Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Tawa riang pagi itu pecah. Tak bisa ditahan-tahan. Alkisah, Jumat (27 September 2024), gelombang kedua workshop pemetaan akreditasi perguruan tinggi dilaksanakan. Di GreenSA Inn, Juanda, Sidoarjo. Hotel dan pusat pelatihan milik UINSA Surabaya. Workshop itu diikuti sekitar 84 pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam swasta (PTKIS). Kala itu, duduklah beberapa orang utama di deretan kursi di panggung. Untuk mengikuti seremoni pembukaan. Karena acara itu penting diberi pengantar. Diberi konteks bahwa akreditasi yang merupakan instrumen utama untuk menjaminmutukan layanan pendidikan tinggi perlu dibuatkan roadmap atau peta jalan. Menuju status unggul yang menjadi dambaan.   

Monggo, anggur biru ini enak sekali.” Begitu kalimat pembuka keluar dari seorang rekan di deretan kursi di panggung itu. Dalam perbincangan ringan sebelum seremoni dimulai. “Lho, mana anggur yang biru itu, hee hee?” sergahku spontan. “Oh maaf, maaf. Kebiasaan ini! Itu, anggur hijau,” jawabnya segera terhadap sergahanku itu sambil menunjuk ke arah onggokan anggur berwarna hijau di atas meja. Kalimat sergahanku itu sendiri kukeluarkan karena kutahu bahwa temanku itu berasal dari kelompok etnis tertentu. Yang menyebut warna hijau dengan kata “biru” dalam bahasa daerahnya. Pecahlah tawa pagi itu. Karena kutahu pula bahwa temanku itu berasal dari kelompok etnis tertentu dengan kebiasaan penyebutan warna seperti itu dalam bahasa daerahnya.

“Maaf, maaf. Itu pengaruh lughatul umm, he hee.” Begitu penjelasan dia lebih lanjut soal penyebutan warna hijau dengan kata “biru” dalam bahasa daerahnya itu. Kata lughatul umm berarti bahasa ibu. Yakni, bahasa pertama yang dia peroleh dari lingkungan terdekatnya saat dia tumbuh dan dibesarkan. Mulai dari orang tua, keluarga hingga masyarakat sekitarnya. Dan kini, saat dia sudah dewasa pun, bahasa ibu itu merangsek masuk dan mempengaruhi ekspresi kebahasaan Indonesianya. Aku pun paham dengan kejadian seperti itu. Karena aku juga mengerti dengan kebiasaan yang berlaku di lokal itu dengan penyebutan warna hijau dengan kata “biru” dalam bahasa daerahnya.  

Itu kejadian kedua yang kujumpai, sebetulnya. Sebelumnya, aku juga punya pengalaman serupa. Saat melakukan penelitian ke komunitas di kawasan etnis tertentu itu. Kala itu, aku dibantu oleh seorang kawan dosen dari kampus sendiri yang berasal dari kabupaten tertentu itu. Asli dari daerah itu. Dan bisa berbahasa daerah itu juga. Berhentilah kendaraan yang mengantar kami melakukan perjalanan ke kabupaten itu karena lampu perempatan sedang berwarna merah. Secara simbolik, kami semua di rombongan itu tak ada yang berselisih paham bahwa warna merah pada lampu itu berarti perintah untuk berhenti total. Mandeg jegreg, kata orang Surabaya.

Ngobrollah kami di kendaraan itu. Sambil menunggu lampu untuk berubah ke warna hijau. Namanya ngobrol, maka temanya pun bebas dan mengenai apa saja. Kebetulan kala itu kami di kendaraan itu ngobrolin soal komunitas sasaran yang sedang akan kami temui untuk kepentingan penggalian data. Tak lama perbincangan itu berlangsung, lampu perempatan jalan itu berubah warna ke hijau. Nah, saat lampu sudah berganti ke hijau, seorang kawan itu langsung menyahut ke sang sopir: “Mas, ayo jalan! Lampu sudah biru!” Lho mana lampu biru?” tanyaku seketika. “Oh sori, sori. Itu lampu hijau,” jawabnya kontan. Tertawalah kami semua atas kejadian itu kala itu.

Dua kejadian di atas dikenal dalam kajian bahasa dengan istilah language interference. Dalam Bahasa Arabnya disebut juga dengan istilah al-tadakhul al-lughawi. Padanan kata dalam Bahasa Indonesianya adalah “campur tangan bahasa” atau “interferensi bahasa”. Dalam praktiknya, language interference selalu terjadi dari bahasa pertama ke bahasa kedua dan seterusnya. Atau lebih tepatnya dari bahasa ibu ke bahasa sasaran. Sebab, di Indonesia, yang disebut dengan bahasa kedua itu bisa jadi Bahasa Jawa, atau bisa juga Bahasa Indonesia. Bergantung pada tingkat intensitasnya bergumul dengan bahasa lain di luar bahasa ibu.

Dua kejadian penyebutan warna hijau dengan kata “biru” di atas menjelaskan bahwa language interference terbukti kuat sekali berpengaruh dalam ekspresi kebahasaan seseorang. Tak mengenal jenjang dan kualifikasi serta pengalaman akademik. Bahkan, yang terjadi pada seorang kawan di atas adalah peristiwa yang terjadi pada individu yang kini sudah bergelar doktor dan mengajar pula di kampus. Sebelumnya beberapa tahun lalu, ada seorang asesor jurnal dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; kini berubah menjadi BRIN/Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang juga mengalami kisah dan atau melakukan praktik kebahasaan serupa. Kala itu, ada pelatihan pengelolaan jurnal. Saat mau menjelaskan sebuah pokok bahasan, dia dengan yakinnya lalu bilang: “Itu seperti yang ada dalam buku saya yang biru itu.”

Para peserta pun mencari-cari buku referensi yang diberikan kepada mereka di atas meja masing-masing itu. Tapi tak satu pun menemukannya. Hanya yang mengerti bahasa daerah sang asesor itu yang paham dengan penyebutan warna hijau dengan kata “biru” yang sebelumnya dia ucapkan. Ketawa kecil pun melengkapi ekspresi paham itu. Tapi yang lain, tetap bengong. Tetap bingung sambil mencari buku berwarna “biru” itu. Sederhana sekali penyebabnya. Peserta pelatihan itu berasal dari banyak wilayah di Indonesia. Dan tak semuanya akrab dengan kelompok etnis yang dimaksudkan dalam ekspresi sang asesor soal warna “biru” itu. Hanya beberapa orang yang paham dengan ekspresi kebahasaan sang asesor itu.

Tiga kejadian penyebutan warna hijau dengan kata “biru” di atas bukan terjadi pada mereka yang pengalaman pendidikannya terbatas. Semuanya terjadi pada akademisi. Minimal bergelar doktor. Tapi, soal urusan language interference, kejadian-kejadian itu telah terbukti tak mengenal jenjang pendidikan. Tak mengenal juga batasan kelompok etnis. Itu yang penting untuk dicatat. Kebetulan saja, kasusnya adalah mengenai penyebutan warna hijau. Apalagi, kata “biru” dalam bahasa daerah kelompok etnis dimaksud sejatinya menunjuk ke makna hijau dalam pengertian umum seperti yang berlaku dalam Bahasa Indonesia. Artinya, kejadian language interference bisa mengenai siapa saja atas pengalaman intensitasnya dari bahasa ibu ke bahasa target (bahasa kedua dan seterusnya).  

 Lalu, apa pelajaran yang bisa ditarik dari kejadian-kejadian language interference di atas? Kontesktualisasi macam apa yang bisa dilakukan atas kejadian-kejadian itu? Tentu, hal itu untuk kepentingan hidup yang lebih luas dari sekadar ekspresi kebahasaan. Sebab, kasusnya kebetulan saja mengenai ekspresi kebahasaan. Tapi sejatinya, maknanya bisa dikontekstualisasikan ke banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Nah untuk itu, aku mencatat, minimal, ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik. Aku bisa membaca dua pelajaran itu secara kuat.  

Pertama, jangan pernah abaikan faktor pembiasaan dalam hidup. Pembiasaan ini disebut juga dalam banyak perspektif dengan istilah habituation. Yakni, proses yang mengantarkan seseorang untuk terbiasa terhadap sesuatu dalam lingkungan tertentu. Dalam derajat paling ekstrem, habituation ini membuat seseorang tidak menganggap sesuatu asing, tak menyenangkan, dan bahkan sebagai ancaman. Minimal, proses habituation ini membuat seseorang mulai, dan bahkan lebih, akrab dengan sesuatu dalam lingkungan tertentu dimaksud. Prinsip habituation seperti ini berlaku di hampir semua aspek kehidupan. Termasuk bahasa dan komunikasi. Bahkan dalam kasus terkecil seperti fonetik seperti dalam penelitian Stephen J. Tobin berikut ini:

Foto: Artikel Ilmiah Jurnal Karya Stephen J. Tobin

Nah, bahasa tumbuh di atas pembiasaan. Hubungan antara keduanya sangat erat sekali. Satu akan menimbulkan yang lain. Bahasa tumbuh karena faktor pembiasaan yang terjadi dalam keseharian. Saat intensitas dalam pembiasaan itu kuat, maka kuat pula ekspresi kebahasaan itu. Saat lemah intensitas dalam pembiasaan itu, lemah pula ekspresi kebahasaan itu. Maka, jangan heran jika bahasa itu persis seperti iman: yazidu wa yanqushu. Bisa bertambah dan berkurang. Bisa menguat bisa pula melemah. Dan, menguat atau melemah, bertambah atau berkurang, itu hanya kadarnya saja. Tapi, komponen dasarnya tetap bersemayam dalam diri mereka yang telah mengalami proses intensitas itu.

Dan semua itu, lagi-lagi, karena faktor pembiasaan. Maka, bahasa itu dialami. Bukan hanya ditonton. Artinya, seorang penutur bahasa pasti terlibat dalam proses pembiasaan itu. Bukan hanya sekadar menonton. Ibarat sepak bola, posisinya ada di lapangan. Bukan di tribun penonton. Jika dia berada di tribun penonton, maka apa yang disebut dengan language exposure atau pengalaman kebahasaannya akan sangat minim atas bahasa itu. Namun sebaliknya, jika dia berada di tengah lapangan bola itu, maka language exposure atau pengalaman kebahasaannya atas bahasa target yang dituju juga akan kuat. Karena itulah, bahasa tumbuh di atas pembiasaan.

Bahasa memang salah satu bentuk perilaku. Tapi itu hanya contoh kecil saja. Masih terlalu banyak dari bentuk perilaku lain dalam hidup seseorang. Karena itu, pembiasaan akan membentuk kecenderungan perilaku-perilaku itu. Belajar dari kasus-kasus penyebutan warna hijau dengan kata “biru” dalam beberapa kisah di atas menjelaskan bahwa bahasa daerah yang menyebut warna hijau dengan kata “biru’ telah membiasakan penuturnya untuk tetap mempertahankan penyebutan itu walaupun sedang berada dalam ekspresi kebahasaan di ruang dan lingkungan yang berbeda, khususnya Bahasa Indonesia.

Pembiasaan bisa mengenai praktik hidup apa saja. Karena itu, jangan pernah abaikan faktor pembiasaan itu. Karena pada titik tertentu, seseorang tak akan bisa lepas dari pengaruh pembiasaan itu. Bahkan justru, pembiasaan itu akan membuat apa yang telah dialami menjadi pembentuk praktik hidup itu sendiri. Maka, sangat penting bagi setiap kita untuk melakukan kontesktualisasi kasus pembiasaan kebahasaan dalam penyebutan warna hijau dengan kata ‘biru” dalam bahasa daerah yang dialami sebelumnya di atas ke aspek dan bagian hidup yang lebih luas. Yakni, jangan pernah abaikan faktor pembiasaan dalam hidup keseharian. Karena akan menjadi pembentuk bagi perilaku-perilaku hidup lainnya.

Kedua, sadar dan yakinlah bahwa kebiasaan adalah dan sekaligus menjadi frame. Menjadi bingkai. Kebiasaan membuat pribadi pelaku atau mereka yang terlibat di dalamnya berproses di dalam cakupan kerangkanya secara memadai. Tapi, dalam praktiknya, terkadang ia bergerak untuk membatasi. Minimal membingkai. Ia bahkan kadang muncul pada titik tertentu yang tak disadari. Itu semua karena kebiasaan telah menjadi bagian dari identitas diri. Mengapa begitu? Karena praktik itu dilakukan secara terus-menerus. Karenanya, ada keajegan di situ. Ada regularitas di situ. Karena itu pula, kebiasaan pasti membentuk identitas diri pelaku dan atau mereka yang terlibat di dalamnya.

Dalam kasus ekspresi kebahasaan yang menyebut warna hijau dengan kata “biru” di atas, pembiasaan yang membuat bahasa tumbuh di atasnya menjadikan bahasa sebagai bentuk dan sekaligus ekspresi kebiasaan. Minimal dalam komunikasi. Para pelaku atau mereka yang terlibat di dalamnya terbiasa berkomunikasi dalam ketentuan yang berlaku dalam bahasa yang memfasilitasi dan sekaligus membentuk kecakapan komunikasi berbahasa dalam bahasa itu.  Meskipun demikian, bahasa tetap akan menjadi kebiasaan yang bisa bergerak sebagai bingkai atas ekspresi diri penuturnya secara sadar atau tidak sadar, baik di ruang pribadi maupun umum.

Bahkan, dengan kekuatan dirinya sebagai frame di atas, bahasa bisa bergerak untuk membentuk dan atau menjadi tradisi. Bukan sekadar adat istiadat. Dalam bahasa umum internasionalnya, tradisi dimaksud dapat disebut dengan istilah tradition, sedangkan adat istiadat dipadankan dengan custom. Mengapa bahasa bisa bergerak menjadi tradisi atau tradition, dan bukan sekadar adat istiadat atau custom? Itu karena bahasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa juga dapat berlangsung-bertahan dalam babakan waktu yang panjang. Juga, bahasa diikuti dengan tingkat kepatuhan-ketaatan (observance) yang cukup tinggi oleh seluas-luasnya anggota masyarakat.

Tiga kekuatan bahasa di atas membuatnya melampaui batasan sekadar adat istiadat atau custom serta terus bergerak hingga menjadi tradisi. Karena itu, praktik penyebutan warna hijau dengan kata “biru” dalam sejumlah kasus yang dijelaskan di bagian atas pada tulisan ini harus dibaca dari perspektif tradisi, dan bukan sekadar adat istiadat. Prinsip berikut pun berlaku pada kaitan bahasa ini: while all traditions may qualify as customs, not all customs are traditions. Meskipun semua tradisi dapat memenuhi syarat sebagai adat istiadat, tidak semua adat istiadat adalah tradisi. Dan, sejumlah kasus penyebutan warna hijau dengan kata “biru” di atas menjadi bukti pembenar atas kapasitas bahasa dimaksud.

Nah, sejatinya, tidak hanya bahasa yang bisa membingkai atau membatasi ekspresi diri. Bentuk dan praktik hidup lainnya juga memiliki kapasitas tersebut. Selama di sana ada faktor pembiasaan hingga lahir sebuah kebiasaan atasnya, selama itu pula akan muncul kapasitas itu. Maka, penting disadari bahwa kebiasaan bukan saja bisa bergerak menjadi frame. Melainkan ia adalah frame itu sendiri. Bukan saja memiliki kapasitas untuk membingkai dan membatasi oleh sebab selain dirinya. Melainkan juga sekaligus memiliki kapasitas itu karena dirinya sendiri. Untuk itu, jangan remehkan kebiasaan. Karena, kebiasaan akan bisa membingkai dan membatasi ekspresi diri lainnya beserta bentuk dan cakupannya. Itulah letak pentingnya seni memahami kebiasaan diri.

Foto: Sampul Depan Buku Karya Akh. Muzakki

Sebuah kemuliaan adalah hasil dari pembiasaan. Bukan tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi. Karena itulah, kemuliaan itu hasil action. Bukan event. Action itu berarti something done. Sengaja dilakukan. Artinya, kemuliaan itu hasil dari jerih payah yang dilakukan. Bukan tiba-tiba datang tanpa kesengajaan. Sebaliknya, dalam makna dasarnya, event itu something that merely happens (lihat: Irfan Khawaja, “Why They Hate Us: A Pedagogical Proposal,” dalam Yvonne Raley dan Gerhard Preyer (ed.), Philosophy of Education in the Era of Globalization, 2010:92; Akh. Muzakki, Setiap Kejadian Adalah Pelajaran: Sosiologi Pendidikan Lintas Budaya, 2022:xii-xii). Sesuatu yang begitu saja terjadi. Tentu kemuliaan bukanlah termasuk ke dalam kategori event ini. Bukan sesuatu yang begitu saja terjadi. Sekali lagi bukan. Nah, karena merupakan hasil jerih payah ini, maka kemuliaan itu harus sengaja dialami dan atau diupayakan. Karena kemuliaan itu hasil dari pembiasaan.

Karena itu, siapapun kita, dan dalam amanah pekerjaan apapun berada, penting untuk mendesain penunaian amanah dengan baik. Agar amanah pekerjaan itu bisa menjadi kemuliaan. Tak seharusnya mengambil sikap dan praktik business as usual. Karena amanah pekerjaan dan jabatan itu bukan something that merely happens. Melainkan something done. Amanah itu ditunaikan. Bukan sekadar dilalui. Karena itulah, hanya kinerja yang baik yang bisa membayar lunas amanah pekerjaan dan jabatan itu. Tak berkinerja hanya akan mencederai amanah itu.