Column

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., Guru Besar UINSA Surabaya
  1. Pengertian

Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah (sehari sebelum idul adha). Puasa Arafah tidak harus bersamaan waktunya dengan wukuf haji di Arafah, Makkah. Sebab, waktu di Makkah tidak selalu sama dengan waktu di negara lain, sebagaimana perbedaan waktu shalat, puasa Ramadan, dan sebagainya.  

  • Hukum dan Dasarnya

Puasa Arafah dianjurkan (sunah) hanya bagi orang yang tidak berhaji, berdasar sabda Nabi SAW,  

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ سُئِلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ

عَرَفَةَ ؟  قَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Abu Qatadah r.a berkata, “Rasulullah SAW ditanya tentang puasa Arafah  (9 Dzulhijjah), lalu ia menjawab, “Puasa Arafah menghapus dosa pada tahun yang lewat, dan tahun berikutnya” (HR. Muslim).

          Sedangkan orang yang berhaji dilarang berpuasa Arafah, berdasar hadis,

نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ

“Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah di padang Arafah” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah r.a)

Tanggal 9 Dzulhijjah disebut hari arafah. Sebab, dalam sejarah, pada tanggal itu, Nabi Ibrahim, a.s mengetahui (dalam bahasa Arab: ‘arafa) bahwa perintah menyembelih anaknya, Ismail dalam mimpi itu benar-benar dari Allah, bukan dari setan. Maka, esok harinya (tanggal 10 Dzulhijjah) Nabi Ibrahim a.s menyembelih Ismail setelah berdialog dengannya. 

  • Berlomba Ibadah 1-10 Dzulhijjah

Antara tanggal 1-10 Dzulhijjah, kita tidak hanya dianjurkan berpuasa Arafah. Nabi SAW juga menganjurkan berlomba-lomba ibadah lainnya pada hari-hari itu. Sebab, semua perbuatan baik pada hari-hari tersebut dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Nabi SAW bersabda,  

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قاَلَ قَالَ رسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا مِنْ أَيَّامٍ،

اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ، يَعْنِيْ  أَيَّامَ الْعَشْرِ ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ،

وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ ؟ قَالَ  وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ ، إِلَّا رَجُلٌ خَرجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ

فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْئٍ ، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Ibnu Abbas, r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada perbuatan baik yang lebih dicintai Allah melebihi perbuatan baik yang dikerjakan pada hari-hari ini, yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah berperang (berjuang) demi agama Allah termasuk perbuatan yang tidak lebih baik (dari perbuatan baik pada 10 hari Dzulhijjah) itu?” “Benar, berperang (berjuang) di jalan Allah tidak lebih baik daripada perbuatan baik pada 10 hari Dzulhijjah, kecuali jika pejuang itu berangkat dengan jiwa dan hartanya, lalu semuanya (jiwa dan hartanya) tidak kembali (yaitu mati syahid)” (HR. Al Bukhari) (Kitab Dalilul Falihin, Juz 4: 55)

          Dalam Al Qur’an, Allah SWT juga bersumpah tentang keistimewaan 10 hari pertama Dzulhijjah,

وَٱلْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar. Demi malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr [89]:1-2).

Kata malam dalam Al Qur’an bisa juga berarti siang hari. Menurut beberapa ahli tafsir, yang dimaksud fajar dan malam yang sepuluh adalah: (1) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah (menurut Ibnu Abbas dan Mujahid), (2) sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadan sampai terbitnya fajar (menurut Ar Razy), (3) sepuluh hari pertama bulan Muharram (menurut Ibnu Jarir), (4) lima malam pada awal bulan, dan lima malam pada akhir bulan, yaitu malam-malam yang gelap sampai terbitnya fajar (menurut Muhammad Abduh).

Bagi orang yang berhaji, tanggal 1 Dzulhijjah adalah persiapan menyeluruh ibadah haji. Hari ke delapan (tarwiyah) bersiap-siap secara fisik dan mental, pergi ke Arafah untuk wukuf pada esok harinya (9 Dzulhijjah), sebagai puncak ibadah haji. Pada hari kesepuluh (yaumun nahr), meraka melempar jumrah di Mina dengan melewati malam di Muzdalifah. Lalu, thawaf Ifadhah dan sa’i. Maka, tuntaslah rangkaian ibadah haji hari itu juga. 

Bagi yang tidak berhaji, Allah memberi kesempatan ibadah pada 10 hari Dzulhijjah itu agar meraih kemuliaan seperti kemuliaan para pehaji, yaitu puasa, shalat malam, berzikir, sedekah, mendalami ilmu, dan sebagainya. Lalu, diakhiri dengan memotong hewan kurban pada hari kesepuluh (idul adha).

Dalam sepuluh hari Dzulhijjah itu, orang yang hendak menyembelih hewan kurban, dianjurkan untuk tidak memotong rambut dan kuku hewan tersebut. Nabi SAW bersabda, 

إذا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ

“Jika kamu melihat bulan (tanggal 1) Dzulhijjah, dan seorang di antara kamu bermaksud menyembeilh hewan kurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia menyembelihnya” (HR. Muslim dari Ummu Salamah, r.a)

Ada juga yang berpendapat, hadis ini berisi larangan bagi pengurban memotong rambut dan kukunya sendiri dengan maksud ikut memuliakan ibadah haji sebagaimana yang dilakukan para pehaji selama ihram. Tapi, saya lebih condong mengikuti pendapat Dr. H. Zainuddin MZ, LC, MA, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan, bukan rambut dan kuku pengurban.

Ibadah puasa mulai tanggal 1-10 Dzulhijjah itu amat istimewa, sebab bulan Dzulhijjah adalah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah. Tiga lainnya adalah Dzulqa’dah, Muharram dan Rajab. Nabi SAW bersabda,

عَنْ أبِي مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِي أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ صُمْ فِي الْحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ فِي الْحُرُمِ وَاتْرُكْ (رواه أحمد وأبو داود)

Diceritakan oleh Abu Mujibah al-Bahili, bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya, “Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkan, berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Nabi berkata demikian sambil menggenggam tiga jari tangannya dan melepaskan (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Al Baihaqi dengan sanad yang kuat) (Kitab Fiqh Sunnah oleh Sayid Sabiq, 3: 205).

Di antara puasa tanggal 1-10 Dzulhijjah, yang tertinggi nilai dan pahalanya adalah berpuasa Arafah (9 Dzulhijjah), sebagaimana disebutkan sebelumnya. Jika ditambah puasa sehari lagi, yaitu puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga lebih baik.

Tanggal 8 Dzulhijjah disebut hari tarwiyah, sebab dalam sejarah, pada tanggal itu, Nabi Ibrahim a.s masih ragu dengan mimpi yang berisi perintah menyembelih anaknya, Ismail. Ia berpikir, bertanya-tanya dalam hati apakah mimpi itu dari Allah atau dari setan. Tarwiyah berasal dari kata, “rawwa, yurawwi, tarwiyah” yang artinya merenung, berpikir dan bertanya-tanya dalam hati tentang sesuatu. Kata tarwiyah bisa juga berasal dari kata tarawwa, yang artinya membawa air. Dalam sejarah, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu, orang yang berhaji membawa air zamzam untuk persiapan wukuf di Arafah pada esok harinya (9 Dzulhijjah).

Bagi Anda yang sudah biasa berpuasa tarwiyah untuk melengkapi puasa Arafah, maka gunakan dua ayat pembuka Surat Al Fajr dan dua hadis di atas sebagai pegangan. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kita untuk mengisi sepuluh hari pertama Dzulhijjah dengan puasa sepenuhnya dan ibadah-ibadah lainnya. (Surabaya, 02 Juli 2022/02 Dzulhijjah 1443, disarikan oleh Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag).

Sumber: (1) Al Maliki, Ahmad As-Shawi, Hasyiyah As-Shawi, Juz 4, Darul Fikr, Lebanon, 1414/1993, p. 418, (2) As-Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Dar Al  Kitab Al ‘Arabi, Bairut, Lebanon, 1973, Cet II., (3) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, vol. 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 285-287, (4)  Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy, Dalilul Falihin, juz 4, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, Lebanon, tt. p.55-56, (5) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 30, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 124-125, (6) Dr. H. zainuddin MZ, Lc, MA, direktur Turats Nabawi, Pusat Studi Hadits, PWMU, https://pwmu.co/153842/07/10/larangan-potong-kuku-dan-rambut-untuk-pengurban-atau-hewan-kurban/