Column

Pada Kamis, 22 Agustus 2024 sejumlah massa dari elemen buruh dan mahasiswa melakukan aksi demo di Tolak Ruu Pilkada di Gedung DPR RI dengan tajuk ‘Peringatan Darurat‘. Tidak itu saja bahkan pada kesempatan itu sederet artis dan komedian ibukota seperti Abdel Achrian atau yang dikenal sebagai Cing Abdel, Youtuber Jovial Da Lopez, Komika Arie Kriting, Bintang Emon, Yuda Keling, Rigen hingga Ebel Kobra juga ikut turun jalan. Tujuan demo adalah mendesak DPR untuk ‘patuh’ pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 tentang Pilkada 2024.

Mengantisipasi terhadap akan timbulnya anarkisme dari adanya demo dari sejumlah elemen massa mulai dari buruh hingga mahasiswa pihak kepolisian menyiapkan skema pengamanan. Yang mana kepolisian menurunkan ribuan personel aparat gabungan meliputi 1.273 personel yang ditempatkan di Patung Kuda, dan 2.013 personel di Gedung DPR-MPR.

Apa sebenarnya dengan permasalahan demo tolak RUU Pilkada di gedung DPR RI dari aspek pembangunan citra negara hukum?

Presisi Permasalahan

Demo tolak RUU Pilkada di gedung DPR RI adalah bahwa DPR ‘dianggap inkonstitusional’ alias “tidak mematuhi atau membangkang” dari Putusan MK Nomor 70/PUU-XXXII/2024 terkait dengan syarat usia calon kepala daerah yang dimohonkan Anthony Lee dan Fahrur Rozi. Menurut MK, bahwa persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon. Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Penegasan MK ini berkebalikan dengan tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) belum lama ini. MA melalui Putusan Nomor 24 P/HUM/2024, mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Sementara itu, keputusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tertuang dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora. Pada putusan tersebut MK mengabulkan permohonan pemohon untuk Sebagian. Pada putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Berdasarkan putusan MK tersebut, partai politik atau gabungan partai politik cukup memenuhi threshold ini untuk mengusung gubernur: (1) Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 10 persen; (2) Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 2-6 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 8,5 persen; (3) Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 6-12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 7,5 persen; dan (4) Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 6,5 persen.

Beberapa pihak merasa revisi UU Pilkada dilakukan untuk menganulir Putusan MK. DPR RI dinilai mengabaikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat calon kepala daerah. Badan Legislasi DPR RI untuk revisi UU Pilkada mendesain pembangkangan atas dua putusan MK kemarin.

Sinyalemen pembangkangan tersebut terindikasikan dari beberapa hal: Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pileg sebelumnya, suatu beleid yang dengan tegas sudah diputus MK bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan, meskipun MK kemarin menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU.

Di pihak lain MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah berlaku final dan mengikat (final and binding). Dan pada putusan terkait usia calon kepala daerah, majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.

Citra Negara Hukum

Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi  tersebut  dapat  dijelaskan  sebagai  berikut,  negara merupakan  organisasi  kekuasaan  berdasarkan  kedaulatan  rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun,  dibagi  dan  dibatasi,  serta  diawasi  baik  oleh  lembaga pengawasan   yang   mandiri   dan   merdeka   maupun   oleh   warga masyarakat,  sehingga  tidak  terjadi  pelanggaran  terhadap  hak-hak asasi  manusia.  Seandainya  unsur  jaminan  terhadap  hak-hak  asasi manusia   ini   ditiadakan   dari   konstitusi,   maka   penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.

Karena   esensi   dari   setiap   konstitusi   adalah   perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap   manusia   di   depan   hukum.   Tiadanya   kesamaan   akan menyebabkan  satu  pihak  merasa  lebih  tinggi  dari  pihak  lainnya, sehingga  akan  mengarah  pada  terjadinya  penguasaan  pihak  yang lebih  tinggi  kepada  yang  rendah.  Situasi  demikian  merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia,  dan  ini  berarti  redaksi  perlindungan  terhadap  hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.

Puncak dari negara hukum  adalah  terwujudkan citra hukum Nasional yaitu tercapaianya cita  atau  cita-cita  negara hukum  itu  sendiri.  Menurut Padmo  Wahjono (1993: 4-5), bahwa  cita-cita negara  hukum  Indonesia  termaktub  dalam  pokok-pokok  pikiranyang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Negara   melindungi   segenap   bangsa   Indonesia   dan   seluruh tumpah   darah   Indonesia   dengan   berdasar   atas   persatuan dengan   mewujudkan   keadilan   sosial   bagi   seluruh   rakyat Indonesia; (2) Negara hendak mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) Negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan; (4) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (UUD) maupun   hukum yang tidak tertulis (konvensi ketatanegaraan).

Cita-cita Negara hukum ini pada hakekatnya adalah Pancasila, falsafah   dasar Negara yang pokok-pokok rumusan tujuannya dalam bernegara adalah: (1) Memajukkan kesejahteraan umum; (2) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (3) Ikut    melaksanakan    ketertiban    dunia    yang    berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Penciptaan lebih lanjut cita-cita Negara hukum ini  dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mencerminkan kepentingan kepentingan perorangan maupun warga Negara secara kolektif di dalam bidang bermasyarakat, dan bernegara yang  didasarkan  pada  asas  bahwa setiap orang selaku perorangan maupun warganegara adalah sama kedudukannya  berdasarkan  hukum  dan  pemerintahan  dan  wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.

Menyikapi semua hal tersebut tentunya diperlukan kearifan dari semua pihak khususnya para wakil rakyat dan juga yang duduk pada semua lembaga negara. Mengapa? Karena Indonesia sudah menyatakan dirinya sebagai negara hukum dan harus menghormati supremasi hukum itu sendiri. Kalau bukan kita yang harus menghormati supremasi hukum itu sendiri lalu siapa lagi.