Column

SOSIOLOGI PUASA

Muhammad Shodiq
(Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya yang lebih populer dikenal Wak Kaji Shodiq dan Pemilik Akun Youtube: Wak Kaji Shodiq TV, Instagram: @wakkajishodiq, TikTok:@wakkajishodiq dan SnackVideo:@wakkajishodiq)

Tidak terasa kita dipertemukan kembali dengan Bulan Ramadhan 1445 H /2024 M di mana Puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah penting dalam agama Islam yang diwajibkan bagi umat Muslim. Puasa Ramadhan tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga memiliki Dimensi Sosial yang sangat penting bagi umat Muslim.

Ketika puasa hanya dimaknai ritual lahiriah rutin semata, maka pembahasannya akan selesai manakala pengertian puasa didefinisikan secara umum yakni bahwa puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa, tidak lebih.

Tujuan akhir setiap menjalankan ibadah termasuk puasa Ramadhan adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Berupaya  agar selama dan setelah menjalankan ibadah berada pada posisi terjaga dari perbutan yang dilarang oleh syariat, dan senantiasa dapat mewujudkan sikap dan perilaku sesuai dengan kaidah islamiyah. Ini sesungguhnya yang  diharapkan  sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an,  bahwa  diwajibkan ibadah puasa  itu pada  akhirnya  agar dapat mencapai derajat taqwa yang benar-benar bertaqwa (QS. Al-Baqarah:183). Ini dimaksudkan ibadah puasa bisa menjadi media   untuk  membentuk karakter seseorang baik sikap individu maupun sosial.

Emile Durkheim, yang dikenal dengan Bapak Sosiologi Modern lahir di Epinal Perancis pada 15 April 1858 mengatakan bahwa solidaritas sosial adalah perekat yang menyatukan masyarakat. Ia mengidentifikasi dua jenis solidaritas sosial: solidaritas mekanis dan solidaritas organik. Solidaritas mekanis didasarkan pada kepercayaan, nilai, dan tradisi bersama, sedangkan solidaritas organik didasarkan pada rasa saling ketergantungan dalam masyarakat modern.

Dalam konteks puasa Ramadhan, kita bisa melihat bahwa praktik tersebut sebagai ekspresi solidaritas mekanis umat Islam. Kaum Muslimin di seluruh dunia sama-sama memiliki keyakinan akan pentingnya puasa selama Ramadhan, dan keyakinan bersama ini menciptakan rasa solidaritas dan tujuan bersama. Dengan berpartisipasi dalam ibadah puasa di Bulan Ramadhan, umat Islam menegaskan identitas kolektif mereka dan rasa memiliki sesama anggota komunitas Muslim.

Disamping itu, Durkheim juga mengatakan bahwa ritual itu penting sekali. Ibadah atau ritual memainkan peran penting dalam menciptakan dan memperkuat solidaritas sosial tadi. Ritual dilihat sebagai tindakan simbolis yang mencerminkan dan memperkuat nilai dan kepercayaan bersama. Apalagi praktik ibadah yang dilakukan bersama-sama dapat menghadirkan rasa identitas kolektif dan memberi individu rasa memiliki.

Dalam konteks puasa umat Islam Indonesia, kita melihat praktik berbuka puasa sebagai ritual yang mempererat solidaritas sosial itu. Dengan berbuka puasa bersama, umat Islam menegaskan identitas kolektif mereka dan rasa memiliki sebagai sesama bagian dari komunitas Muslim. Buka puasa bersama ini juga menciptakan rasa hubungan emosional dan memberi individu rasa senang dan hormat kepada sesuatu yang sakral.

Sebagaimana yang dikatakan Durkheim, ritual dapat menghadirkan perasaan emosional yang mendalam pada individu. Dengan berpartisipasi dalam ritual, seorang individu mengalami rasa kagum terhadap yang suci. Pengalaman emosional seperti ini pada gilirannya akan memperkuat komitmen mereka terhadap nilai dan keyakinan bersama, menciptakan rasa kewajiban dan kewajiban moral.

Dilihat dari berbagai aspeknya, ibadah puasa selama Ramadhan merupakan praktik yang tidak mudah, dan itu membutuhkan disiplin diri dan komitmen yang signifikan. Dengan berpartisipasi dalam praktik ini, individu kemudian terdorong untuk memperkuat komitmen mereka terhadap nilai dan kepercayaan yang dianut bersama.

Maka sekecil apapun tindakan/perbuatan kita akan berakibat makro terhadap kondisi orang (masyarakat) sekitar kita. Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan untuk semua mukmin. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa)

Kata “alaikum” di atas (untuk kalian semua) adalah terdiri dari saya, kamu dan kita.  Dari ayat ini faktor individu (person/saya) dengan sasaran internal psikologis individu, kamu sebagai sasaran obyek  “dakwa kepedulian” terhadap orang yang paling dekat (muqorrobin kita; keluarga, teman dekat) dan kita adalah orang (obyek) yang terjangkau dengan kita, yang kita kenal atau tidak dengan sasaran psikologis sosial atau yang kita kenal dengan sosiologi masyarakat.

Tujuan utama Ramadhan adalah ketaqwaan (agar kamu bertakwa). Bertaqwa adalah kata kerja yang menyerukan dan mengharuskan melakukuakan perbuatan “taqwa”. Menurut Ali bin abi Thalib Radiallahuanhu memberikan definisi taqwa yang lebih rinci, Beliau berkata : التقوى هي الخوف من الجليل و العمل بالتنزيل والرضا بالقليل و الإستعداد ليوم الرحيل (Taqwa adalah takut kepada Allah, beramal sesuai yang diturunkan (Al-Qur’an dan As-sunnah), menerima dengan yang sedikit dan selalu senantiasa bersiap-siap menempuh untuk  hari perjalanan menghadap Allah}. Dari pendapat Sayyidian Ali RA, tersebut ada 2 perlakuan taqwa yaitu pertama beramal sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dan kedua adalah perlakuan persiapan untuk menjemput ajal.

Dalam kegiatan perilaku ibadah Ramadan yang kita lakukan sehari hari ada banyak kegiatan ketaqwaan yang secara tidak terasa kita lakukan dan juga kita indakan (tidak kita pedulikan). Kita melakukan berbuka puasa dengan kecukupan disisi lain kita tidak tahu (dan mungkin tidak mau tahu) bahwa saudara kita,  tetangga kita yang juga sedang berpuasa belum bisa berbuka atau dengan berbuka nasi dan garam saja. Kita melakukan teraweh dengan khusu beramai ramai di musholla dan masjid, tapi ada saudara, teman kita yang tidak bisa melakukan teraweh karena tidak punya pakaian yang pantas untuk di bawah sholat berjamaah. Ini seakan arti kesholehan kita “ambigu” terhadap “ketolehan” orang lain. 

Semoga ibadah Puasa Ramadhan kita tahun ini tidak hanya memiliki dimensi spiritual saja, akan tetapi juga memiliki Dimensi Sosial yang sangat penting bagi umat Muslim. Akhirnya penulis mengucapkan Marhaban Yaa Ramadhan 1445 H / 2024 M semoga ibadah kita selama Ramadhan diterima Allah SWT, Aamiin YRA.