Articles

Muchammad Helmi Umam

Geger Nahdlatul Ulama (NU) di setiap jelang Pemilu sepertinya terjadi ajeg. Inilah NU, sekecil apapun yang terjadi di dalamnya, akan berpengaruh ke stabilitas kebangsaan, apalagi ini soal politik. Hari-hari ini, masyarakat menyaksikan NU dicurigai diseret-seret ke pusaran pemenangan Capres-Cawapres. Bahkan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat di Harlah NU Ke-101 Yogyakarta memperingatkan, ‘Urusannya NU itu memperbaiki kinerja memenangkan Indonesia, bukan memenangkan Capres’.

Sejatinya, gejolak NU seperti ini berlangsung juga di musim-musim Pemilu sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari kultur dan karakter internal NU itu sendiri. Sejarah NU menunjukkan perkembangan organisasi ini dari masa pergerakan kemerdekaan hingga saat ini, melibatkan banyak faktor penentu, internal maupun eksternal.

Formasi Politik Kiai dan Pesantren

Selain bercorak Islam Nusantara, secara internal NU dibangun oleh pola kepemimpinan Kiai. Pola ini menempatkan kekuatan tokoh sebagai penggerak organisasi. Kepemimpinan individu berpengaruh sangat vital dalam forum tertinggi organisasi, seperti dalam Muktamar, termasuk dalam praktik politik.

Pola kepempimpinan Kiai menempel dengan sistem pendidikan berbasis pesantren, di mana formasi Kiai-Santri merupakan struktur pokoknya. Sistem inilah yang secara permanen mengisi hampir seluruh relasi dan arah gerak organisasi, yang menempatkan Kiai tetap sebagai sentra kekuatan. Termasuk dalam hal politik, NU tentu akan tetap bergerak dalam irama relasi Kiai-Santri.

Godaan Ekonomi dan Politik Kekuasaan

NU tidak kebas dari stimulasi luar seperti ideologi trans-nasional, godaan ekonomi, serta godaan politik kekuasaan. Terutama pada dua stimulasi terakhir, daya tahan NU biasanya rentan. Status keberdayaan ekonomi nahdliyin yang masih di kelas menengah atau menengah ke bawah selalu menjadi pintu masuk bagi kekuatan ekonomi dari luar. Sedikit saja lengah, kekuatan luar ini akan mudah menggoyang metabolisme internal. Beberapa bukti menunjukkan betapa tidak sulitnya kekuatan ekonomi luar masuk ke struktur NU, bahkan di struktur elit.

Godaan politik kekuasaan sejatinya tidak pernah libur merundung NU. Aset volume elektoral yang sangat tinggi dengan jumlah nahdliyin sangat besar menjadikan anugerah bagi NU sekaligus kutukan. Mulai dari pemerintah, parpol, hingga unsur asing tertarik mendekati NU berharap mendapat kekuatannya. Padahal di sisi lain, landasan poilitik NU dengan memilih tidak berpolitik telah menjadi semacam ‘jalan ninjanya’. Komitmen tidak berpolitik praktis ini pada akhirnya akan diuji oleh kesungguhan para tokoh NU menahan diri mengabaikan godaan.

Ketokohan Kuat, Sistem Lemah

Dalam konteks ini, diakui atau tidak, di dalam NU lebih banyak ketokohan yang kuat dibanding sistem yang kuat. Penegakkan khittah politik NU misalnya, terbukti tetap keteteran membendung hasrat politik praktis tokoh-tokohnya. Kepemimpinan kiai yang kuat dan karismatik seringkali menjadi kekuatan tandingan bagi kebijakan organisasi yang seharusnya berfungsi secara otoritatif. Fakta berulang ini memicu turbulensi kelembagaan secara berulang karena ada ketidakseimbangan antara kekuatan individu dan sistem kebijakan. Kekuatan kiai yang lebih kuat dari sistem ini pada beberapa kasus memicu konfrontasi ketokohan di internal NU.

Kekuatan ketokohan pucuk pimpinan NU, dengan demikian harus lebih tegas menegakkan disiplin organisasi. Bukan justru melakukan pelanggaran, pimpinan harus menjadi acuan dalam hal ketaatan pada kebijakan. Tentu akan muncul kekacauan baru ketika di akar rumput disapih tidak berpolitik praktis namun di tingkat elit justru mempertontonkan dugaan keterlibatan. Fokus perbaikan kinerja organisasi seperti penegakkan kemandirian, independensi, transparansi, akuntabilitas, dan penguatan sumber daya anggota bisa menjadi bentuk partisipasi politik lebih edukatif sekaligus pelipur diri dari godaan dukung-mendukung.

Pergerakan Politik Pasca-Pemilu

Organisasi sebesar NU sebenarnya tidak perlu khawatir tidak dilibatkan dalam politik kebangsaan. NU akan tetap menjadi infrastruktur politik terpenting bagi siapapun yang memerintah. Dari sini terbangun beberapa alasan, mengapa NU tidak perlu ketar-ketir dan tergoda dalam politik elektoral. Pertama, sebagai organisasi terbesar, NU memiliki pengaruh paling kuat dibanding organisasi sejenis dalam masyarakat dan perpolitikan Indonesia. Pengaruh ini membuat NU tetap diperhitungkan dalam politik kebangsaan. Kedua, NU memiliki jaringan yang luas, termasuk melalui partisipasi dalam politik non-elektoral dan dukungan terhadap berbagai kebijakan politik. Ketiga, NU juga memiliki sejarah panjang dalam berkontribusi pada pembangunan negara dan masyarakat, sehingga tetap investasi sejarah yang selalu dihargai.

Sebaliknya, risiko akibat politik ‘dukung-mendukung’ akan dihadapi NU jika disiplin netralitas tidak ditegakkan. Di antara risiko ini adalah, jika dukungan NU meleset dan kalah, maka NU akan menanggung konsekuensinya dan berpotensi mengalami kekerasan politik dalam pelbagai bentuk. Sebagai pihak yang kalah, NU juga akan kesulitan menyalurkan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang berkualitas baik. Belum lagi, kecenderungan pihak kalah adalah menjadi oposisi buta yang terkadang tidak berimbang. Sebaliknya, jika arah dukungan berhasil menjadi menang, NU tetap akan terkena bias kekuasaan dan kesulitan melakukan kontrol terhadap pemerintah. Dua peran ganda NU sebagai pendukung sekaligus pengontrol pemerintah akan lebih mudah diamalkan ketika gerakan politik NU dilancarkan setelah pemilu. Kepada siapapun kandidat yang nantinya keluar sebagai pemenang, NU akan dianggap mitra pemerintah yang dibutuhkan dan disegani. [Muchammad Helmi Umam, S.Ag., M.Hum. | Dosen, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]