Articles

Kantor berita Antara pada tanggal 18 Juli 1946 mewartakan pidato bung Hatta “yang ditujukan kepada dunia” ia menyampaikan pidato melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Pidato tersebut adalah maklumat penting yang merangkum pemikiran dan harapan Republik Indonesia dalam sebelas bulan terakhir perjuangannya yang belum selesai, dan baru berdiri itu.

Di awal pidato, Hatta berucap tentang jawaban mengapa perayaan kemerdekaan dirayakan setiap bulan, (karena memang di masa awal itu, peringatan kemerdekaan dirayakan setiap bulan) jawabnya, “oleh karena sejarah kemerdekaan kita baru berbilang bulan”. Tapi Hatta berani memprediksi bahwa di masa yang akan datang bangsa Indonesia akan merayakan HUT kemerdekaannya sekali dalam setahun, mengingat bahwa harapan Hatta ini diucapkan ketika Republik Indonesia masih 11 bulan, Hatta sendiri pada saat itu jelas belum tahu apakah Indonesia masih bisa akan bertahan hingga bulan ke-12 dan seterusnya.

Kepercayaan dan keyakinan Hatta akan dapat merayakan kemerdekaannya setiap tahun ini sangatlah penting, mengingat konflik bersenjata yang masih terus pecah antara Republik Indonesia dengan Belanda dan Inggris serta berbagai pertikaian internal di kalangan pejuang Indonesia sendiri. Problema tersebut, bila tidak diatasi pada akhirnya dapat berujung pada robohnya Republik yang baru berdiri ini.

Dalam satu bagian dari pidatonya terucaplah kata panta rei, sebuah kata yang bisa dirujuk pada Herakleitos, seorang Filosof Yunani yang dapat diartikan dengan; semuanya mengalir. Menurut konsepsi Hatta, dengan tambahan arti; berlalu, tiada kembali pada awalnya. Kemerdekaan yang sudah dicetuskan pasti akan dipertahankan meskipun dengan berbagai cara, Mengalir dengan tujuan. Jika diartikan dalam konsepsi sejarah dapat dimaknai tidak ada yang tidak berubah, semuanya mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Keyakinan yang mengalir dan berubah ini pada geraknya terus membawa perubahan akan datangnya kemerdekaan hakiki dan kemanusiaan.

Hatta juga menaruh perhatian pada  masa depan, apa yang dilakukan pada saat ini tentunya juga akan berakibat pada masa yang akan datang, kemerdekaan yang sudah dikumandangkan merupakan benih  zaman datang yang akan menumbuhkan pohon sejarah untuk negara Indonesia. Imajinasi yang berani tentang masa depan kemerdekaan ini terus dikumandangkan oleh Hatta, yang oleh The Voice of Free Indonesia, edisi No. 28, 3 Agustus 1946 sebuah  majalah asing berbahasa Inggris yang sering jadi rujukan jurnalis asing memberi judul “Indonesia Wants Peace: But is ready for a struggle”.

Semangat Hatta yang terkenal jujur, disiplin, sederhana, santun, agamis dan kecintaannya terhadap tanah air.  layak dijadikan pelecut semangat untuk mewujudkan masyarakat berpengetahuan, berkarakter, dan berbudaya melalui nilai-nilai nasionalisme. Di samping itu Hatta juga terkenal sebagai ahli ekonomi yang mengubah asas kapitalisme menjadi kekeluargaan, serta memperkuat asas kolektivisme berdasarkan adat istiadat bangsa ini yakni gotong-royong menjadi semangat ekonomi kerakyatan, sehingga Kongres Koperasi II pada 17 Juli 1953 di Bandung, Jawa Barat. Memberikan gelar bapak koperasi Indonesia, dan tanggal inilah yang dijadikan sebagai momentum hari koperasi Indonesia.

Dalam diri bung banyak hal yang dapat dijadikan sumber inspirasi integritas dan etika yakni cerita tentang potongan iklan sepatu Bally sebagai penanda di bukunya yang tak terbeli, pemotongan nilai mata uang (senering) yang mengakibatkan tabungan istrinya menyusut sehingga tidak bisa digunakan untuk membeli mesin jahit (rahasia negara, istrinya pun tidak diberitahukan dahulu), pengembalian sisa uang pengobatan di Bangkok meskipun sudah jadi haknya, merupakan keteladanan dan keteguhan integritas yang di masa sekarang sangat sulit ditemukan apalagi dalam jenjang jabatan publik. Berbanding dengan di masyarakat dalam dua pekan terakhir ini ramai juga “gunjingan” publik tentang sidang etik DKPP KPU RI yang sebelumnya juga dikaitkan dengan sidang MKMK.

Khazanah pemikiran di awal Republik ini berdiri sangatlah menarik untuk dikaji, sebagai contoh Soekarno dengan Nasakom, Natsir dengan Theistic Democracy,  Hatta dengan Ekonomi Kerakyatan­nya, serta beberapa pemikir – pejuang lain yang ada di persimpangan jalan republik, (silahkan baca Majalah Tempo yang pernah mengeluarkan edisi khusus tentang sepak terjang dan pemikiran para tokoh tokoh bangsa ini dengan tiga kategori yakni, Serangkai Pendiri Republik, Tokoh Islam di awal kemerdekaan, dan Orang Kiri di Indonesia). selain keberanian dan keteguhan pada pilihan hidup dan perjuangan, ada nilai etika dan sopan santun yang tetap terjaga.

Kampus sebagai salah satu penjaga suar ilmu pengetahuan dan kemanusiaan tentunya bisa membaca dan mempersiapkan tanda tanda zaman ini dengan menanam bibit yang baik, sehingga nanti benih yang baik akan tumbuh dan  berkecambah (proses terus untuk menjadi) pohon sejarah yang baik. UINSA terutama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dengan Prodi Pemikiran Politik Islamnya menjadi tempat akar (dasar) kajian Alquran, hadith serta mashadirul hukmi (sumber hukum lain) tentunya dapat menjadi tempat menanam benih dari pada zaman yang akan datang yang lebih baik. Semoga

[M. Anas Fakhruddin, S.Th.I., M.Si.; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]