Saturday, 20 August 2022
Pasang surut hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok mewarnai hubungan government to government (G to G) kedua negara dalam lintasan sejarah. Di era kolonial, etnis Tionghoa dan Jawa bersatu melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1740-1743. Perang ini dipicu oleh pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia yg memakan korban jiwa lebih dari 10.000 orang. Di awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nasionalisme dan semangat primordialisme Pemerintah Indonesia meningkat bersamaan dengan situasi global, yaitu Perang Dingin (Persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet), yang berupaya membatasi pengaruh Sosialis-Komunis di Indonesia. Inpres No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok adalah buktinya.
Di era millenial, terjadi peningkatan hubungan secara drastis. Pencabutan Inpres Tahun 1967 oleh Presiden Gus Dur mengawali intensitas hubungan keduanya. Khonghucu diakui sebagai agama, Imlek menjadi hari libur bersama. Hingga kini, Pemerintah Indonesia sangat intens menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok. Kesempatan investasi asing dibuka, ditengah pro dan kontra yang terjadi.
Terlepas dari pasang surut hubungan bilateral G to G diatas, hendaknya kita bisa melihat ke belakang dengan arif dan bijak. Sejarah mencatat bahwa proses Islamisasi Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran Tionghoa. Demikian juga dengan terbentuknya kebangsaan kita. Etnis Tionghoa, bersama dengan etnis Melayu dan etnis Austro-Melanesia, bersama-sama membentuk kebangsaan Indonesia.
Maka kita harus meningkatkan hubungan antar masyarakat (people to people) antara Indonesia dan Tiongkok yg Apolitis dan berkesinambungan. Menyuarakan tradisi Timur ke pentas dunia menjadi niscaya, dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dan Indonesia. Bersatu untuk perdamaian dunia. Semoga (Fathoni Hakim).
Gambar adalah keterangan memberi sambutan dalam seminar “People to People Connectivity & Dialogue Among Civilizations” yang dihadiri oleh; Mr. Ji Bingxuan (Wakil Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional RRT); Mr. Xiao Qian (Duta Besar RRT di Indonesia); Mr. Gu Jingqi (Konsul Jenderal RRT di Surabaya); Ketua Pusat Kajian Indonesia-Tiongkok (PUSKIT) UIN Sunan Ampel Surabaya Ridha Amaliyah; Peneliti senior PUSKIT, Zaky Ismail, Abid Rohman Utsmani; Delegasi Chinese Corner UNWAHAS Semarang, Joko Purwanto; dan Para Guru Besar dan Akademisi UGM, UNY, UNNES dll.