
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Siang itu kuayunkan langkah. Bersama sejumlah rekan tim asistensi pendirian Program Studi Kedokteran Program Sarjana dan Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Program Profesi. UIN Sunan Ampel Surabaya. Seusai makan siang. Di sebuah kedai. Di pinggir jalan. Di Kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Jalanan kala itu padat sekali. Apalagi jamnya tak lama dari waktu bubaran orang dari ritual suci. Shalat Jumat di masjid yang disukai. Ya, kala itu kami sedang berjalan kaki. Menuju kantor Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAMPT-Kes) yang tak jauh dari kedai makan siang kami. Saat itu, kami sedang melaksanakan tugas khusus. Membahas sejumlah hal terkait dengan penjaminan mutu penyelenggaraan Program Studi Kedokteran Program Sarjana dan Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Program Profesi di atas.
Di tengah kami mengayunkan langkah kaki itu, kudapati sebuah gerobak penjual kopi. Gerobaknya bermotor. Aku memang tak sempat mengabadikan gambar gerobak itu. Karena sungkan. Ada penariknya persis di samping gerobak motor itu. Ya, dia adalah si abang penjual kopi gerobak motor itu. Tapi, aku mencatat kuat nama merek kopi itu: Sejuta Jiwa. Sebab, nama itu tertulis dengan sangat menyolok mata di gerobak motor itu. Nama itu menjadi merek dagangannya. Dan, di bawah nama itu ada tulisan dengan ukuran jauh lebih kecil, by Janji Jiwa. Ahaaaa! Aku pun paham. Bahwa kopi Sejuta Jiwa yang dijual di gerobak motor itu adalah kopi hasil produksi perusahaan kopi terkenal di nusantara: Janji Jiwa.
Meskipun aku tak sempat mengabadikan foto gerobak bermotor itu, nama Sejuta Jiwa dan by Janji Jiwa melekat kuat dalam ingatanku. Enak dibaca. Akrab di telinga. Mudah diingat. Dan tak akan mudah kulupa. Selanjutnya tentu bikin aku penasaran. Karena itu, begitu sampai di lobby kantor LAMPT-Kes itu, langsung kubuka HP-ku. Kucari tahu lebih jauh tentang identitas kopi Sejuta Jiwa itu. Lalu kudapatilah sejumlah informasi awal tentang kopi gerobak motor itu. Termasuk sejumlah gambar foto tentangnya. Seperti salah satu di antaranya yang kudapatkan pada akun resmi Instagram milik kopi Sejuta Jiwa sebagaimana berikut ini:
Rasa penasaranku pun makin memuncak. “Bagaimana ceritanya kedai kopi seterkenal itu kok turun gelanggang menjual kopinya melalui gerobakmotor? Walaupun itu dilakukan dengan merek turunan yang agak khusus. Apa sebetulnya yang terjadi?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kontan menggelayuti pikiranku kala itu. Kuyakin, turun gunungnya kopi setenar itu pasti ada yang melatarbelakangi. Tak mungkin tiba-tiba. Pasti ada sebab-musababnya. Nah, pikiranku kala itu langsung beroperasi. Mengirimkan sinyal ke diriku untuk mencari banyak tahu tentang apa yang terjadi. Minimal dari sejumlah indikasi yang bisa kubaca dari kecenderungan itu.
Maka, semakin mendalamlah kucari informasi mengenai gerobak motor yang menjual kopi dengan merek Sejuta Jiwa itu. Kutelisiklah identitas diri kopi Sejuta Jiwa itu. Mulai dari ungkapan atau kata yang dipilih untuk identifikasi dirinya. Hingga pilihan warna yang digunakan untuk mempertegas identitas dirinya itu. Semua kucoba dapatkan. “Aku harus bisa peroleh informasi sebanyak mungkin tentang kopi Sejuta Jiwa ini,” begitu kataku dalam hati. Untuk mengobati rasa ingin tahuku. Bahwa di balik turun gelanggangnya kopi itu, pasti ada sejumlah hal yang bisa dijelaskan. Minimal dipahami sebagai sebuah fenomena baru.
Kebetulan, aku sendiri masih sangat ingat dengan media ethnography yang pernah kupelajari saat kuliah di Australia dulu. Kutemukannya data mengenai kopi Sejuta Jiwa melalui akun resmi media sosialnya membuatku semakin kuat mengingat kembali skema teoretik media ethnography itu. Hasil penangkapanku secara langsung atas gerobak motor kopi itu di area menuju kantor LAMPT-Kes di Jakarta, seperti kuuraikan sebelumnya, juga memberikan kesan kuat kepadaku tentang identitas kopi Sejuta Jiwa itu. Dan semua itu mendorongku untuk memanfaatkan kembali peran media ethnography di atas. Guna untuk membaca fenomena baru bisnis kopi di atas.
Apalagi, media ethnography sarat dengan makna fungsional untuk kerja penelitian mengenai identitas yang terwakilkan dalam ekspresi budaya di media. Terhadap urusan ini, begini kata Elisenda Ardévol and Edgar Gómez-Cruz (“Digital Ethnography and Media Practices,” dalam Fabienne DarlingWolf (ed.), Research Methods in Media Studies, 2014:2): “Media ethnography seeks to develop an understanding of active audiences by exploring genre readings, issues of race and gender, family living, and identity, in order to understand media as a cultural form.” Dalam Bahasa Indonesianya, kutipan ini berarti begini: Etnografi media bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang khalayak aktif dengan mengeksplorasi pembacaan genre, isu-isu ras dan gender, kehidupan keluarga, dan identitas, guna memahami media sebagai bentuk budaya.

Mulailah aku dengan pelacakan yang paling mudah dilakukan. Yaitu dari apa yang terlihat dan atau tertera di gerobak motor kopi itu. Mataku langsung tertuju ke dua aspek temuan. Yakni, pilihan warna gerobak dan pilihan kata yang menjadi tagline. Kebetulan, media ethnography pun sangat menghitung-mempertimbangkan pilihan warna dan kata yang menjadi identitas sebuah entitas. Sebab, pilihan warna dihadirkan bukan tanpa sebab. Bukan tanpa latar belakang. Semua pasti ada rational choice-nya. Semua ada kepentingannya. Termasuk dengan perihal pilihan kata sebagai aspek lainnya.
Gerobak motor kopi Sejuta Jiwa didominasi warna merah. Seperti terlihat di gambar yang disampaikan sebelumnya. Gerobak motor kopi Sejuta Jiwa itu mengumbar warna merah sebagai warna utama identitas diri. Warna lainnya ada. Seperti putih, hitam dan kuning. Tapi, ketiga warna yang disebut terakhir ini adalah untuk kepentingan penguatan kontras. Ketiga warna yang disebut terakhir digunakan untuk memperjelas kata yang digunakan. Kepentingannya untuk menegaskan nama kopi dan tagline dagangan, seperti bisa didapatkan pada penjelasan di bagian bawah. Itu dilakukan di tengah dominasi warna merah yang menjadi warna utama gerobak motor kopi Sejuta Jiwa itu.
Dihadirkannya merah sebagai warna dominan di atas tentu untuk memudahkan pengingatan. Sebab, warna dominan itu akan segera menjadi warna trademark kopi Sejuta Jiwa itu. Warna merahnya pun juga agak terang. Bukan merah gelap. Lalu warna dominan merah yang demikian itu dipercantik dengan tambahan warna putih, hitam dan kuning sebagai warna pelengkap dan sekaligus pemanis. Dengan begitu, pesan yang tertulis dalam warna putih, hitam dan kuning itu segera bisa dibaca dan dimaknai secara khas pula oleh para konsumen dan tentu siapapun yang sempat mendapatinya. Dengan kemudahan pengingatan begitu, warna merah diharapkan bisa menarik perhatian calon konsumen.
Pilihan kata yang menjadi tagline dari kopi Sejuta Jiwa juga menjadi ciri khas lainnya. Ingatanku pun lalu melanglangbuana ke sisi samping gerobak motor kopi Sejuta Jiwa itu. Aku memang sempat kala itu menyaksikan pertama kali gerobak motor kopi Sejuta Jiwa di jalanan menuju kantor LAMPT-Kes di Pasar Minggu Jakarta Selatan di atas. Ingatan itu lalu membawaku ke lintasan pelacakan lebih mendalam atas gerobak motor kopi itu. Dan, begitu kudapati foto gerobak motor kopi Sejuta Jiwa itu, seperti disinggung sebelumnya, kudapati pula tulisan menarik pada gerobak itu. Seperti begini bunyinya: “Kopi Nikmat, Dekat, Mantap!” Letaknya persis di samping kanan gerobak motor itu. Dan, siapapun pembeli atau orang yang mendekat akan segera bisa mendapatinya. Seperti pada foto yang kuunggah di atas.
Aku pun semakin terpesona dengan tulisan “Kopi Nikmat, Dekat, Mantap!” di atas. Pertanyaan yang kupunya sejak saat itu, mengapa tiga kata kunci ini menjadi kata-kata tagline produk kopi Sejuta Jiwa itu? Kata “nikmat” tampak digunakan untuk menanamkan kesan kepada calon konsumen tentang cita rasa. Yakni, bahwa rasa kopi Sejuta Jiwa setara nikmatnya dengan kopi induknya. Yakni, Janji Jiwa. Tak perlu diragukan lagi. Itu kesan yang ingin ditanamkan kepada calon konsumen. Ada semacam kampanye jaminan mutu oleh perusahaan induk, yakni Jiwa Group, yang menaungi produksi kopi Janji Jiwa dan Sejuta Jiwa itu.
Tapi, dengan tambahan kata kunci “dekat”, perusahaan kopi Sejuta Jiwa sedang mengirim pesan penting. Yakni bahwa kopi nikmat seperti yang selama ini bisa didapatkan melalui produk bernama Janji Jiwa tak perlu susah-sudah didapat. Karena kopi produksi perusahaan yang membawahi produk kopi Janji Jiwa itu juga menghadirkan kopi dengan nikmat setara, yakni kopi Sejuta Jiwa, yang ada di mana-mana. Dekat dengan konsumen. Dan tak perlu susah-sudah mendapatinya. Konsep “dekat dengan konsumen” ini yang menjadi pesan penting di balik kata kunci “dekat” dalam tagline produk kopi Sejuta Jiwa di atas.
Meski begitu, bisa muncul pertanyaan begini: Mengapa untuk hanya sekadar dekat dengan konsumen, Jiwa Group sebagai payung produksi tak menghadirkan kopi dengan nama sama dengan yang ada di kedai, café atau toko, yakni kopi Janji Jiwa? Tampaknya, diferensiasi menjadi strategi yang dipilih. Baik untuk kepentingan marketing maupun sales. Tafsirnya begini. Dekat, memang, merupakan prinsip penting dalam memasarkan dan menjual produk ke konsumen. Tapi, prinsip dekat tak boleh menjatuhkan nilai produk. Itu yang tampak sedang dipertontonkan oleh Jiwa Group.
Dekat penting, tapi nilai juga harus dipertahankan secara bersamaan. Karena itulah, tampak sekali bahwa Jiwa Group sedang melakukan proses diferensiasi dalam pemasaran dan penjualan produk kopi yang dihasilkan. Bentuknya jelas. Janji Jiwa diperuntukkan sebagai produk kopi dengan kekhasan berbasis kedai, café dan atau toko. Adapun Sejuta Jiwa dihadirkan untuk menggerakkan layanan kenikmatan rasa kopi yang setara dengan Janji Jiwa melalui layanan gerobak motor keliling. Konsumen tak perlu harus meninggalkan jauh-jauh kediamannya. Mereka cukup mencari produk dengan kenikmatan seperti Janji Jiwa di gerobak-gerobak motor yang keliling dari ujung gang ke gang atau kampung ke kampung.
Dengan strategi seperti itu, kesan serupa akhirnya bisa didapat: Mantap! Itulah kata kunci terakhir dalam tagline produk kopi Sejuta Jiwa di atas. Nikmatnya setara. Nggak jauh-jauh pula untuk memperolehnya. Konsumen pun jadi puas. Hingga mereka pun bisa bilang “mantap!” Tentu rangkaian strategi marketing dan sales seperti ini penting dilakukan. Beragam produk kopi bisa dihadirkan secara dekat dengan konsumen. Tapi marwah kopi juga masing-masing bisa dipertahankan. Perbedaan produk dan persamaan marwah diikat oleh satu kenikmatan yang sama. Sama-sama bisa diperoleh melalui produk kopi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sama, Jiwa Group. Mereknya Janji Jiwa dan Sejuta Jiwa itu.
Fakta bahwa kopi seterkenal Janji Jiwa turun gunung menjemput konsumen melalui gerobak motor dengan merek kopi Sejuta Jiwa adalah fenomena, memang iya. Tapi tetap saja, pertanyaan “Mengapa kopi seterkenal Janji Jiwa turun gunung menjemput konsumen melalui gerobak motor?” penting dilontarkan. Persaingan bisnis kopi yang makin ketat tampak menjadi pemicu utama. Itu yang membuat para pelaku usaha penjualan minuman kopi harus memasang seribu strategi untuk memenangi, minimal mengelola, persaingan. Karena itu, penting untuk mencoba memahami apa yang terjadi dalam bisnis kopi. Di tengah persaingan bisnis jual beli kopi yang main ketat di tengah-tengah masyarakat.
Lihatlah fakta di lapangan. Bermunculan banyak gerobak motor penjual kopi. Kata “dekat” dalam tagline kopi Sejuta Jiwa di atas menjadi pintu masuk bagiku untuk menelisik lebih jauh. Turun gelanggangnya kopi Janji Jiwa melalui merek turunan yang bernama Sejuta Jiwa di atas tak bisa dipisahkan dari semakin banyaknya pemain penjualan kopi dalam gerobak motor. Ruang-ruang terbuka di jalanan besar, kampung-kampung, dan gang-gang semakin dijubeli dengan penjualan produk kopi yang beragam. Merek dan namanya macam-macam. Di antaranya ada Jago Coffee, Kopi Premium, Coffee Lab, serta Kopi Kelana.

Memang rata-rata yang dijual di gerobak motor di atas adalah kopi yang diproduksi sendiri. Dikemas dalam gelas es dingin. Jadi yang dijual rata-rata adalah es kopi. Bukan kopi panas. Sebelumnya sudah banyak sepeda keliling penjual kopi sasetan. Mereka terkenal dengan julukan starling. Kependekan dari starbucks keliling. Kopi yang dijual di dalamnya beragam merek. Tapi semuanya dalam bentuk sasetan. Tapi kini, starling itu sudah menggunakan gerobak motor. Yang dijual pun juga bukan berasal dari beragam merek, seperti sebelumnya. Melainkan hanya satu merek saja. Yakni, merek dari produk kopi yang dihasilkan oleh masing-masing pelaku usaha starling versi baru itu.
Fenomena makin jamaknya penjual kopi keliling tak jauh-jauh dari strategi untuk semakin mendekatkan produk dagangan kopi dengan konsumen. Para produsen dan penjualnya menggunakan strategi jemput bola. Mereka menjemput konsumen dari berbagai latar belakang dan titik lokasi untuk memperkuat konsumsi atas dagangan kopi itu. Kopi Sejuta Jiwa tidak dijalankan sendiri secara langsung oleh Perusahaan Jiwa Group yang menaungi produk kopi Janji Jiwa. Melainkan melalui kemitraan dengan mitra pelaku usaha lokal. Apa yang harus disediakan oleh para mitra pelaku usaha lokal itu? Hanya butuh modal Rp40-an juta saja. Lalu, usaha bisnis kemitraan kopi Sejuta Jiwa itu bisa dijalankan secara bersama.
Fenomena yang layak disebut sebagai sejuta kopi seribu strategi di atas harus bisa menjadi pelajaran penting. Tidak hanya oleh pelaku usaha bisnis ekonomi. Tapi juga meluas hingga ke pelaku penyediaan layanan publik. Pelajarannya, untuk kemajuan lembaga, janganlah pernah berhenti berinovasi. Jangan pernah kehabisan energi untuk gagasan dan praktik baru yang berarti. Termasuk bagaimana melakukan diferensiasi atas berbagai layanan yang diproduksi. Lalu, diferensiasi itu bisa membuat produk layanan dekat di hati. Hingga sebanyak-banyaknya jumlah pengguna atau konsumen layanan pun bisa diraih dengan kualitas yang tinggi.
Dan penting untuk tidak lupa, masing-masing usaha penyedia layanan selalu memutar otak untuk kepentingan penguatan marketabilitas produk yang dihasilkan. Termasuk dalam hal ini adalah penyedia layanan pendidikan. Pendidikan tinggi pun tak terkecuali. Semua harus memperkuat daya inovasi. Untuk penciptaan strategi peningkatan efektivitas dan efisiensi hadirnya produk layanan di sebanyak-banyaknya konsumen yang bisa berbeda di sana-sini. Kepentingannya untuk meraih kinerja yang tinggi. Demi masa depan yang lebih berarti.