Oleh: Kunawi Basyir
Aktualisasi agama dan budaya terkait dengan Islam Jawa banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Di Yogyakarta dan di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, terdapat upacara ritual keagamaan yang lebih popular dengan sebutan Sekaten, tradisi hari lebaran ketupat yang pelaksanaannya lima hari setelah hari raya Idul Fitri. Sedang tradisi-tradisi yang selalu membumi bagi komunitas Islam di Jawa sampai sekarang banyak dijumpai seperti upacara telonan (upacara tiga bulan kehamilan), tingkeban (upacara tujuh bulan kehamilan), upacara babaran (upacara habis melahirkan), anak usia 36 hari diadakan upacara selapan, anak usia tujuh tahun diadakan upacara medun lemah (dalam Hindu lebih populer dengan sebutan uapacara pasang gigi). Pada saat manusia meninggal dunia, mulai hari pertama sampai hari ketujuh diadakan apacara kematian melalui acara tahlilan. Kemudian hari ke40, ke-100, hingga hari ke-1000 yang disebut dengan istilah nyewu. Upacara tahlilan juga diadakan setiap tahun utuk memperingati hari kematian sang mayat. Bentuk dan corak teologi lintas budaya ini menjadi ikon Islam Jawa. Keberadaan Islam seperti ini tidak begitu saja muncul secara otomatis akan tetapi melelui proses panjang melalui dialog, interaksi, akulturasi, dan habituasi oleh para ‘Ulama penyebar Islam di Jawa yang kemudian dinisbatkan pada Wali Songo. Corak Islam tersebut tidak ditemukan di daratan Arabaia karena Arab tidak mempunyai budaya tersebut. sehingga Niel Mulder menyebut Islam Universal dan Islam lokal.
Islam Jawa adalah sebuah agama ajarannya yang bersifat normatif dan berasal dari Tuhan yang kemudian diserap dan diakomodasikan dalam sebuah bentuk kebudayaan dengan tidak menghilangkan identitas Islamnya sehingga menjadi sebuah kultur yang mapan. Pemurnian Islam telah hilang dengan tidak mengurangi nilai-nilai teologi di dalamnya. Demikian juga Islam Arab telah melalui proses Arabisasi atau proses asimilasi dan identifikasi diri dengan budaya Timur Tengah (Arab) yang note bone nya bukan budaya Islam tapi agama Pagan yang seringkali kita sebut sebagai Paganisme. Sedang Islam Jawa yang selanjutnya disebut Islam Nusantara merupakan penguatan akar buadaya kita sendiri yang sudah menjadi institusi sosial yang mapan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai teologi Islam itu sendiri dalam hal ini Gus Dur menggunakan istilah Pribumisasi Islam. Maka dari itulah kita perlu penguatan pribumisasi Islam dengan cara melestarikan budaya-budaya yang ada agar tidak terjadi kerusakan budaya yang berujung pada disintegrasi bangsa..
Bagi Gus Dur bahwa pribumi Islam tidak merusak dan menghilangkan budaya asal karena agama dan budaya tidak saling mengalahkan tetapi saling mengisi dan selalu mutual. Relasi equal antara agama dan budaya mewujudkan nalar keagamaan yang berusaha membangun sebuah jembatan sebagai media untuk bertemunya agama dan budaya. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk menegosiasikan hubungan antara Islam, modernitas, dan lokalitas sehingga Islam sebagai agama yang memiliki lembaga serta komunitas dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu peran tersebut telah bergeser menjadi peran kontradiktif, artinya bahwa Islam sebagai institusi sosial dijadikan sebagai alat untuk menggerus ikhtiar perang melawan pembangunan nasional.
Perkawinan agama dan budaya perlu dikembangkan agar masyarakat bisa mempertahankan dan mengembangkan tradisi-tradisi leluhur kita sebagai identitas bangsa sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Komunitas muslim tentu mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda dengan komunitas lainnya, mereka dituntut untuk bisa dan mampu menunjukkan kemuliaan dalam hidupnya karena pada hakekatnya kemuliaan hidup manusia selalu diwarnai oleh kultur yang dimilikinya (Kuntowijoyo) Islam sebagai agama bukan seperti barang instan, akan tetapi mengalami proses sejarah cukup panjang yang terkait dengan perjalanan waktu dan tempat di mana Islam hadir. Dengan demikian, pribumisasi Islam diharapkan dapat menjawab klaim Islam otentik. Islam mempunyai teks dan konteks. Islam yang dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan kontek zaman dan ruang searah dengan perjalanan waktu dan perbedaan wilayah sebagai kunci untuk menginterpretasikan ajarannya.
Islam sebagai agama akan terus mengalami perubahan dan perkembangan dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi yang cukup dinamis. Islam adalah agama yang bersifat progresif, ia menghadapi suatu perubahan dan kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap ajaran Islam akan tetapi justru perubahan dan perkembangan teknologi dapat dilihat sebagai pemicu untuk memberikan respon secara kreatif dan bijaksana demi keutuhan Islam. Di sinilah Islam mempunyai karakter membebaskan, artinya bahwa Islam menjadi sebuah ajaran yang bisa menjawab problem-problem kemanusian secara universal.
Jika kita membuka sejarah kehadiran Islam di Indonesia, ia telah menghadapi tekanan budaya yang cukup kompleks, ia butuh waktu panjang untuk proses seleksi, dan evolusi secara menyeluruh, ia sadar bahwa dunia barunya berbeda dengan dunia sebelumnya baik dari segi sosial, budaya, dan sistem kepercayaan yang ada. Untuk menyatukan hal ini membutuhkan waktu panjang untuk beradaptasi dengan beberapa agama, kepercayaan dan keyakinan yang ada. Di sinilah awal tugas utama yang diemban oleh Islam adalah hendak membebaskan puritanisme, otentifikasi dengan tetap menjaga keberadaan kearifan lokal yang ada. Maka dengan demikian diperlukan penguatan pribumisasi Islam, ia berusaha untuk mempertahankan ideologi lokalitas kultural, bukan kultural yang terpusat (spread cultural ideology) dengan harapan tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang disebabkan oleh adanya paham keagamaan yang eksklusif yang cenderung puritan, sektarian, dan konservatif.
Agama merupakan sebuah petunjuk yang berasal dari Tuhan dan bersifat sakral, sedang budaya merupakan hasil karya dan cipta manusia sekaligus sebagai pedoman dan petunjuk yang berasal dari kesepakatan masyarakat. Keduanya selalu bersama dan berdampingan saling memberi dan menerima sehingga seringkali akulturasi di antara keduanya menghasilkan tata ritual tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Agama adalah sakral dan profan, artinya bahwa setiap agama bukan hanya sebuah kepercayaan seseorang terhadap yang transendental (praktik keagamaan) saja, akan tetapi agama juga merupakan tata perilaku seseorang setiap saat yang terkait dengan tradisi dan budaya keseharian (perilaku keagamaan (Emile Durkheim). Terjadinya teologi lintas budaya dalam Islam Lokal telah mengalami proses cukup panjang, yaitu melalui saling menyapa, interaksi, negosiasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Proses inilah yang kemudian menjadi sebuah pijakan untuk memahami dan menganalisis teologi lintas budaya.
Kedatangan Islam di pulau Jawa dengan seperangkat ajaran yang menyertainya telah membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap tatanan sosial baik dalam hal etika, norma dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan modal itu, Islam telah mampu membangkitkan semangat sosial dan menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama termasuk di dalamnya merawat dan mengembangkan budaya yang sudah mapan, seperti budaya dan tradisi dalam upacara sikulus kehidupan. Upaya seperti inilah yang kemudian menghasilkan sebuah peradaban baru yaitu peradaban Islam Jawa.
Dalam perkembangan selanjutnya Islam mampu memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap kemajuan peradaban Indonesia. Kehadiran Islam tidak serta merta menyerap begitu saja akan wujud kebudayaan yang ada, tetapi difilter dan disinergikan dengan nilai-nilai ke-islaman dengan cara tidak merusak budaya sebelumnya. Seperti contoh tradisi dan ritual keagamaan sebagaimana kita sebutkan sebelumnya diisi dengan bacaan ayat-ayat Alqur’an dan menggunakan do’a yang bisaanya digunakan ‘Ulama Islam. Cara seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mudah dipahami dan diserap oleh masyarakat Jawa. Karena memilih rumah nya sendiri untuk berteduh sehingga bisa tumbuh dan berkembang dengan sempurna yang pada selanjutnya bisa menguasai agama-agama yang ada di Indonesia dengan pertumbuhan di atas 85%. Islam Jawa yang popular dengan sebutan Islam Nusantara bukan hanya moncer di Indonesia saja akan tetapi meluas sampai Asia Tenggara dan negara-negara lain di dunia.