Verifikasi Ajaran Sesat atas Nama Agama
Oleh
Sokhi Huda
(Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya)
Fenomena ajaran sesat yang mengatasnamakan agama, khususnya dalam konteks Islam di Indonesia, telah menjadi isu yang sangat problematik dalam beberapa tahun terakhir. Penyebarannya tidak hanya dilakukan secara fisik melalui pertemuan rahasia atau kelompok-kelompok kecil, tetapi juga telah merambah dunia digital, khususnya media sosial. Platform ini memungkinkan penyebaran ajaran yang menyesatkan lebih luas dan lebih cepat, sering kali tanpa ada kontrol atau verifikasi dari otoritas agama yang sah. Ironisnya, ajaran-ajaran ini justru menarik bagi individu yang memiliki literasi agama yang minim, sehingga mereka mudah terjerumus dalam janji-janji spiritual palsu yang sering kali menjanjikan kedekatan instan dengan Tuhan, bahkan dengan iming-iming jaminan keselamatan dan surga.
Kondisi ini semakin memburuk karena para penyebar ajaran sesat sering menggunakan retorika spiritual yang seolah-olah sejalan dengan ajaran agama yang sah. Namun di balik itu, mereka menyelipkan penyimpangan-penyimpangan yang berbahaya. Pemahaman normatif Islam yang jelas telah diselewengkan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang sering kali berujung pada eksploitasi baik secara finansial maupun mental terhadap para pengikutnya. Dampak dari ajaran sesat ini tidak hanya merusak pemahaman agama yang benar, tetapi juga menimbulkan perpecahan sosial, di mana para pengikut ajaran sesat ini cenderung bersikap eksklusif dan menutup diri dari ajaran-ajaran Islam yang sah.
Dalam konteks ini, verifikasi ajaran yang mengatasnamakan agama menjadi sangat urgen. Banyak dari ajaran-ajaran ini menempatkan diri sebagai jalan pintas untuk mencapai spiritualitas yang lebih tinggi, padahal sesungguhnya mereka menjerumuskan ke dalam jurang penyimpangan. Perlu adanya tindakan tegas dari otoritas agama dan pemerintah untuk memastikan bahwa ajaran-ajaran yang menyimpang ini tidak dibiarkan menyebar tanpa ada klarifikasi yang benar dari perspektif ajaran Islam yang sah. Verifikasi yang ketat terhadap ajaran-ajaran ini perlu dilakukan, agar umat tidak semakin tersesat dalam kebingungan dan pengikut ajaran sesat ini mau kembali ke ajaran yang benar.
Konteks Normatif Ajaran Islam
Dalam Islam, spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari syariat atau aturan-aturan hukum Islam. Islam memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana seorang Muslim harus mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah yang sah dan berdasarkan syariat, yang meliputi ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Spiritualitas tanpa syariat adalah salah satu ciri utama ajaran sesat yang sering muncul di Indonesia. Tokoh-tokoh yang memimpin kelompok sesat sering kali mengklaim telah mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi, bahkan mengaku menerima “wahyu baru” atau petunjuk langsung dari Tuhan, yang bertentangan dengan akidah Islam.
Salah satu contoh adalah kasus Lia Eden, yang pada akhir 1990-an mengaku sebagai perantara spiritual yang mendapatkan wahyu baru. Lia Eden, melalui kelompok Salamullah, mempromosikan ajaran yang memadukan berbagai agama, dengan dalih bahwa semua agama adalah benar. Ajaran ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa wahyu telah berakhir dengan risalah Nabi Muhammad SAW. Meskipun ajaran ini akhirnya dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lia Eden tetap memiliki pengikut yang terjebak dalam konsep spiritualitas yang keliru.
Islam menetapkan bahwa pengalaman spiritual harus selalu berada dalam batas-batas akidah yang benar. Pengalaman batin atau rasa kedekatan dengan Tuhan yang tidak sesuai dengan syariat dianggap sebagai penyimpangan. Pada kondisi inilah seorang pelaku atau tokoh spiritual berada pada “batas rawan spiritualitas.” Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk selalu merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman dari ulama yang berkompeten dalam verifikasi pengalaman spiritual tersebut.
Verifikasi Spiritualitas dalam Islam
Untuk menghindari terjebak dalam ajaran sesat, Islam memberikan pedoman yang jelas mengenai bagaimana umat bisa memverifikasi klaim-klaim spiritual. Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua sumber utama yang menjadi tolok ukur kebenaran dalam ajaran Islam. Setiap pengalaman spiritual atau pengajaran baru yang bertentangan dengan kedua sumber ini harus dicermati dan pada tingkat tertentu mungkin teridentifikasi sebagai kesesatan. Umat Islam tidak boleh menerima klaim spiritual begitu saja, terutama dari individu yang mengaku memiliki pengetahuan atau wahyu khusus yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang otoritatif.
Dalam beberapa kasus, ajaran-ajaran sesat di Indonesia telah menarik pengikut dengan cara-cara yang cerdik, menggunakan konsep taqlid buta atau pengikut yang memercayai ajaran tanpa kritik dan verifikasi. Contoh lain adalah kelompok Gafatar yang menggabungkan konsep spiritualitas dengan pendekatan ekonomi dan politik, yang tidak hanya menyesatkan secara akidah tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat.
Pengikut ajaran sesat biasanya diperdaya oleh pemimpin karismatik yang mengklaim memiliki kekuatan spiritual yang lebih tinggi. Para pemimpin ini sering kali menggunakan bahasa mistis dan simbol-simbol agama untuk mengukuhkan legitimasi mereka di mata pengikut. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk mengembangkan kemampuan kritis dalam penyikapan terhadap ajaran-ajaran baru, terutama yang mengaku menawarkan “jalan pintas” menuju kedekatan spiritual dan jaminan surga.
Dalam Islam, pengalaman spiritual harus diverifikasi berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, serta dipandu oleh syariat. Setiap klaim spiritual yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dapat dianggap sebagai penyimpangan. Dalam kasus Mama Ghufron dan Syekh Aswad, keduanya menggunakan klaim spiritualitas untuk menjustifikasi ajaran yang menyimpang dari syariat.
Mama Ghufron, pemimpin Tarekat Agung, mengklaim dirinya memiliki kemampuan khusus untuk menyembuhkan penyakit dan memberikan pencerahan spiritual langsung dari Tuhan. Akan tetapi klaim tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Ia memanfaatkan ketidakpahaman pengikutnya dengan mengabaikan prinsip-prinsip syariat yang harus menjadi landasan setiap pengalaman spiritual.
Serupa dengan itu, Syekh Aswad juga memanfaatkan pengikutnya dengan menyatakan bahwa dirinya memiliki akses langsung ke Tuhan di luar ajaran yang tertulis, mengklaim kekuatan spiritual yang tidak terjangkau oleh umat biasa. Namun, seperti halnya Mama Ghufron, ajaran ini tidak memiliki verifikasi dari sumber otoritatif Islam dan hanya menjadi bentuk penyelewengan dari ajaran yang sebenarnya.
Dalam Islam, verifikasi spiritualitas tidak hanya berdasarkan pengalaman individu atau pengakuan seseorang tentang kedekatan mereka dengan Tuhan. Setiap bentuk spiritualitas harus dipastikan melalui prinsip-prinsip syariat yang jelas dan tidak boleh melenceng dari akidah. Kasus ajaran sesat Mama Ghufron dan Syekh Aswad menegaskan pentingnya melakukan verifikasi yang ketat terhadap klaim spiritual untuk menghindari penyimpangan yang berbahaya.
Konteks Sosio-Kultural
Indonesia memiliki keragaman budaya yang luar biasa, dan dalam banyak hal, mistisisme lokal serta tradisi nenek moyang masih hidup berdampingan dengan agama Islam. Dalam beberapa kasus, tradisi animisme dan dinamisme yang diwarisi dari leluhur bercampur dengan praktik-praktik Islam, menciptakan lingkungan yang rawan bagi berkembangnya ajaran sesat.
Di beberapa daerah di Indonesia, fenomena seperti kejawen (tradisi mistik Jawa) masih kuat mempengaruhi cara masyarakat memahami agama. Beberapa kelompok sesat di Indonesia menggunakan elemen-elemen mistis dari tradisi kejawen atau praktik spiritual lokal lainnya untuk menarik pengikut. Dengan cara menggabungkan simbol-simbol Islam dengan mistisisme lokal, ajaran tersebut sering kali membingungkan masyarakat yang tidak memiliki dasar pemahaman agama yang kuat.
Selain itu, minimnya akses terhadap pendidikan agama formal di beberapa wilayah pedesaan juga berkontribusi terhadap tumbuh suburnya ajaran sesat. Pengikut ajaran sesat cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang kurang memahami ajaran Islam secara mendalam, sehingga mereka mudah terpikat oleh janji-janji spiritual yang disampaikan oleh pemimpin kelompok tersebut.
Konteks Sosio-Religius
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani ajaran sesat di era digital saat ini adalah penyebarannya melalui media sosial. Banyak kelompok sesat yang memanfaatkan platform-platform digital untuk menarik pengikut baru, terutama di kalangan anak muda. Media sosial memungkinkan penyebaran ajaran sesat dengan cepat dan tanpa pengawasan yang memadai. Ini terlihat dari kasus seperti Pesantren Al-Zaytun, yang dipimpin oleh Panji Gumilang. Meskipun pesantren ini sudah lama beroperasi, baru pada tahun 2023 gerakan mereka menjadi sorotan setelah muncul berbagai tuduhan terkait penyimpangan ajaran.
Pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran penting dalam identifikasi dan penindakan terhadap kelompok-kelompok yang menyebarkan ajaran sesat. MUI secara berkala mengeluarkan fatwa yang mengidentifikasi kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, seperti pada kasus Lia Eden, Gafatar, dan Al-Zaytun. Namun, upaya ini tidak selalu efektif, terutama ketika kelompok-kelompok tersebut beroperasi secara sembunyi-sembunyi atau bergerak di bawah tanah setelah dinyatakan sesat.
Pendekatan hukum terhadap kelompok sesat juga sering kali lamban. Meskipun beberapa tokoh kelompok sesat telah ditangkap dan diproses secara hukum, pengikut mereka kerap kali terus melanjutkan ajaran tersebut secara sembunyi-sembunyi. Perlu kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah, ulama, dan masyarakat dalam menangani fenomena ini.
Pentingnya Pendidikan dan Literasi Agama
Fenomena ajaran sesat yang mengatasnamakan spiritualitas di Indonesia adalah masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius. Batas rawan spiritualitas muncul ketika pengalaman spiritual yang sehat dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dari akidah dan syariat Islam. Dalam usaha menghadapi tantangan ini, pendidikan agama yang kuat dan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam adalah kunci utama untuk melindungi umat dari pengaruh ajaran sesat.
Pemerintah, MUI, ulama, dan lembaga pendidikan agama memiliki peran penting dalam pemberian literasi agama yang benar kepada masyarakat. Di era media sosial, penting juga untuk mengawasi dan membatasi penyebaran ajaran sesat melalui platform digital. Umat Islam harus selalu waspada dan melakukan verifikasi terhadap setiap klaim spiritualitas yang muncul sehingga terhindar dari jeratan kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam.