Berita

@adminuinsa

Monday, 14 March 2022

PROF. AMRAN SUADI: INTERKONEKSI SISTEM PENTING UNTUK PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK

UINSA Newsroom, Senin (14/03/2022); “Proses eksekusi terkadang menuntut biaya tinggi dan tidak sepadan dengan nominal putusan yang hendak dieksekusi. Dimana besarnya nafkah yang diberikan suami kepada istri dan anak seringkali tidak sebanding dengan besaran biaya eksekusi. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan dipandang layaknya sekedar ‘macan kertas.’ Yang hanya berwibawa pada tulisan, tapi lemah dalam pelaksanaan.”

Kegelisahan akan fenomena banyaknya laporan di Pengadilan Agama terkait kelalaian ‘mantan suami’ menjalankan kewajiban membayar nafkah ‘mantan istri’ pasca perceraian membawa Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M., meraih gelar tertinggi Guru Besar Bidang Ilmu Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Peradilan Agama Islam pada UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.

Prosesi Sidang Senat Terbuka dalam rangka Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syariah dan Hukum UINSA Surabaya ini digelar di Gedung Sport Center and Multipurpose UINSA Surabaya, Senin, 14 Maret 2022. Pengukuhan ini dihadiri segenap kolega dan tamu kehormatan dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Pengadilan Tinggi Agama-Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara seluruh Indonesia, serta civitas akademika UINSA Surabaya dan tamu undangan lainnya.

Prof. Amran dalam kesempatan ini menyampaikan orasi ilmiah bertajuk, “Jaminan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan anak berbasis Interkoneksi Sistem (Sebuah Pemikiran Metabolisme Biological Justice).” Dalam orasinya, Prof. Amran menyampaikan, bahwa perempuan dan anak secara fisik dipandang sebagai entitas/kelompok yang rentan terhadap proses domestifikasi sistem budaya patriarki. “Kondisi ini rentan membuat perempuan dan anak menjadi objek kekerasan dan terabaikan hak-hak dasarnya secara manusiawi,” ujar Ketua Kamar Agama MA RI tersebut membuka orasi ilmiah.

Salah satu isu tentang perlindungan perempuan dan anak di pengadilan, sebagaimana dijelaskan Prof. Amran, adalah persoalan efektifitas pelaksanaan putusan hakim mengenai hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Hal ini dinilai Prof. Amran, masih menjadi pekerjaan rumah yang menuntut perhatian besar mengingat sistem pelaksanaan putusan perkara akibat perceraian yang masih lemah.

Tingginya biaya eksekusi perceraian dibandingkan nominal putusan yang akan dieksekusi seolah menegaskan inferiornya posisi perempuan dan anak dalam perkara hukum keluarga. Karenanya, dalam forum ini Prof. Amran menegaskan pentingnya untuk menjamin hak-hak perempuan dan anak melalui berbagai langkah strategis. Melalui subtansi hukum, struktur hukum, kultur hukum, serta pembaruan sistem yang saling terkoneksi.

“Jaminan perlindungan hukum pada perempuan dan anak sebenarnya telah diatur dalam konstitusi yang secara umum menyebutkan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan (Pasal 28D UUD NRI 1945),” tegas Prof. Amran.

Namun, lanjut Prof. Amran, dalam konteks penegakan hukum seringkali pemaknaan tersebut menguap. Sehingga dalam peraturan perundang-undangan dinilai perlu ditulis laki-laki dan perempuan untuk menunjukkan ketegasan hukum. “Prinsip persamaan tersebut merupakan salah satu bagian dari prinsip keadilan yang harus kita tegakkan,” imbuh Prof. Amran.

Lebih lanjut dijelaskan Prof. Amran, Interkoneksi Sistem yang disebut dalam orasi ilmiah ini adalah pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui pengadilan dengan melibatkan lembaga non yudikatif secara terintegrasi sesuai kewenangan masing-masing tanpa melalui proses permohonan eksekusi.

Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan dalam mewujudkan Interkoneksi Sistem yakni, membangun database terpadu antara lembaga peradilan dengan kementerian terkait. Membangun koordinasi antara Mahkamah Agung dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian lembaga terkait.

Dalam forum ini, Prof. Amran menyampaikan beberapa kesimpulan. Bahwa negara diharapkan menginisiasi dan memperkuat komitmen untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Selanjutnya, hakim sebagai penegak hukum harus memahami dan menerapkan prinsip metabolisme biological justice bagi jaminan perlindungan perempuan dan anak pasca perceraian. “Interkoneksi sistem pelaksanaan putusan pengadilan bagi perlindungan hak-hak perempuan dan anak merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kepastian hukum,” tukas Prof. Amran menyampaikan simpulan. (All/Humas)