Column

“Soal agama kita toleran. Tapi soal ta’jil kita duluan”, pernyataan ini adalah sebuah kutipan dari seorang pendeta muda yang sedang berkhutbah, dimana kemudian direspon jemaahnya dengan tertawa riang. Video yang menggambarkan sikap toleransi beragama ini sedang viral media sosial saat ini. Pola relasi ummat beragama di negeri kita ini, pada  umumnya memang dikenal sangat toleran. Apalagi jika interaksi itu merupakan bagian dari ekspresi kultural, maka jarang sekali menimbulkan keributan.  Keterbukaan informasi dan interaksi sosial budaya di masyarakat kita memang relatif sangat baik. Meski di sana-sini terkadang masih terjadi sikap dan perilaku yang kurang toleran, akan tetap secara umum ummat beragama di Indonesia dikenal sangat toleran dan saling menghormati.

Pada sisi lain, kehadiran teknologi informasi dan kecerdasan artifisial (AI), telah memunculkan pola perilaku komunikatif masyarakat yang lebih terbuka yang tidak lagi mampu dibatasi oleh ruang dan waktu dalam pengertian konvensional. Apa yang terjadi di Aceh bisa saja kita akses informasinya secara langsung di Papua, selama ada yang mengkoneksikan peristiwa tersebut dalam sebuah siaran langsung lewat jejaring internet atau satelit komunikasi. Saat ini semua wilayah di dunia ini  bisa terhubung dan tidak lagi ada dinding yang menghalanginya, selama akses internet bisa dijangkau. Dalam konteks inilah  tidak perlu heran jika tiba masa hari besar keagamaan semua bisa anggota masyarakat “menikmati” perayaan secara langsung lewat media informasi digital. Demikian juga dengan kedatangan Ramadhan saat, semua media dan stasiun siaran televisi ikut menyiarkan keramaian Ramadhan. Ramadhan bukan sebatas peristiwa ritual bagi ummat Islam, tetapi juga telah menjadi fenomena kultural masyarakat  umum.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran Ramadhan juga disambut dengan penuh kegembiraan, dengan beragam ekspresi budaya, mulai dari ritual megengan, sahur keliling, tadarus online, buka bersama, pasar ta’jil dan fenomena baru yaitu “war” Ta’jil yang sedang viral di media sosial.  Fenomena “war” ta’jil atau “perang” ta’jil sebenarnya fenomena biasa.  Muncul sebagai respon terhadap tradisi pasar ta’jil yang hadir setiap kali Ramadhan datang yang berhimpitan dengan tradisi ngabuburit atau menunggu waktu berbuka puasa.  Fenomena pasar ta’jil telah berkembang menjadi semacam aktivitas rekreatif kuliner di sore hari di bulan Ramadhan. Tentu saja ini sangat menarik bagi masyarakat dari beragam kalangan dan latar belakang agama. Begitu menariknya pasar ta’jil ini juga mengundang masyarakat dari  kalangan non muslim untuk “menikmatinya”. Meski mereka tidak ikut melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, namun  mereka juga ikut “bergembira” dan menyambut pasar ta’jil dengan sangat antusias, apalagi semenjak istilah “war” ta’jil  muncul.

Ramainya pasar ta’jil dari perspektif ekonomi kerakyatan memang sangat membantu para pedagang kecil dan pengusaha kecil menengah untuk bisa survive di masa Ramadhan. Mereka juga bisa mendapatkan tambahan keuntungan untuk digunakan  sebagai bentuk persiapan menghadapi lebaran.  Bahkan maraknya “dukungan” dari masyarakat non muslim dalam membeli jajanan ta’jil ini, semakin membuat para pedagang lebih bersemangat. Bukan hanya itu tidak sedikit pula yang kemudian mengabadikan aktivitas di pasar Ta’jil ini untuk diunggah di media sosial. Hal inilah yang menjadikan pasar Ta’jil menjadi viral dengan munculnya istilah “war” ta’jil di media sosial. Mereka merilis aktivitas di pasar Ta’jil tersebut  sebagai konten dalam platform media sosial seperti Tik tok, Instagram, FB dan sebagainya. Meskipun bersinggungan dengan isu keagamaan tapi fenomena ini lebih terlihat dan disikapi secara santai dan bahkan lebih dilihat sebagai bentuk aktivitas hiburan yang bisa “mendamaikan” ummat beragama di Indonesia yang sangat beragam.

Respon masyarakat “digital” terhadap dinamika budaya yang mengiringi datangnya bulan Ramadhan ini juga menjadi penanda meningkatnya “kedewasaan” masyarakat dalam berinteraksi dengan mereka yang berbeda agama di ruang digital. Status yang menghibur dan lucu, ditanggapi dengan komen-komen yang mencairkan kebekuan hubungan antar ummat Muslim dengan penganut agama yang berbeda.   Padahal banyak sekali gambar atau foto yang diedit dengan perangkat AI, yang kalau dihadirkan dalam realitas kehidupan di luar jaringan berpotensi memunculkan konflik. Namun demikian ada juga komen yang kurang mendukung fenomena “war” ta’jil karena dianggap sebagai bentuk “liberalisme” baru dalam ekspresi beragam masyarakat.

Oleh: Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.