Articles

Menyimak presentasi Prof. Jeffrey D. Sachs di hadapan parlemen Eropa (21/2/2025) seolah mendapatkan ringkasan bernas mengenai sejarah dan jantung realitas geopolitik dunia yang terjadi sejak berakhirnya Perang Dingin 1991. Tidak saja tentang nafsu unipolaristik Amerika Serikat selama ini secara global. Tetapi juga tentang kedalaman pengaruh lobi Israel terhadap arah kebijakan Paman Sam di Timur Tengah. Dan tentu saja, bagaimana dan mengapa perang Ukraina bermula dan seperti apa kemungkinan kelanjutannya usai kembalinya Trump ke Kantor Oval. Tampaknya Sachs sangat berharap bahwa Eropa akan berani melangkah untuk menjadi kekuatan yang memiliki format kebijakan luar negerinya sendiri dan tak hanya mengekor rekan NATO-nya di Amerika Utara. Termasuk dalam mempertimbangkan pola hubungan baru dengan Rusia dan China untuk kepentingan jangka panjang Benua Biru. Guru Besar Universitas Columbia ini bahkan mengulang hingga dua kali adagium dari Henri Kissinger agar Eropa tak melulu mengamini semua kehendak Gedung Putih, “To be an enemy of America can be dangerous, but to be a friend is fatal.”

Penulis mendengarkan kembali paparan tersebut ketika seorang kawan lama memberi info jika sudah pulang dari Amerika Serikat dan kembali aktif mengajar di Indonesia. Ia membukanya dengan cerita jika di Jalan Magelang, Yogyakarta, sempat terkejut karena menyangka berpapasan dengan penulis, ternyata bukan. Terbayang betapa pasaran-nya wajah ini, meski sempat membatin, apakah kejadian itu terhubung dengan beberapa hari sebelumnya di mana penulis memang ‘mengingat’ dan ‘penasaran’ bagaimana kabar terakhirnya. Ini terjadi saat sedang muraja’ah beberapa referensi yang dipakai dalam diskusi di kelas Sejarah Minoritas Muslim yang penulis ampu. Mencoba merangkai gambaran utuh tentang kehidupan komunitas Muslim di Amerika Utara dan Eropa. Termasuk kekhawatiran mereka sebagai minoritas terhadap intensitas Islamophobia dan diskriminasi.

Suatu fenomena historis yang awalnya tampak cukup asing bagi mahasiswa yang merupakan bagian dari mayoritas di negara Muslim terbesar di dunia ini. Tak terbayangkan bagaimana Muslim di berbagai negara lain tersebut bisa menghadapi represi dan kekerasan hanya karena identitas dan budaya keagamaan mereka. Mengapa dan bagaimana ceritanya hingga mereka bisa menjadi target kecurigaan bahkan kebencian dari kelompok agama atau sosial lainnya. Tetapi hal ini juga merupakan jembatan yang efektif untuk mengajak mahasiswa melakukan retrospeksi tentang kehidupan keberagamaan di Indonesia, terutama yang menyangkut relasi antar komunitas beragama. Sementara mereka prihatin dan geram menyaksikan apa yang dialami minoritas Muslim tersebut, bukankah suatu yang bijak untuk memiliki keprihatinan dan kegeraman yang serupa jika hal yang sama terjadi di sini, dialami oleh saudara sebangsa yang merupakan bagian dari kelompok minoritas agama di tanah airnya.

Belajar sejarah di Prodi Sejarah Peradaban Islam FAH UINSA ini bukanlah proses yang memampukan seseorang untuk sekedar mengenali deretan peristiwa yang pernah terjadi dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi lebih merupakan ikhtiar memahami telingkah dari kompleksitas gagasan dan ramifikasi kepentingan yang saling berjuang untuk bisa bertahan hidup (the complexity of contested ideas and interests). Tantangannya tentu terletak pada pendekatan dan cara yang bisa menjadikan proses belajar tersebut mudah. Ditambah hidden curriculum yang juga harus selalu disemai dalam kesadaran mahasiswa, yaitu menghayati Islam sebagai agama yang mengajarkan optimisme dan harapan (the religion of hope). Daya nalar dan keyakinan (the energy of reason and faith) yang memperlengkapi manusia dengan segala keterbatasan insaninya untuk tetap tangguh mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi (the religion of transformation). Agama yang dibaca sebagai lentera yang harus menyala lebih terang justru ketika menusia berada di fase gelap peradabannya. Suara nyaring yang tak henti berteriak mengingatkan bahwa manusia selalu akan memiliki pilihan untuk berubah dan mengubah. Ia bisa terus berusaha untuk meraih dan mewujudkan kehidupan yang dipandang lebih baik dan diyakini lebih mulia. They have choices!

Konstruksi epistemik semacam ini penulis yakini kian relevan dan dibutuhkan bagi mahasiswa dalam belajar, terutama di tengah arus pemberitaan tentang ketidakpastian global (global uncertainty) dan bayangan muram situasi dan kondisi nasional. Belum bisa dipastikan, bagaimana ujung drama politik di dunia Barat saat ini sekaligus pengaruh dan dampaknya bagi kehidupan minoritas Muslim yang ada di sana. Sementara rentetan pengungkapan kasus korupsi gila-gilaan di Indonesia juga belum cukup meyakinkan penduduk negeri ini. Apakah hal tersebut akan menjadi titik tolak bagi rezim Prabowo-Gibran untuk memperbaiki kehidupan bangsa ini atau justru tak lebih dari sekedar riak-riak selebrasi pergantian pemain yang akan melanggengkan praktik serupa. Waktu tentu akan menjawabnya.

Bagi penulis, penting untuk membawa realitas sejarah ke ruang kuliah, agar mahasiswa bisa mendiskusikan data dan fakta tanpa terputus dari ruang-hidup historisnya. Apakah dalam perjalanannya, mereka akan mendapati komedi, tragedi, atau melodrama dalam sejarah, let it happen!  Biarlah mereka menginsyafi dan sekaligus belajar menikmati bagaimana hidup ini dipahami dan dihayati. Ternyata di dunia ini, ada sebagaian manusia menggunakan lensa Apollonian untuk memotretnya, sedangkan sebagian yang lain lebih memilih lensa Dionysian untuk menyentuhnya. This is the life!
____________
Ditulis oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Kaprodi Sejarah Peradaban Islam FAH UIN Sunan Ampel Surabaya

Kolom lainnya oleh penulis:

Manusia Kampus dan Kemanusian Pertamax-nya
Tiga Siti di Sisi Tiga Lelaki
Demonisasi Maskulinitas di Balik Sakralitas Tubuh Perempuan
– Efek Janda dalam Pendidikan
– Cara Guru/Dosen Menikmati ‘Hadiah’ dari Kekasih
– Tiga Alasan Ngeri Menjadi Guru/Dosen Hari Gini
– Dilema Cinta Prodi SPI UIN Sunan Ampel Surabaya
– Segitiga Cinta Pengabdian Para Pegawai di UIN Sunan Ampel Surabaya