Articles

“Niat betul kalo manas-manasin orang,” ujarnya sambil sedikit terkekeh. Penulis yang tengah duduk di sampingnya mendengar itu jadi terpancing ingin tahu, “Siapa?” Diapun lalu menunjukkan sebuah laman IG story di hapenya. Disebutkan jika postingan itu dari seseorang yang dulu pernah jadi mahasiswanya. Diceritakan kalo dia dinikahi oleh anak pengusaha otobus yang terkenal tajir. Di foto yang dibagikan ada caption kalo mobil HR-V baru yang ditunjukkan adalah hadiah ulang tahun pernikahan mereka. Ceritanya, mahasiswanya ini pernah hampir menikah, tetapi gagal karena pihak lelakinya tergoda perempuan lain. Penulis melihat cerah dan kegembiraan di wajahnya ketika ia bercerita. “Ini kalo mantannya melihat gimana?” Masih dengan tawa kecilnya. Penulis yang mulai memahami konteksnya jadi teringat pada kisah hadiah atau pemberian untuk 3 (tiga) Siti. Tiga perempuan yang pernah membersamai 3 (tiga) tokoh nasional asal Sumatra. Sedikit contoh nyata yang mungkin membenarkan ungkapan “behind every great man there’s a great woman.”

Pertama, Siti Halimah Kartawijaya. Dia adalah istri dari Mochtar Lubis. Sosok jurnalis yang tanpa tedeng aling-aling pernah menyebutkan sifat-sifat pokok manusia Indonesia, yaitu: munafik/hipokrit, enggan/segan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah wataknya. Daftar yang dia ringkas di ujung upayanya menjawabi pertanyaan: Siapa itu manusia Indonesia? Apakah lelakinya satria sejati, paduan Arjuna dan Gatotkaca? Apakah perempuannya begitu keren dan secantik Srikandi? Mochtar Lubis berkesah, “Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” (Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, 2013).

Di malam pernikahannya yang ke-20, Mochtar Lubis yang menikah pada 2 Juli 1945 menulis sebuah sajak:

di kelam angkasa
menyala terang
sebuah bintang
kasihmu
lebih cemerlang
dari semua bintang

(1 Juli 1965)

Bagi seseorang yang hidupnya tiap hari bergelut dengan kata-kata, bait-bait puisi adalah permata romansa. Entah apa yang dirasa Siti Halimah Kartawijaya ketika membaca hadiah pernikahan dari suaminya. Sebagai perempuan yang telah membersamai hidup lelaki yang pernah merasakan dinginnya terali penjara karena kritisismenya, sebait puisi mungkin cukuplah menjadi jentera yang memompa hatinya tuk bersenandung bahagia. Bahwa dirinya masihlah satu-satunya terang, bintang, dan kekasih terindah bagi suaminya.

Kedua, Siti Rahmiati atau nama aslinya Rahmi Rachim. Dia adalah istri Mohammad Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini. Dialah yang membersamai 34 tahun akhir kehidupan lelaki yang baru memutuskan menikah di usia 43 tahun setelah bisa menyaksikan bangsanya merdeka. Bagi seorang yang hidupnya tenggelam di dunia fikiran dan gagasan, mahar pernikahan terindah yang bisa ia berikan kepada perempuannya itu adalah sebuah buku. Judulnya Alam Pikiran Yunani, sebuah karya yang ia mulai tulis ketika masih dalam masa pembuangan di Boven Digul.

Sebagai lelaki yang pemalu dan hidup dalam kesederhanaan. Kepada gadis 19 tahun yang baru dikenalnya dan akan menemani perjalanan hidupnya dan perjuangannya untuk negeri yang menjadi cinta pertamanya, mungkin buku itulah wasilah terbaiknya. Melalui goresan tinta yang tertuang di bukunya, gadis jelita itu akan semakin mengenal siapa suaminya. Sebagaimana ungkapan, “If you want to know someone, read their book”. Dan tidak kaleng-kaleng, bukunya buku filsafat. Ajakan untuk tidak sekedar memahami realitas permukaan, tetapi menyelam hingga menyentuh dasar di kedalaman. Ajakan untuk tidak hidup dengan kacamata yang sempit, tetapi terbang di keluasan hingga menjenguk garis-garis batas cakrawala wacana di penjuru dunia. Karena bagi beliau, di sanalah, ketika seseorang menemukan simpul-simpul kebenaran, usai mengenal dan mengalami keluasan serta kedalaman, dia akan terbebaskan, dia akan merdeka. “Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan hidup sehari-hari,” tulis Bung Hatta (Alam Pikiran Yunani, 1986).

Ketiga, Siti Raham. Dia adalah istri dari ulama yang pujangga Buya Hamka, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dialah perempuan yang mampu meredam gelora lelaki yang pernah mengaku mudah jatuh hati pada keindahan di waktu mudanya. Dulu sebelum menikah, Hamka muda pernah tergoda dengan gadis cantik yang sempat mengusik hatinya. Beliau sebut dia, “Pujaan di Padang Panjang.” Tetapi tatkala Hamka muda berlayar menuju Mekkah, janda muda dari Cianjur langsung melalaikannya dari gadis elok di kampungnya itu. Namanya perempuan Sunda ini, Kulsum. Sosok yang beliau gambarkan mampu membuat lidahnya terasa kelu ketika berada di hadapannya. Kecenderungan ‘mudah jatuh cinta’ semacam itu ternyata pada akhirnya kikis tatkala beliau memutuskan menikahi Siti Raham. Gadis 15 tahun ini sanggup mengubah lelaki 21 tahun itu tumbuh menjadi dewasa. Bahkan sesudahnya, ketika tak sekali dua godaan hadir menawari Hamka untuk berpoligami, beliau terbukti kukuh dengan kesetiaannya (baca: Yusuf Maulana, 2018).

Siti Raham inilah perempuan yang turut menjadi kekuatan Buya Hamka dalam menjalani kehidupannya yang sering tidak mudah. Hingga ketika beliau yang kala itu telah berusia 58 tahun harus mendekam di penjara karena fitnah dengan tanpa ada proses persidangan sebelumnya, perempuan ini pula yang menyemangatinya untuk tak menyerah dan tak pernah putus asa. Perempuan yang ketika menyambut beliau dengan kebahagiaan ketika keluar dari penjara, menunjukkan tafsir Al-Azhar yang beliau tulis dalam bentuk telah terjilid. Seolah menunjukkan, bahwa dengan tanpa kehadiran suaminya secara fisik di sisinya, goresan tangan tulisan lelaki itulah hadiah terindah yang selalu menemaninya untuk tetap bisa sama-sama kuat menghadapi ujian hidup. Inilah dia, perempuan yang Buya Hamka kasihi dengan cinta yang melampaui hanya sekedar keindahan lahiriah. Kata beliau, “Kalau cinta itu hanya pada kecantikan, maka kecantikan seorang perempuan kelak akan dikalahkan pula oleh kecantikan yang lain” (Tenggelamnya Kapal van der Wijck, 1976).

Bercermin pada kisah tiga pasangan suami istri tersebut. Tentu tidak ada laki-laki waras yang tidak ingin membahagiakan istrinya. Jikalau mampu, tentu tak hanya sebait puisi, tetapi hadiahnya mungkin seperti yang bisa diberikan suami mantan mahasiswi itu berupa mobil HR-V. Jikalau mampu, tentu tak hanya tiga jilid buku filsafat, tetapi hadiahnya mungkin tiket perjalanan wisata keliling dunia. Jikalau mampu, tentu tak hanya 9 jilid kitab tafsir, tetapi mungkin hadiahnya adalah istana berikut pelayan-pelayannya. Tetapi melalui 3 (tiga) Siti, bisa jadi, kebahagiaan terindah yang menjadikan mereka merasa menjadi perempuan paling dicintai seantero semesta, adalah kalimat tak terucap dari lelaki yang Tuhan telah takdirkan menjadi suaminya. Kalimat yang sembunyi di balik puisi. Kalimat yang sembunyi di balik buku filsafat. Kalimat yang sembunyi di balik kitab tafsir. Kalimat yang terlampau malu untuk diucapkan secara langsung: “Istriku. Maafkan aku, belum bisa membahagiakanmu dengan hadiah yang semestinya. Tapi setidaknya, di hari bahagia ini, kuingin engkau tahu bahwa aku adalah lelaki yang mencintaimu.”

Di kala kampus tampak lengang, karena hari ini semua perkuliahan diwajibkan dilakukan secara daring, Tol Gunung Anyar masih terlihat ramai dengan kendaraan lalu lalang. Penulis masih membayangkan bagaimana lelaki-lelaki hebat itu ketika memandang wajah perempuan kekasihnya. Saat di hari istimewa pernikahan mereka dan belum ada hadiah kemewahan yang mampu mereka berikan. Sepertinya, di saat seperti itu, ucapan Leo Tolstoy bisa menjadi semacam penghiburan, “Love at the end will give a space for forgiveness, and also should be responsible with the commitment” (Anna Karenina, 1965).

____
Ditulis oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.