Column

Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara/Sekretaris Komisi Etis Senat UIN Sunan Ampel Surabaya

Hari-hari ini kita disuguhkan 2 (dua) isu besar dalam pemerintahan negara: Pertama, isu ijazah palsu Presiden RI ke-7 hingga saat ini belum kelar-kelar. Kedua, upaya pelengseran wakil presiden terpilih 2024-2029 dalam masa jabatan. Kurang tahu bagaimana asbabul wurud-nya terhadap dua perasalahan tersebut, tiba-tiba dua isu tersebut menggelinding begitu saja. Apakah karena faktor politik, sentimen pribadi, dan/atau penyebab lain. Tanpa bermaksud menjustifikasi, yang jelas bisa jadi semua saling terkait. Pertama, dari segi politik praktis, lawan-lawan politik tidak menutup kemungkinan selalu mencari celah bagaimana dapat menjatuhkan rival – dan ini sudah umum dalam dunia politik – bukan sekedar asumsi. Dalam dunia politik hal ini dikenal dengan teori “menghalalkan segala cara” yaitu konsep yang dikaitkan dengan pemikiran Niccolò Machiavelli dalam bukunya “The Prince” (Sang Pangeran). Konsep ini berlaku umum bagi siapa saja yang terjun ke dunia politik (kekuasaan).

Kedua, sentimen pribadi. Bisa juga ini terjadi, karena mungkin ada pribadi-pribadi yang merasa dirugikan. Entah dari segi apa. May be Yess , May be No!. Faktor menimbang diri – ‘merasa lebih berkompeten’. Teori politik sentimen pribadi, atau yang sering diartikan sebagai “pribadi itu politis,” adalah konsep yang menekankan bahwa isu-isu pribadi, seperti diskriminasi atau ketidakadilan dalam hubungan, juga merupakan bagian dari struktur politik yang lebih luas. Konsep ini, yang dipopulerkan oleh gerakan feminis gelombang kedua yang muncul di akhir 1960-an dan 1970-an oleh Betty Friedan, Simone de Beauvoir, Gloria Steinem, dan Alice Paul. Teori ini menekankan, bahwa pengalaman pribadi dapat menjadi titik awal untuk memahami dan mengubah sistem politik

Ketiga, penyebab lain, mungkin ingin cari sensasi, numpang tenar, nggak tahulah karena hati manusia susah ditebak. Ibarat pepatah dalamnya laut dapat diselami, dalamnya hati tiada yang tahu selain dirinya dan Tuhannya. Kita tentu masih kenthal dengan istilah ‘Mendadak Dangdut”, film produksi SinemArt tahun 2006, atau “Mendadak Tenar Sungguh di Luar Nalar” di FTVSCTV. Hanya dengan numpang, deretan nama yang sebelumnya kita semua tidak tahu-menau dengan tiba-tiba begitu terkenal (tenar). Dalam duni politik hal ini lebih dikenal dengan istilah “sensasi politik”.

Lepas dari ketiga aspek tersebut, yang jelas ada upaya untuk pelenggseran wakil Presiden dalam masa jabatan. Isu itu mulai lahir dengan adanya ‘petisi para purnawirawan TNI’ yang mengatasnamakan Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam pernyataan sikapnya ditandatangani oleh 103 Jenderal, 73 Laksamana, 65 Marsekal, dan 91 Kolonel purnawirawan TNI) di antaranya Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan pada Februari 2025.

Pada konteks ini penulis, tidak akan mengkaji dari aspek politik tetapi dari sudut Hukum Ketatanegaraan kita sebagaimana termaktub dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (baca, UUD NRI 1945).

Mekanisme Pemakzulan dalam Sistem Ketatanegaraan

Tuntutan Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia senyatanya menuai pro-kontra baik dilingkup TNI, Pakar Politik, maupun masyarakat. Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia meminta pergantian Wakil Presiden kepada MPR, karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dengan kata lain Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia  berpandangan, Gibran tidak layak menjabat karena proses pencalonannya cacat etik serta merusak integritas Konstitusi.

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, yang menjadi pertanyaan adalah: Pertama, apakah tuntutan Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia memilik dasar konstitusional” Kedua, apakah MPR memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketiga, dapatkah wakil Presiden dilakukan pemberhentian dalam masa jabatannya. Keempat, apakah keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK, dan cacat etik sehingga Wakil Presiden tidak layak menjabat?

Maka berdasarkan permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dianalisis. Pertama, tuntutan Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia adalah sesuatu yang sah, dan itu tidak saja bagi Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, tapi berlaku untuk semua warga negara. Dan hal ini dijamin oleh konstitusi. Menurut Pasal 28 UUDNRI 1945, bahwa setiap warga negara memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat yaitu mengeluarkan pikiran dan tulisan.

Kedua, pelengseran Wakil Presiden tidak serta merta dapat dilakukan oleh MPR. Apalagi sejak Indonesia menetapkan diri sebagai Pemerintahan Presidensial yang mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUDNRI 1945 telah membatasi tugas dan wewenang MPR. MPR hanya memiliki kewenangan dalam hal: (1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; (2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan (3) hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Menurut sistem ini MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi, dan mekanisme pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi kepada MPR tetapi langsung kepada rakyat, sehingga rakyat yang akan menilai menerima atau tidak pertanggungjawaban tersebut. Artinya, MPR saat ini tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pelengseran baik Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana dilakukan pada masa Presiden Soekarno, dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Ketiga, konstitusi memberikan mekanisme pelengseran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya melalui proses pemakzulan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUDNRI 1945. Pasal 7B UUD 1945 memberikan mekanisme yang terstruktur untuk menanggapi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, dengan melibatkan lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi sebelum usulan pemberhentian diajukan ke MPR. Proses ini dimulai dengan: (1) usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar pemberhentian meliputi pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. (2) Pengajuan permintaan DPR ke MK harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR; (3) Jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). (4) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyeenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (5) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Keempat, terkait dengan Putusan MK terhadap Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap cacat etik sehingga Wakil Presiden tidak layak menjabat, dapat dialkukan analisis sebagai berikut. Senyatanya memang Putusan MK terhadap Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tergolong cacat etik. Memang hal demikian diakui juga oleh MKMK sehingga berdasarkan Putusan No. 02/MKMK/L/11/2023 MKMK menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK dan tidak berhak mencalonkan diri sebagai pimpinan MK sampai masa jabatan berakhir. Permasalahannya apakah dengan adanya cacat etik tersebut berakibat ketidaklayakan Wakil Presiden terpilih? Ini menjadi dua hal yang berbeda. Cacat etik tersebut terkait dengan keberadaan Ketua MK yang tergolong conflict of interest, bukan pada keseluruhan hakim. Dan putusan MK pun bersifat final and binding (putusan tersebut harus dilaksanakan) yang sudah dilaksanakan oleh UU Pemilu maupun Putusan KPU. Selain itu Putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yaitu putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Ketiga, Putusan MK juga memiliki sifat res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus tetap dianggap benar). Jadi meskipun terjadi judicial corruption, tindak pidana atau pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim, tidak menjadikan putusan MK tidak sah atau salah. Putusan MK tetap dianggap benar dan sah.

Itulah kenyataan hukum ketatanegaraan yang harus dihormati, dan dijunjung tinggi oleh semua masyarakat Indonesia. Semua harus menjunjung supremasi hukum dan mengesampingkan politik, dan/atau kepentingan yang lain. Kalau bukan kita yang mengormati dan menjunjung tinggi hukum, lalu siapa lagi yang akan melakukannya.

Menengok Kedudukan Wakil Presiden dan Ketidakseimbangan Tugas Kewenangan dengan Presiden

Perubahan UUD 1945 telah menempatkan bahwa antara Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi (dwi tunggal) – maka kedudukan Wakil Presiden juga sama dengan kedudukan Presiden, yaitu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu mereka berdua dipilih dalam satu paket. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6A UUD 1945 setelah perubahan, “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sebagaimana Presiden, maka kedudukan Wakil Presiden adalah kuat. Artinya kedudukan Wakil Presidenpun tidak dapat diganggu gigat oleh lembaga negara lain, termasuk DPR. Meski demikian secara fungsi dan wewenangnya memiliki perbedaan, karena keberadaannya baru diakui ketika Presiden dalam keadaan berhalangan.

Meski demikian pada kenyataan, peran dan kedudukan Wakil Presiden dalam hal kedudukan yang mandiri Wakil Presiden sebagai satu institusi sendiri, dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia secara konstitusional baik sebelum maupun setelah perubahan UUD 1945 dapat dikatakan belum mendapat kejelasan.32 Menurut Adi Sumardiman, dkk., setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden. Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai Pembantu Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang kedua); Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden; dan Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden. Karena itu, posisi Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden menjadi kurang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan.

Penyebab kekurangjelasan peran dan kedudukan Wakil Presiden. Pertama, dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden.34 Meski demikian pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan. Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.

Kenyataan-kenyataan demikian menjadikan kedudukan Wakil Presiden dalam suatu sistem ketatanegaraan menjadi tawar antara ada dan ketiadaannya. Sehingga sering dikatakan bahwa kedudukan Wakil Presiden ibarat sebagai “ban serep”. Dengan demikian harus mendapat perhatian khusus dalam Hukum Tata Negara, terutama dalam pengkajian UUD 1945 dan regulasi lainnya. Artinya, kedudukan, tugas dan wewenang Wakil Presiden ini harus kembali menjadi agenda dalam perubahan UUD 1945 berikutnya agar benar-benar terjadi keseimbangan yang proporsional antara tugas dan wewenang Presiden dan Wakil Presiden. Atau setidaknya ada pembagian yang jelas antara masing masing tugas dan wewenang tersebut.

Sekedar perbandingan, peran wakil presiden tidak hanya bersiaga untuk menunggu tugas. Wakil presiden adalah orang kepercayaan dan penasihat presiden, yang meyakinkan Kongres dan masyarakat AS, dan seringkali menjadi utusan misi luar negeri. Misalnya, saat kepresidenan George W. Bush, wapres Dick Cheney membantu merumuskan respons militer terhadap serangan 11 September. Saat kepresidenan Bill Clinton, wapres Al Gore menyoroti masalah lingkungan.

Berdasarkan Konstitusi AS, wakil presiden bertugas: (1) sebagai presiden Senat (Pasal I, Bagian 3, Klausul 4), meskipun tugas ini lebih bersifat seremonial. Ia memberikan suara bila terjadi pemilihan yang berakhir seri di dalam Senat yang beranggotakan 100 orang tersebut; (2) Memimpin persidangan pemakzulanpejabat federal (posisi sebagai Presiden Senat); dan (3) Memimpin penghitungan suara elektoral (Amandemen Kedua Belas).

Saat kepresidenan George W. Bush, wapres Dick Cheney membantu merumuskan respons militer terhadap serangan 11 September. Saat kepresidenan Bill Clinton, wapres Al Gore menyoroti masalah lingkungan. Belajar dari Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca – bagaimana patih Gajah Mada selaku wakil Raja Hayam Wuruk diberikan kewenangan dalam hal politik luar negeri untuk melakukan kerjasama dengan kerajaan tetangga/mitra (Mitreka Satata) dan/atau memperluas wilayah kerajaan Majapahit sebagaimana sumpah Amukti Palapa.  Hal demikian bisa dilakukan untuk ketatanegaraan Indonesia. Artinya Wakil Presiden diberikan porsi tersendiri dan mandiri dari sekian banyak tugas dan kewenangan Presiden. Dan ini secara atribusi hanya dapat dilakukan saat dilakukan amandemen ke-5 UUDNRI 1945. Dan/atau secara mandat juga delegasi, karena Wakil Presiden muda beliau – maka Presiden dapat mendelegasikan/mandat Wakil Presiden dengan tugas daalam Pembangunan Generasi Muda sebagai modal/bonus demografis untuk berinovasi, berkreasi dan berekspresi di semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak terjadi ‘seolah-olah’ Wakil Presiden tidak bekerja apa-apa selama ada Presiden. Dalam hal ini bukan kesalahan Wakil Presiden secara personal, tapi karena memang ada celah dalam konstitusi (regulasi) kita – yaitu gap yang terlalu lebar antara kewenangan Presiden dan Wakil Presiden dan/atau belum ada pembagian tugas kewenangan yang jelas antara Presiden dan Wakil Presiden. Insyaallah.