Dr. Slamet Muliono Redjosari
Rasul yang diutus Allah tidak pernah memiliki hasrat atau kehendak dalam menyampaikan risalah kecuali atas perintah-Nya. Perintah itu pun tidak lain kecuali mentauhidkan-Nya dengan menghilangkan tuhan-tuhan semu. Misi Tunggal inilah yang membuat jarak antara dirinya sebagai utusan dengan kaumnya. Tidak jarang terjadi perlawanan berupa ancaman, pengusiran, hingga pembunuhan padanya. Namun pertolongan Allah datang menghinakan para penyembah tuhan semu yang terus memusuhi hingga akhir hayatnya.
Utusan Sebagai Rahmat
Para pembenci rasul seringkali didasarkan pada asumsi bahwa pengakuan sebagai rasul karena adanya keinginan pribadi untuk mencapai tujuan terselubung. Padahal, seorang rasul tidak pernah terbetik dalam pikirannya untuk menjadi utusan, kecuali karena ditunjuk atau ditetapkan Allah.
Penetapan sebagai rasul merupakan pilihan Allah sekaligus sebagai rahmat besar baginya. Misi yang diemban utusan Allah juga amat besar, yakni mentauhidkan Allah dan melakukan perlawanan terhadap penyembahan tuhan-tuhan semu. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَمَا كُنتَ تَرۡجُوٓاْ أَن يُلۡقَىٰٓ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبُ إِلَّا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرٗا لِّلۡكَٰفِرِينَ
Artinya:
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhan-mu sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. (QS. Al-Qaşaş : 86)
Pengakuan sebagai utusan Allah ini melahirkan kegundahan dan sakit hati bagi para penyembah tuhan semu. Mereka bukan hanya membenci rasul tetapi ajarannya juga. Oleh karenanya, mereka ini disebut sebagai orang kafir. Watak kafir ini memvonis rasul dengan berbagai tuduhan, seperti menuduh orang gila, pencari popularitas atau pengejar kedudukan dan posisi tersohor. Padahal apa yang diemban oleh seorang utusan tidak lain agar manusia meninggalkan sesembahan dan mengajaknya untuk menjadikan Allah sebagai sesembahan tunggal.
Penyembahan tunggal hanya kepada Allah merupakan misi tunggal yang diembankan kepada seluruh para utusan-Nya. Namun orang-orang kafir pun meragukan hal ini. untuk meyakinkan hal itu, maka Allah menegaskan dengan meminta konfirmasi kepada para rasul dari berbagai generasi apakah ada tujuan lain selain mentauhidkan-Nya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَسۡـَٔلۡ مَنۡ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلۡنَا مِن دُونِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ءَالِهَةٗ يُعۡبَدُونَ
Artinya:
Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?” (QS. Az-Zukhruf : 45)
Kekompakan dan kesatuan misi para utusan untuk menegakkan tauhid ini berjalan di setiap generasi. Artinya praktek penyembahan berhala merupakan bentuk penyimpangan besar sehingga Allah mengutus rasul untuk meluruskannya kembali. Apa yang disampaikan Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Isa hingga Nabi Muhammad menegaskan secara kuat bahwa Allah wajib disembah dan tuhan-tuhan semu ditinggalkan.
Tuhan Langit-Bumi
Allah wajib disembah karena semua makhluk yang ada di langit maupun di bumi merupakan ciptaan-Nya. Artinya tidak ada satu pun yang muncul dan lahir di muka bumi atau dari atas langit kecuali atas kehendak-Nya. Bahkan seluruh kehidupan dan kematian semua makhluk sangat bergantung pada kehendak-Nya. Oleh karenanya, pantas apabila seluruh makhluk mengagungkan-Nya tanpa ada yang menyelisihi hal itu.
Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh makhluk besar yang berada di langit, seperti bintang, bulan, matahari, awan, atau yang berada di bumi, seperti gunung, laut, sungai, semuanya di bawah kekuasaan-Nya. Oleh karenanya, sangat pantas apabila semua makhluk yang ada di langit maupun di bumi menyembah-Nya. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya :
وَهُوَ ٱلَّذِي فِي ٱلسَّمَآءِ إِلَٰهٞ وَفِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَٰهٞ ۚ وَهُوَ ٱلۡحَكِيمُ ٱلۡعَلِيمُ
Artinya:
Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Az-Zukhruf : 84)
Pengakuan Allah sebagai Tuhan yang disembah oleh makhluk bumi dan langit sangat layak dan pantas. Seluruh makhluk di langit seperti bintang, bulan, matahari berjalan di edarnya tanpa berhenti sejenak pun. Itu bentuk ketaatan dan kepatuhan mereka. Begitu pula makhluk yang ada di bumi seperti gunung yang kokoh di tempatnya, atau laut mengalirkan airnya tanpa henti, merupakan wujud kepatuhan untuk menjamin keberlangsungan hidup makhluk.
Dari semua makhluk di atas langit atau bumi, tidak ada satupun yang melakukan pembangkangan. Mereka tunduk dan patuh pada aturan-Nya. Sementara manusia yang diharapkan ketundukan dan kepatuhannya justru bertindak sebaliknya. Dalam realitasnya, manusia seringkali melakukan penyimpangan. Manusia diharapkan menyembah hanya kepada Allah, tetapi justru menyimpang dengan melakukan penyembahan kepada tuhan-tuhan semu.
Dengan kata lain, Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah tetapi manusia justru menciptakan berhala-berhala yang tidak lain merupakan ciptaan-Nya. Penyimpangan mendasar itu menjadi latar belakang Allah mengutus rasul untuk melakukan pendampingan kepada manusia. Rasul hadir di tengah komunitas yang menyimpang dengan menyampaikan berita-berita dari langit, guna menyisihkan bisikan jahat yang palsu dan menyesatkan. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
أَمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّا لَا نَسۡمَعُ سِرَّهُمۡ وَنَجۡوَىٰهُم ۚ بَلَىٰ وَرُسُلُنَا لَدَيۡهِمۡ يَكۡتُبُونَ
Artinya:
Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar) dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka. (QS. Az-Zukhruf : 80)
Kedatangan rasul itu untuk menyampaikan risalah tunggal untuk mentauhidkan Allah di tengah komunitas yang memberhalakan banyak tuhan. Hal itu merupakan misi besar seluruh rasul untuk mengubur tuhan-tuhan semu yang dibisikkan setan jahat yang menginginkan penyimpangan dalam berketuhanan.
Surabaya, 8 April 2025