Surabaya, 25 Februari 2025 – Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menggelar Sharia Forum FIQHUNA episode ke-5 dengan tema “Penentuan Awal Bulan Qomariyah di Negara-negara MABIMS”. Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 25 Februari 2025, di Gedung FSH A.201 dan menghadirkan Dr. Siti Tatmainnul Qulub, M.S.I., dosen FSH UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai narasumber utama. Acara ini dihadiri oleh sejumlah dosen serta mahasiswa yang tertarik mendalami metode penentuan awal bulan dalam kalender Islam, khususnya di negara-negara anggota MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Dalam pemaparannya, Dr. Siti Tatmainnul Qulub menjelaskan bahwa MABIMS didirikan pada 7 Agustus 1989 oleh tiga menteri agama dari Brunei, Indonesia, dan Malaysia, sebelum akhirnya Singapura bergabung pada 1994. Salah satu tujuan utama MABIMS adalah menyelaraskan metode rukyat dan hisab dalam penentuan awal bulan hijriah. Awalnya, negara-negara MABIMS menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, atau umur hilal 8 jam. Namun, dengan perkembangan penelitian astronomi, kriteria ini diperbarui pada 2022 menjadi tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Brunei Darussalam sebagai negara monarki absolut dengan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, menetapkan awal bulan hijriah berdasarkan hasil rukyat dari dalam negeri. Rukyat dilakukan oleh perukyat yang memenuhi syarat sesuai Mazhab Syafi’i dan harus dilaporkan kepada qadi. Sebelum tahun 1992, Brunei menggunakan rukyat murni untuk semua bulan hijriah, tetapi kini hanya menerapkannya pada Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, sedangkan untuk bulan lainnya menggunakan hisab imkān al-ru’yah MABIMS. Uniknya, Brunei pernah menetapkan satu bulan qamariyah hanya 28 hari, berbeda dengan ketentuan hadis yang menyebutkan bulan hijriah terdiri dari 29 atau 30 hari.

Indonesia, sebagai negara dengan sistem pemerintahan republik, memiliki otoritas keagamaan seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Sebelum 1945, penentuan awal bulan hijriah berada di bawah kewenangan kerajaan-kerajaan Islam, tetapi sejak 1946, tugas ini beralih ke Departemen Agama. Pada 1992, Indonesia mengadopsi kriteria imkān al-ru’yah MABIMS dengan standar tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, atau umur hilal 8 jam. Kemudian, pada 2022, kriteria ini diperbarui menjadi tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Meski demikian, untuk tiga bulan ibadah utama (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah), Indonesia tetap menggunakan kombinasi metode rukyat dan hisab.
Sementara itu, Malaysia sebagai negara monarki konstitusional dengan Islam sebagai agama resmi juga mengalami berbagai perubahan dalam metode penentuan kalender hijriah. Sebelum 1970, kalender hijriah ditentukan berdasarkan hisab urfi dan rukyat hilal di beberapa daerah. Seiring perkembangan, metode ini berubah menjadi kombinasi rukyat dan hisab pada 1972, kemudian rukyat murni pada 1978, hingga akhirnya mengadopsi kriteria imkān al-ru’yah MABIMS pada 1992. Pada 2021, Malaysia mulai menerapkan kriteria baru MABIMS (tinggi hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat) untuk semua bulan hijriah, dengan hasil rukyat tetap diutamakan. Hingga 2024, Malaysia memiliki 30 lokasi resmi untuk pengamatan hilal, dan rukyat hanya sah jika dilakukan di lokasi yang telah disahkan oleh tim resmi.
Adapun Singapura, sebagai negara republik parlementer, mengelola urusan keislaman melalui Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Karena tingginya polusi cahaya, rukyat hilal di negara ini sulit dilakukan, sehingga sejak 1974 Singapura mengadopsi hisab mutlak dengan kriteria wujudul hilal. Pada 1992, Singapura mulai mengikuti kriteria imkān al-ru’yah MABIMS, meskipun tetap tidak melakukan rukyat. Sejak 2023, Singapura menerapkan kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Forum FIQHUNA kali ini menyoroti pentingnya penyelarasan metode rukyat dan hisab di negara-negara MABIMS agar umat Islam memiliki pedoman yang lebih seragam dalam menetapkan awal bulan hijriah. Dengan adanya kriteria baru yang lebih akurat, diharapkan keputusan mengenai awal bulan Islam semakin terpercaya dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Acara ini mendapat antusiasme tinggi dari peserta, yang aktif berdiskusi mengenai penerapan metode ini di Indonesia dan negara-negara lainnya. Melalui forum ini, diharapkan wawasan mengenai fiqh astronomi Islam semakin luas dan dapat berkontribusi bagi kebijakan penetapan awal bulan qomariyah di masa depan.
Reportase: George As’ad Haibatullah El Masnany
Redaktur: George As’ad Haibatullah El Masnany
Desain Foto: Annisa Rahma Fadila