Pusat Mahad Al-Jamiah
August 28, 2025

CINTA PARIPURNA DARI SANG NABI

CINTA PARIPURNA DARI SANG NABI

Wasid Mansyur
Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah, Dosen FAH UINSA

Sengaja tulisan ini dirancang pada bulan Rabi’ul Awal sebagai bentuk ekspresi bangga masih ditakdir bersama bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pasalnya, sebagai bulan Sang Nabi, selanjutnya disebut, Rabi’ul Awal adalah momentum kita mengenang peran sang Nabi yang membawa pencerahan bagi semua umatnya. Salah satu prinsip terpenting dari nilai pencerahan yang diwariskan tidak lain agar kita selalu mengepankan akhlakul karimah sebagai pondasi dasar dalam berinteraksi dengan siapapun, tanpa memandang ras, suku, agama dan etnis. Baik teman maupun lawan.

Menjadi sangat elok bila kemudian, bulan Sang Nabi menjadi momentum untuk membaca dan merefleksikan ulang beragam sejarah dari teladan kehidupannya __mulai ucapan, pikiran hingga prilakunya__ yang diabadikan dalam teks-teks Islam, baik dalam al-Qur’an maupun Hadisnya. Warisan teladan Sang Nabi bukanlah teks mati yang hanya berlaku di eranya, tapi ia laksana teks kehidupan yang dinamis menyapa perjalanan hidup umatnya sebagai prototipe palipurna dari manusia penuh teladan.

Pikiran ini mengingatkan kaedah fikih yang berbunyi al-‘ibrah bi umumi al-lafdhi la bi khususi al-sabab, yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafad, bukan kekhususan sebab. Bila dikembangkan, bahwa kisah-kisah yang berkaitan dengan Sang Nabi yang memuat kebaikan dan teladan, bukanlah hanya berlaku kepadanya, tapi juga bisa berlaku kepada umatnya. Mengutip ungkapan dalam pengantar tahqiq Kitab “Hadaiq al-Anwar wa Mathali’ al-Asrar fi Sirah al-Nabi al-Mukhtar” karya Syekh Umar ibn Umar Bahraq:

فإن خير ما يتدارس الناشئة وطلاب العلم دراسة السيرة النبوية إذ هي وسيلة للتعلم والتهذيب  والتأديب وفيها ما يرجوه المؤمن من دين ودنيا، وعلم وعمل، و آداب وأخلاق، ورحمة وعدل، وجهاد واستشهاد في سبيل الله ثم نشر العقيدة والشريعة والقيم النبيلة

“Sesungguhnya materi terbaik yang sangat layak dipelajari oleh kalangan pemuda dan pencari ilmu adalah mempelajari Sirah Nabawi. Pasalnya, mempelajari Sirah Nabawi adalah media untuk belajar, mendidik sopan santun dan adab. Dalam Sirah Nabawi terdapat sesuatu yang menjadi keinginan orang yang beriman; mulai agama dan dunia, ilmu dan praktik, adab dan akhlak, rahmat dan adil, jihad dan mati syahid di jalan Allah, menyebarkan akidah dan syari’at dan nilai-nilai kemuliaan lainnya.”

Jadi, membaca Sirah Nabawi akan mengingatkan kepada kita selaku umatnya agar senantiasa mengambil ibrah dari teladan prilaku dan ucapannya. Apa yang dialami oleh Sang Nabi dalam hidupnya layak menjadi teladan. Pastinya sepanjang masih berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, mengingat kalam Arab: “Sang Nabi adalah manusia, tapi tidak seperti manusia pada umumnya. Melainkan Ia laksana Yaqut yang berada di antara batu-batuan.”

Cinta Paripurna  

Untuk itu, salah satu teladan terbaik dari Sang Nabi adalah caranya menebarkan cinta kepada umatnya. Cintanya tidak untuk memenuhi keinginannya semata, tapi lebih pada dasar atas kemanusiaan sehingga yang terwujud cinta itu selalu dalam balutan kasih sayang. Kasih sayangnya yang sangat kuat selalu mengalahkan amarahnya kepada siapapun sehingga yang muncul selalu kelembutan, sekaligus ketegasan dalam memegang prinsip.

Dalam konteks ini, misalnya, cerita seorang Yahudi yang suka mengganggu Sang Nabi, ketika melintasi jalannya dalam rangka berdakwah. Tak lama dari itu, si Yahudi tadi menghilang cukup lama sehingga memantik penasaran Sang Nabi sebab biasanya dalam setiap berdakwah, si Yahudi selalu menjadi penghambatnya. Usut demi usut, Sang Nabipun menanyakan kepada orang yang ditemui di jalan kaitan si Yahudi tadi. Akhirnya, ada orang yang mengabarkan kepada Sang Nabi, Bahwa si Yahudi tadi sedang sakit.

Kabar sakitnya si Yahudi, lantas tidak mendorong Sang Nabi bersyukur dan bahagia sehingga bebas dari gangguan ketika berdakwah, tapi, Ia malah sedih dan berencana menjenguknya. Sikap Sang Nabi ini yang kemudian banyak orang terheran-heran, kok bisa si Yahudi yang jelas-jelas tidak suka dan selalu memusuhinya, malah mendapat perlakuan khusus dari Sang Nabi dengan menjenguknya.

Perlakuan seperti ini juga terjadi pada Da’tsur ibn al-Haris, seorang penunggang kuda dan pimpinan perang dari Bani Tsa’labah yang sangat membenci Sang Nabi. Begitu bencinya, Ia hampir membunuh Sang Nabi. Tapi atas pertolongan Allah SWT, arah pedang berbalik arah menjadi Sang Nabi yang memiliki kesempatan untuk membunuhnya sebab pedang yang dipegang terjatuh setelah Sang Nabi mengatakan, Allah yang menolongnya, ketika Da’tsur berkata sambil menghunus pedangnya, Siapakah yang menolongMu sekarang, ya Muhammad? Menariknya, Sang Nabipun tidak lantas membunuhnya, tapi malah memberikan maaf kepada Da’tsur sehingga iapun masuk Islam.

Banyak cerita model seperti ini, bagaimana cinta kasih Sang Nabi melebihi amarahnya. Ada dua makna penting kita dapat meneladani dari Sang Nabi. Pertama, cinta palipurna Sang Nabi lahir dari semangat kemanusiaan. Bukan cinta yang dibalut dengan kepentingan sesaat. Sang Nabi mengajarkan kepada kita kepada siapapun orangnya, sekalipun lawan politik, bila dalam kondisi tidak berdaya tak perlu melakukan tindakan-tindakan “brutal” yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, apalagi menghabiskan nyawa.

Kedua, apa yang dilakukan Sang Nabi menggambarkan keutuhan nilai dari diutusnya sebagai Nabi dan Rasul pamungkas (khatam al-anbiya’ wa al-mursalin). Karenanya, jangan pernah mengatakan cinta betul kepada Sang Nabi, jika kita masih memandang praktik cinta kepada orang lain berdasarkan pada kepentingan kita, bukan kepentingan orang lain. Jika Sang Nabi berkehendak, misalnya, dapat dipastikan Ia akan membunuh langsung Da’tsur, tapi itu tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan. Pilihan Sang Nabi ini menjadi sebab Da’tsur luluh hatinya dan bersamaan dengan itu hidayah Allah turun sehingga masuk Islam.

Meminjam istilah teori “life course” tentang peran seseorang dari waktu ke waktu tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan historis tempat individu tersebut berada. Maka apa yang diperankan Sang Nabi sebagai individu yang menyejarah tidak lepas dari spirit nilai substansi dirinya sebagai utusan Allah SWT yang diejawantahkan dalam kalimat Qur’ani (al-Anbiya’, ayat 107). Nilai-nilai luhur ini yang secara substantif terpraktikkan dalam kehidupan Sang Nabi, bahkan bersama keluargapun Ia selalu berperan menyayangi dengan praktik-praktik terbaik dalam interaksi kekeluargaan. Misalnya pengakuan ‘Aisyah bahwa Ia selalu membantu urusan istrinya. Ketika waktu sholat tiba, Iapun segera bergegas mengerjakannya. (HR. Bukhari).

Last but not least, Cinta paripurna dari Sang Nabi adalah ekspresi kecintaan tertinggi dalam interaksi dengan sesama yang tidak dibatasi oleh suku, etnis, agama dan rasa. Balutan kasih sayang dalam mempraktikkan cinta menghasilkan keteladanan yang apik berkemanusiaan. Semua merasakannya, bahkan lawan politik yang sering memusuhinya menjadi takluk bukan dengan kekerasan dari Sang Nabi, tapi dengan kelembutannya memberikan maaf sebagai solusi. Karenanya, sempurnakan kecintaan kita kepada Sang Nabi, dengan meneladani secara utuh dari praktik akhlaki yang telah diwariskan kepada kita sepanjang zaman. Semoga kita bisa meneladani Sang Nabi. Amin…

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA, المقالات