Powerpoint Presentation untuk memperkenalkan ‘The Traditional Culture of Java’ secara umum. Mereka mengajak siswa-siswi Thailand mengenal berbagai aspek budaya khas Indonesia, mulai dari motif batik yang kaya makna filosofis, alat musik tradisional seperti gamelan yang menciptakan harmoni khas Jawa, hingga tradisi budaya penting seperti Sekaten, upacara keraton yang sarat nilai spiritual Islam dan lokal, serta pesta masyarakat Selametan yang menggambarkan kebersamaan dan rasa syukur.
Para mahasiswa juga menjelaskan tentang wayang kulit, seni pertunjukan tradisional yang mencerminkan falsafah dan nilai-nilai kehidupan Jawa. Diskusi ini membuka pintu dialog mengenai kesamaan dan perbedaan budaya antara Indonesia dan Thailand, terutama dalam konteks aksara dan epik klasik.
Beberapa poin penting yang muncul dalam pertukaran budaya ini adalah:
- Kesamaan Aksara Thai dan Jawa: Kedua delegasi dan para murid di kelas 11 dan 12 SMA berdiskusi tentang bentuk aksara Thai yang secara visual mirip dengan aksara Jawa. Hal ini karena kedua aksara tersebut berkembang dari aksara Brahmi yang sama dari India, lalu menyesuaikan dengan kebutuhan bahasa dan budaya masing-masing wilayah. Keduanya memiliki turunan yang sama yang merupakan turunan dari aksara Pallawa. Perkembangan bersama ini menciptakan akar budaya yang saling terhubung di Asia Tenggara.
- Kisah Ramakien dan Ramayana: Keduanya memiliki akar cerita yang sama dari India, yaitu kisah perjuangan pangeran Rama untuk menyelamatkan istrinya, Sita, dari raja iblis Rahwana. Ramayana merupakan wiracarita asli India yang kemudian menyebar ke Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya, sementara Ramakien adalah adaptasi khas Thailand yang pertama berkembang sejak abad ke-18 di bawah Raja Rama I. Walaupun keduanya memiliki alur dan tokoh utama yang mirip, seperti Rama, Sita, dan Hanuman, Ramakien disesuaikan dengan konteks budaya, agama, dan estetika Thailand, misalnya dengan penambahan nilai-nilai Buddhism dan keunikan karakter. Sementara Ramayana lebih berfokus pada nilai Hindu dan kisah idealisme. Kesamaan tema dan karakter menjadi bukti adanya pertukaran budaya yang mendalam selama berabad-abad, meskipun disesuaikan dengan konteks keagamaan dan budaya masing-masing bangsa.
- Budaya Buddhism dan Pengaruhnya pada Moslem Society di Thailand Selatan: Para siswa menjelaskan bahwa beberapa tradisi, seperti tari Manorah dari Phatthalung, festival Loy Krathong (festival cahaya dan ungkapan rasa syukur kepada Dewi Air Phra Mae Khongkha), dan perayaan Songkran (festival air di Thailand) merupakan bagian dari budaya dan ritual Buddhism yang kuat di Thailand. Oleh sebab itu, masyarakat Muslim di sana tidak merayakan maupun mengadopsi tradisi tersebut secara langsung, mengikuti prinsip agama yang melarang partisipasi dalam ritual agama lain. Ini menjadi bahan diskusi tentang bagaimana pluralitas budaya dan agama berjalan berdampingan di wilayah ini.
Cerita ini menjadi cermin betapa budaya Asia Tenggara menyimpan akar yang saling terhubung dan saling mempengaruhi, sebuah perayaan keanekaragaman yang tidak memisahkan, melainkan menyatukan. Diskusi ini membuka wawasan kedua belah pihak tentang bagaimana masyarakat dengan kepercayaan berbeda hidup berdampingan, saling menghormati dengan batasan-batasan yang ada.
Selain itu, para siswa juga membawakan presentasi mengenai kuliner khas Thailand, dengan berbagai hidangan beraroma kuat dan kaya rempah, serta peninggalan kuil-kuil tradisional Buddha yang menjadi pusat spiritual dan kehidupan sosial masyarakat. Melalui presentasi dan interaksi dua arah, pengalaman belajar Bahasa Inggris yang awalnya bersifat akademis juga menjadi wahana pertukaran nilai-nilai budaya. Garnetta dan Rani tidak hanya mengajari kosakata dan tata bahasa, tetapi juga menciptakan ruang di mana siswa dan guru sama-sama belajar menghargai perbedaan dan menemukan titik temu.
Program student mobility yang dijalankan oleh FSH UINSA dengan lima sekolah mitra di Thailand Selatan ini memang dirancang untuk lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dua budaya dan agama dengan latar sejarah yang rumit tetapi berharga. Lewat pengalaman ini, para mahasiswa didorong untuk menjadi agen perubahan, yang tidak hanya mengandalkan teori, tetapi mempraktikkan toleransi, hormat, dan solidaritas di dunia nyata.
lampiran foto:

