Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D – Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Menikmati kebersamaan. Di masa liburan. Itulah tema dasar kepergian kami berempat meninggalkan kota tempat tinggal. Dan sore itu, Kamis. Persis di awal bulan Juni. Saya bersama anak-isteri sedang menikmati hari pertama libur panjang. Kamis hingga Minggu, tanggal 01 hingga 04 Juni 2023. Di Yogyakarta. Kota yang tak pernah bikin kami bosan untuk berkunjung dan menikmati keindahannya. Mulai orangnya, kulinernya, hingga budayanya.
Agenda pertama kami adalah ke Pasar Beringharjo. Kami berangkat sore itu ke pasar yang menjadi bagian dari perjalanan wisata kami di Yogyakarta nan indah itu. Hanya sore itu, dari fasilitasi GoogleMaps tampak jalanan Malioboro sedang ditutup untuk kendaraan bermotor. Itu karena lalu lintas padat parah dan cenderung macet. Atas dasar itu, kami akhirnya memutar kendaraan untuk parkir di area belakang sebelah timur Taman Pintar. Itu kami lakukan agar bisa parkir tidak jauh dari area pasar tradisional yang melegenda itu.
Mendekati area istana presiden di ujung jalan Malioboro, saya mendapati pemandangan menarik. Seorang bapak tukang becak sedang menarik becaknya dengan menggunakan kaos berwarna hijau muda. Di belakang kaos itu tertulis nama bakpia. Dia sedang membawa penumpang menuju ujung gang.
Kutanya pada Saudaraku yang warga Yogyakarta. Dia kakak iparku. Pertanyaanku kepadanya tentang kemanakah tukang becak itu mengayunkan becaknya. “Dia pasti lagi ngantar pengunjung ke tempat produksi bakpia.” Begitu penjelasan kakak iparku itu. Apalagi, tulisan “bakpia” dengan nomor angka tertentu yang melekat setelahnya pada kaos yang dikenakan bapak tukang becak itu menunjuk ke identitas produk bakpia itu.
“Oh, jadi, itu pegawai toko atau pabrik bakpia?” tanyaku. “Oh bukan!” tangkas kakak iparku. “Lantas, kalau bukan, adakah kaitan antara kaos yang bertuliskan produk bakpia itu dengan toko atau produsen bakpia tersebut?” tanyaku lebih lanjut. “Dia itu tukang becak. Hanya, kaos yang dia kenakan sepertinya pemberian produsen bakpia itu.” Sergah kakak iparku yang bekerja sebagai manajer cabang sebuah perusahaan swasta nasional yang besar itu lebih jauh.
Akupun makin terpesona dengan penjelasan itu. “Jadi di sini, pengusaha bakpia pasti bekerjasama dengan tukang becak untuk memasarkan produknya? Minimal untuk menarik dan atau mengarahkan pengunjung kota Yogyakarta ke toko atau produsen bakpia pilihannya?” tanya saya selanjutnya. “Ya,” kontan jawab kakak ipar saya.” “Di sini, hampir semua pelaku transportasi umum juga menjadi kepanjangan tangan pengusaha bakpia. Mulai dari tukang becak, sopir andong hingga sopir taksi. Pengusaha bakpia menjadikan mereka sebagai tukang marketing lapangan.” Begitu uraian kakak ipar saya lebih teknis.
Penjelasan tambahan kakak ipar saya ini membuat saya semakin penasaran saja tentang bagaimana kolaborasi terbangun antara pengusaha bakpia dan tukang becak, andong, serta taksi. Apalagi, di kota Yogyakarta ini, bakpia seakan menjadi penciri kota. Produknya banyak dan bermacam-macam. Produsennya pun berarti juga cukup banyak. Pengunjung pun juga sangat mudah mendapatkannya. Itu tak lain karena toko yang menjualnya juga ada hampir di semua sudut dan tengah kota.
Belum lagi, tempat produksi bakpia juga melayani penjualan. Sehingga, pengunjung pun bisa mendapatkan dua keuntungan. Pertama, mereka bisa mendapatkan produk yang paling fresh dari proses pembuatannya. Selain biasanya cenderung masih hangat, bakpia yang dibelinya pasti memiliki masa kedaluarsa konsumsi lebih lama daripada yang tidak fresh tentunya. Kedua, pengunjung juga bisa mendapatkan layanan wisata ke tempat produksi bakpia. Selain membeli produk bakpianya, mereka juga minimal bisa merasakan suasana tempat produksinya. Pengalaman dan situasi yang berbeda dari kesehariannya di tempat tinggal memberikan kesan dan pengalaman eksotik tersendiri bagi pengunjung.
“Di kota Yogya ini dik, siapa saja dari bapak tukang becak, atau tukang andong, atau sopir taksi yang berhasil membawa tamu atau pengunjung datang ke tempat produksi bakpia mendapatkan bonus dari pemilik usaha produksi bakpia itu. Bentuknya berupa bonus uang. Untuk satu kotak bakpia yang dibeli, seorang tukang becak atau sopir taksi bisa mendapatkan bonus uang dari pengusaha bakpia sebesar hingga Rp. 15.000,- Silakang hitung saja. Jika ada seorang tamu yang dia bawa membeli bakpia sepuluh bungkus, maka tukang becak atau sopir taksi itu bisa mendapatkan bonus uang cash sebesar Rp. 150.000,- untuk sekali transaksi. Saya pernah mendapatkan cerita soal itu saat ngobrol dengan tukang taksi dari bandara ke rumah.”
Begitu penjelasan panjang kakak ipar saya. Tentu itu salah satu versi komitmen pengusaha bakpia kepada pelaku transportasi umum. Bisa tukang becak. Bisa sopir andong. Bisa pula sopir taksi. Saya pun lalu spontan berkomentar, “Wow keren!” Namun, kekaguman saya ini, tentu, harus diikuti dengan catatan begini: bahwa angka bonus Rp. 15.000,- di atas bisa saja bervariasi dalam realitasnya. Angka itu bisa bergerak tidak sama antara satu pengusaha dan lainnya dalam komitmen mereka masing-masing kepada para pelaku layanan transportasi umum di kota Yogyakarta. Besar-kecilnya leval usaha bisa saja menjadi latar belakang kemungkinan munculnya perbedaan bonus.
Hanya, banyaknya usaha bisnis bakpia, termasuk banyaknya mereka yang menjadi reseller produk bakpia, menjadikan strategi pemberian bonus dalam bentuk uang cash di atas menjadi sesuatu yang bisa dinalar. Jika pemain dalam bisnis bakpia banyak dan variatif pula, maka setiap pengusaha pasti akan memandang para pelaku usaha layanan transportasi umum sebagai mitra penting untuk kebutuhan penjualan atas produk bakpia yang menjadi dagangannya. Berawal dari persepsi seperti ini, lalu para pelaku usaha bakpia membuat komitmen tertentu kepada para pelaku usaha layanan transportasi umum itu. Siapapun mereka. Kepentingannya jelas: memperkuat penjualan produk bakpia yang menjadi usaha bisnisnya.
Percakapan ringan sore itu di tengah perjalanan menuju Pasar Bringharjo memang sangat ringan. Santai sekali. Saya bertanya dengan santainya, dan kakak ipar saya menjawabnya tanpa beban. Saya sangat menikmati percakapan ringan sore itu hingga sampailah kami ke parkiran di sebelah timur Taman Pintar yang kami rencanakan dari semula. Kunikmati setiap penjelasan yang kudapatkan sore itu.
Banyak pelajaran yang bisa kupetik dari penjelasan mengenai apa yang saya sebut dengan istilah “sinergi banyak sisi” atau “kolaborasi banyak sisi” dari bisnis bakpia dan pekerja transportasi di Kota Yogyakarta. Kolaborasi dan sinergi memang menjadi kata kunci penting pertama sebagai bagian dari pelajaran konkret yang bisa kupetik. Betapa ada kesadaran bahwa untuk sukses, usaha ekonomi tidak bisa dilakukan sendirian oleh produsen. Lalu, dia mengesampingkan peran penting pelaku usaha yang lain, seperti transportasi umum. Mulai becak, andong, hingga taksi.
Kolaborasi dan sinergi itu seakan niscaya. Apalagi, memproduksi barang itu gampang sekali. Dalam usaha ekonomi, siapapun bisa memproduki barang atau produk. Yang paling susah adalah memasarkan dan menjualnya. Tentu, hitung-hitungannya sederhana. Bagi sebuah unit usaha, profit itu hanya diperoleh saat penjualan tinggi dan bisa menghasilkan pendapatan yang melebihi rangkaian ongkos produksi. Saat profit tidak ada, produksi tidak akan bisa bertahan lama. Saat profit terancam, unit usaha pun juga akan tertawan.
Inilah yang menjelaskan mengapa sinergi dan kolaborasi itu menjadi kewajiban utama yang harus ditunaikan oleh pelaku usaha. Sektor pemasaran (marketing) dan penjualan (sales) harus diperlakukan sepenting pula sektor produksi. Dalam aras prinsip ini, karena itu, memasarkan dan menjual produk merupakan tahapan paling krusial setelah proses produksi dilakukan dan mengalami telaah mendasar di sebuah usaha bisnis dan ekonomi. Karena itu pula, semua pelaku usaha pasti menjadikan pemasaran dan penjualan sebagai isu terkemuka di balik semua pertimbangan utama yang diambil dari usaha bisnis dan ekonomi yang dijalankan.
Setelah sinergi dan kolaborasi menjadi pelajaran pertama yang bisa kita petik dari relasi pelaku usaha ekonomi bakpia dan pelaku transportasi umum, kita bisa berlanjut untuk mengambil pelajaran kedua dari mereka. Yakni, bahwa layanan jemput bola adalah pelajaran berikutnya dari marketing di balik kolaborasi dan sinergi di atas. Tukang becak, atau tukang andong, atau sopir taksi menjemput calon pembeli dari titik tempat tertentu lalu membawanya ke tempat produksi dan penjualan bakpia. Toko atau produsen bakpia tidak mengandalkan datangnya tamu pengunjung dengan cara menunggu begitu saja kehadiran mereka, melainkan menjemputnya dengan bantuan tukang becak, tukang andong dan atau sopir taksi itu.
Tentu, strategi jemput bola ini mengikuti karakter dan jenis usaha bisnis dan ekonomi. Semakin mendekati sektor layanan jasa sebuah produk usaha, semakin rendah kebutuhan untuk melakukan aksi jemput bola secara fisik terhadap calon pengguna dan atau pengambil manfaat. Sebaliknya, semakin mendekati sektor barang sebuah produk jenis usaha, semakin tinggi kebutuhan untuk melakukan aksi jemput bolsa secara fisik, seperti pada jenis usaha penjualan bakpia di atas.
Juga, kemajuan teknologi harus pula bisa menjadi konteks pengambilan kebijakan marketing dan sales untuk aksi jemput bola calon pengguna atau pengambil manfaat produk. Kini, kedua tahapan bisnis tersebut tak lagi hanya didominasi oleh aksi yang mengandalkan pertemuan fisik semata. Harus pula dilengkapi dengan strategi lain yang memberikan ruang yang lebih efektif untuk terjadinya aksi jemput bola kepada calon pembeli, pengguna, atau pengambil manfaat dari semua produk yang dihasilkan oleh semua unit usaha bisnis dan ekonomi.
Tapi, apapun kondisi dan situasinya, dengan aksi jemput bola sebagai strategi marketing dan sales, semua jadi happy,bukan? Penjual bahagia karena terbantu sekali oleh aksi jemput bola yang dilakukan oleh para pelaku usaha layanan transportasi umum, mulai tukang becak, tukang andong hingga sopir taksi. Sebaliknya, mereka para pelaku layanan transportasi yang disebut terakhir itu tentu juga merasa senang karena mereka mendapatkan insentif tambahan di luar pendapat formal yang mereka terima dari jasa layanan transportasi umum yang mereka lakukan. Layanan jemput bola telah membuat semua pihak bahagia. Bahkan, calon pembeli pun juga berbunga hati, karena mereka semua terlayani dengan baik oleh sinergi apik antara produsen/penjual dan para pelaku usaha transportasi umum itu.
Soal besaran bonus uang cash yang mencapai hingga Rp. 15.000,- untuk satu kotak bakpia yang dibeli pengunjung, mungkin ada diantara kita yang bergumam penuh ragu: “Ah masak iya sih? Masa sebesar itu sih? Bagaimana itu bisa terjadi?” Inilah yang menjadi pelajaran ketiga yang bisa kita petik dari sinergi banyak sisi antara pelaku usaha bisnis bakpia dan layanan transportasi umum di Yogyakarta. Untuk pelajaran ketiga ini, kita penting untuk mencerna sebuah konsep penting dalam marketing yang mengaitkan promosi dan kebutuhan pengembangan kesadaran di kalangan calon pembeli.
Kakak ipar saya yang terlibat dalam percakapan di perjalanan menuju Pasar Beringharjo di atas mengingatkan saya dengan konsep multiple awareness (kesadaran berlipat) dalam marketing. “Jangan lupa ada konsep multiple awareness dalam marketing,” begitu ungkapnya sambil mengajakku berbincang agak lebih serius sesampai di rumahnya kembali dalam memaknai praktik pemberian bonus uang cash oleh pelaku bisnis bakpia kepada pera pelaku layanan transportasi umum di atas. Yang disasar oleh pelaku usaha itu bukan kesadaran satu orang atas produk bakpia. Tapi kesadaran yang bisa mengembang besar dari kekuatan lisan (words of mouth) berupa testimoni pengunjung yang datang dan orang-orang terdekat atau di sekelilingnya di tempat dia bekerja atau tinggal yang potensial akan terpengaruh oleh kesan baiknya atas produk bakpia. Dan, kesan baik itu akan memunculkan efek domino lanjutan yang besar kepada sebanyak-banyaknya orang untuk juga pada saatnya merasa harus mengkonsumsi produk bakpia itu. Dalam konsep multiple awareness itu, ada efek domino yang diharapkan muncul dari proses dan kegiatan promosi sebuah produk pada sebanyak-banyaknya calon pembeli. “Ingat bakpia, ingat merek ini!” begitu kira-kira basis kognitif yang akan menguat dari kampanye kesadaran berlipat itu.
Jadi, belajar dari sinergi dan kolaborasi pengusaha-tukang becak-pengunjung bakpia di atas, kita segera menyadari bahwa sinergi banyak sisi memberikan mutual benefit atau keuntungan bersama di antara mereka. Kabetulan penyebutan kata “pengusaha” di artikel ini menunjuk kepada pelaku usaha produksi bakpia. Kebetulan pula kata “tukang becak” di sini mewakili pelaku usaha transportasi yang ada, termasuk tukang andong dan sopir taksi. Juga, kebetulan kata “pengunjung” di sini mengandung arti mereka yang bukan warga lokal kota Yogyakarta namun datang ke kota ini untuk beragam tujuan, termasuk untuk kebutuhan pelesir dan manikmati produk bakpia. Namun, secara spesifik, kata “pengusaha” di atas bisa diganti dengan penyelenggara layanan pendidikan tinggi. Bisa juga dengan lainnya. Dalam konteks perguruan tinggi, misalnya, kata “pengusaha” dalam konteks usaha bisnis bakpia di atas bisa pula menunjuk ke rektor beserta wakil rektor, direktur pascasarjana dan dekan serta pimpinan lembaga dan unit beserta seluruh tim manajemennya. Semua harus bekerja keras untuk membangun sinergi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan internal maupun eksternal. Untuk kepentingan sinergi banyak sisi itu, strategi marketing dan sales dari layanan pendidikan tinggi harus dilakukan dengan cara yang tidak biasa-biasa saja. Dan, kampus pun harus belajar dari pelaku usaha bisnis bakpia. Kenapa tidak?!