Column

Oleh: H. Saiful Jazil
(Kepala Pusat Ma’had al-Jami’ah dan Guru Besar Bidang Fikih UIN Sunan Ampel Surabaya)

Di berbagai kampus di Indonesia baik negeri maupun swasta, termasuk UIN Sunan Ampel, mulai kedatangan keluarga baru dengan jumlah yang tidak sedikit, yakni mahasiswa baru (MaBa) dari berbagai jurusan. Kehadiran mereka ke kampus dalam rangka belajar akan menjadi potret masa depan kehidupan beragama dan berbangsa. Artinya, untuk melihat masa depan itu, sebenarnya bergantung bagaimana mahasiswa _termasuk pada civitas kampus_ berproses dalam meneguhkan kualitas dirinya.

Mahasiswa baru yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi adalah salah satu dari takdir yang dititahkan oleh Allah SWT kepadanya. Mengingat tidak semua orang, bisa ditakdir bisa melanjutkan pendidikan perguruan tinggi, walau secara finansial seseorang itu memiliki kekayaan melimpah. Bukankah tidak sedikit orang yang rizkinya tidak begitu cukup, bahkan cenderung kurang, ia lebih semangat dalam menikmati segala proses pendidikan sehingga tidak hanya berpikir tugas-tugas akademik, tapi juga mencari solusi atas problem keuangan agar kiranya proses kuliah yang dilakukan tidak “magak”.

Oleh karenanya, kematangan sejak dini dalam bersikap dan berpikir dalam proses pendidikan itu penting bagi siapapun. Kematangan yang dimaksud adalah kemampuan diri sendiri untuk memaksimalkan potensi positif dalam semua lini kehidupan, sekaligus meminimalisir segala potensi negatif. Ini penting agar ke depan, seseorang mampu membaca masa depannya dengan cara pandang positif, mengingat cara pandang positif itu akan melahirkan tindakan positif pula. Tidak ada tindakan lahir dari ruang yang hampa alias ujuk-ujuk, begitulah kata orang bijak.

Untuk itulah, dunia kampus _terlebih kampus yang memiliki  tradisi keilmuan yang berimbang dengan nilai-nilai Islam- tidak cukup mengandalkan bahwa dimensi keberhasilan proses pendidikan hanya diukur dari sisi keilmuan akademik. Perlu juga mengukurnya dengan dimensi moralitas sebagai ajuan keberhasilan akademik, yakni kuatnya akhlakul karimah. Apalagi bila dikaitkan dengan hadirnya kemajuan media AI (artificial intelligence) yang banyak memberikan kemudahan bagi insan akademik dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Bukankah semua tugas akademik bisa dikonsultasikan kepada AI sebagai jalan pintas keilmuan. Lantas, betapa mudahkan seseorang disebut dengan intelektual terdidik, sementara AI selalu menjadi pilihannya dalam menyelesaikan tugas, tanpa ditopang dengan moralitas yang luhur dalam bingkai akhlakul karimah.

Integrasi Pontensi

Melihat realitas di atas, maka mengintegrasikan nilai akademik di satu sisi dan nilai akhlak di sisi yang berbeda merupakan tanggung jawab bersama civitas akademika kampus, terkhusus dosen dan mahasiswa. Integrasi yang dimaksud bagaimana proses-proses akademik selalu dibarengi dengan nilai-nilai akhlakul karimah, misalnya ada ketegasan bersama dosen dan mahasiswa untuk membuang jauh-jauh kebiasaan plagasi karya orang lain. Pasalnya, plagiasi ini sangat bertentangan dengan moralitas luhur atau akhlakul karimah, bahkan menjadi petanda pelakunya adalah mereka yang malas berpikir dan malas berproses.

Kejujuran akademik adalah salah satu dari upaya mengintegrasikan nilai-nilai kebaikan atau akhlakul karimah dalam dunia kampus. Pembiasaan yang terus menerus kaitan dengan tradisi jujur ini akan menciptakan praktik kehidupan yang jauh dari kebohongan. Intelektual terdidik, tapi miskin moralitas,  sangat berbahaya bagi kehidupan bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi orang lain. Karenanya, pencapaian tinggi gelar akademik, bila tidak didukung dengan prilaku jujur, suka membantu yang lain, atau suka membagi kepada orang lain, tetap saja gelar tinggi itu kurang memberikan manfaat secara utuh bagi manusia. Bukankan ada ungkapan kenabian berbunyi: “khairunnas anfa’uhum linnas”.

Perkataan Abdullah ibn al-Mubarak layak direnungkan bersama kaitan dengan Integrasi Akhlak dan ilmu, yang dikutip dari kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang berbunyi: “Nahnu ila Qolilin min al-Adab Ahwaju minna ila katsirin min al-‘Ilmi”, kami lebih membutuhkan adab (sekalipun) sedikit dibanding ilmu (sekalipun) banyak. Perkataan ibnu Mubarak menjadi penegas kembali betapa pentingnya adab atau akhlakul karimah dalam dunia pendidikan, khususnya bagi para pendidik (dosen/pengajar) dan pelajar/mahasiswa.

Betapa pentingnya akhlak, walau sedikit sebab ia memastikan kebaikan untuk diri sendiri dan akan mengalir kepada orang lain. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, misalnya jujur sebagai contoh akhlak yang baik memiliki dampak kebaikan bagi yang lain. Bahkan, nilai akademik yang baik sekalipun bila tidak dibarengi dengan trust dan kejujuran, dapat dipastikan kurang memberikan dampak yang baik sebab semua orang sepakat bahwa ketidak jujuran adalah penyakit yang harus disingkirkan dalam ruang sosial apapun, termasuk dalam dunia pendidikan .

Pada akhirnya, terkhusus bagi MaBa UIN Sunan Ampel, mari bersama-sama menata dengan sekuat tenaga dan pikiran agar kiranya dapat istiqamah dalam mengintegrasikan akhlak-ilmu. Semuanya butuh proses, dan proses membutuhkan keseriusan dan istiqamah agar melahirkan pembiasaan yang baik. Dengan begitu, pembiasaan yang baik menciptakan setiap orang tidak suka menghadirkan hal-hal yang tidak baik bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. Selamat menjadi keluarga baru UIN Sunan Ampel, Semoga kita semua selalu dalam hidayah dan bimbinganNya. Amin…