Articles

 A. Laylat al-Qadr: Makna Filosofis

Di dalam bulan Ramadan terdapat satu malam yang nilai atau kualitasnya lebih dari seribu bulan, yakni apa yang dikenal dengan laylat al- qadr (malam qadar). Statemen ini dapat kita perhatikan dalam firman Allah surat al-Qadar yang artinya: “sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan al-Qur’an pada malam qadar. Dan tahukah kamu apa sebenarnya malam qadar itu? Malam qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Jibril dengan izin tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh keselamatan hingga terbit fajar”.[1]

Ada beberapa pendapat di kalangan ahli sejarah al-Qur’a>n (‘ulu>m al-Qur’a>n) di dalam menetapkan tentang turunnya al-Qur’a>n dari Lawh al-Mahfuz} (dari sisi Tuhan). Pendapat pertama mengatakan, al-Qur’a>n diturunkan dari Lawh al-Mahfuz}} ke langit dunia pada bulan Ramadan, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur setiap bulan Ramadan selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat kedua mengatakan, bahwa al-Qur’a>n diturunkan dari Lawh al-Mahfuz}} ke langit dunia pada bulan Ramadan, kemudian malaikat Jibril menyampaikannya kepada Muhammad Saw secara berngsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun tanpa memandang turunnya al-Qur’a>n itu pada tiap-tiap bulan Ramadan.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara penyampaian Jibril tentang al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw, apakah Jibril menghadirkan al-Qur’an pada Muhammad pada tiap-tiap bulan Ramadan, yang berarti setiap setahun sekali selama kurang lebih 23 tahun, atau apakah Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad setiap saat yang dikehendaki tanpa memperhatikan apakah pada bulan Ramadan atau tidak? Mereka tidak mempermasalahkan tentang eksistensi dari bulan Ramadan itu sendiri sebagai permulaan diturunkannya al-Qur’an dari Lawh al-Mahfuz} ke langit dunia.

Telah sepakat para ulama’ dalam menetapkan bahwa di bulan Ramadanlah permulaan diturunkannya al-Qur’an. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an melalui dalil-dalil yang qat}‘i>. Al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan (bayyina>t) mengenai petunjuk itu dan pembeda (furqa>n) antara yang haq dan yang batil (QS al-Baqarah {2}: 185). Al-Qur’an sebagai prinsip lengkap mengenai dasar-dasar ibadat dan petunjuk lengkap mengenai penggunaan akal manusia QS al-Maidah {5}: 3). Sebagai petunjuk khususnya bagi orang-orang yang beriman (QS al-Baqarah {2}: 3) dan umumnya bagi seluruh manusia (QS al-Baqarah {2}: 185). Sebagai kitab petunjuk (al-Qur’an) ditinjau dari segi praktisnya bukan apa-apa, tetapi mengandung apa-apa. Maksudnya, al-Qur’an hanya akan berguna atau tidaknya tergantung pada manusianya, apakah mereka mau mempergunakannya atau tidak. Sebagai prinsip lengkap, apabila manusia mau mempergunakannya untuk tujuan yang baik dan benar, maka akan benarlah perjalanan hidupnya.

Melalalui alur pikir seperti inilah penulis mencoba memahami makna-makna yang tersirat dari pada surat al-Qadar melalui pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan laylat al qadr? Sasaran apa yang hendak dicapai dengan pernyataan bahwa laylat al-qadr adalah malam yang memiliki nilai tambah jauh lebih baik dari seribu bulan? Dan apa tanda-tanda bagi orang yang telah memperoleh lailatul qadar?

Secara lateral, laylat alqadr adalah terdiri dari dua kata, yaitu laylah dan al-qadr. Laylah berarti malam, sedang al-qadr memiliki dua kemungkinan arti. Yang pertama bila dibaca dengan al-qadru (dengan ‘ayn fi‘ilnya disukun) berarti kemuliaan dan bila dibaca al-qadaru (dengan ‘ayn fi‘ilnya dibaca fath}ah) berarti kepastian, ketentuan, ketetapan, ukuran. Kalau dibaca dengan al-Qadru (kemuliaan), artinya ketika turunnya al-Qur’an pada malam itu suasana menjadi mulia, karena kemuliaan dari al-Qur’an itu sendiri. Dan jika dibaca dengan al-qadaru, maka berarti ketentuan, ketetapan dan kepastian. Maksudnya barang siapa yang menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman, penuntun hidupnya, maka ia telah mengambil secara pasti akan petunjuk al-Qur’an itu dalam dirinya. Dengan demikian laylat alqadr dapat mengandung dua pengertian pula, yakni yang berarti malam kemuliaan atau malam kepastian.

Sedangkan ungkapan kata “seribu” dalam seribu bulan (alf shahr) adalah suatu perlambang akan lamanya masa yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Suatu kata untuk melambangkan suasana/keadaan yang mengacu kepada keabadian. Seperti ungkapan kata “aku ingin hidup seribu tahun lagi” yang mengekpresikan keinginan untuk menikmati hidup yang lebih lama lagi, bahkan berkehendak untuk hidup kekal abadi lantaran kenikmatan-kenikmatan yang dialami dalam hidupnya.

Sejalan dengan alur pemikiran ini penulis mencoba menguak misteri makna laylat al- qadr, yaitu adanya satu malam di bulan Ramadan yang nilai tambahnya lebih mulia dari seribu bulan. Jika dihitung 1000 bulan adalah sama dengan 83 tahun 4 bulan. Jika saja usia manusia di zaman ini sebagaimana sabda Rasusullah bahwa umatku usianya antara 60 sampai 70 tahun, maka 1000 bulan berarti melampaui batas usia fisik manusia. Sehingga secara praktis siapa yang memperoleh laylat al-qadr  sekali saja seumur hidupnya otomatis ia berada dalam kebaikan selama hidupnya (dan bahkan sudah lebih). Namun amboi! Apa sebenarnya laylat alqadr itu? Dan kekuatan-kekuatan apa yang dikandung laylat alqadr itu?

B. Makna Aplikatif Laylat al-Qadr.

Ada beberapa petunjuk praktis untuk memperoleh laylat alqadr. Banyak orang melakukan jalan konvensional untuk mencari dan memperoleh laylat alqadr. Hal itu sesuai dengan teks-teks hadith Rasulullah Saw;[2] misalnya dengan cara tidak tidur semalaman dan mengisinya dengan ibadah (salat, wirid, tadarrus, i‘tikaf di masjid atau melaksanakan kegiatan ibadah-ibadah lainnya). Berdasarkan kenyataan dan kebanyakan dari pengalaman mereka yang berupaya memperoleh laylat al-qadr secara konvensional-tekstual tersebut, jarang dan bahkan tidak dapat memastikan hakikat kehadiran laylat al-qadr. Bahkan konon kabarnya, mereka yang telah memperoleh laylat al-qadr (disertai dengan tanda-tanda fisik seperti suasana hening pada malam itu dan di pagi harinya cuaca redup dan lain sebagainya karena lalu lalang malaikat yang turun dan naik kembali ke langit), sementara malaikat itu adalah makhluk rohani, bukan indrawi yang menghalangi sinar matahari. Kadangkala mereka yang telah mendapati dan mengalami tanda-tanda itu sering kali dalam praktek hidup sehari-harinya tidak mencerminkan sikap hidup yang qur’ani. Padahal sekiranya mereka telah memperolehnya (laylat al-qadr) pasti ada perubahan kualitas iman dan hati (struktur mental), perilaku diri ke arah yang lebih baik dan perilaku untuk selalu taat, tunduk pada pada hukum-hukum Allah (h}abl min Alla>h dan h}abl min al-na>s).

Laylat alqadr tidak datang kepada masyarakat secara bersamaan. Tetapi ia datang secara individual bagi seseorang yang telah mempersiapkan diri dan telah menciptakan prakondisi yang maksimal melalui ibadah-ibadah Ramadan yang dilakukan. Bila dipahami dalam konteks malam secara leterluk dan hanya terjadi dalam satu malam, maka hal itu berlawanan dengan kenyataan hidup sehari-hari, sebab malam di suatu tempat/negeri bisa siang di tempat/negeri yang lain. Maka bagaimana seseorang dapat atau tidak memperoleh laylat alqadr dikarenakan semata-mata faktor geografis-teritorial.

Agar lebih mudah dicerna oleh akal pikiran, maka pengertian laylat alqadr yang tradisional-konvensional-teksbook-teritorial tersebut dialihkan (dita’wi>l) kepada pengertian yang lebih praktis dan mudah dicerna oleh akal sehat, oleh siapapun dengan tanpa menyalahkan pemahaman dan pengamalan yang sudah ada dan menjadi kebiasaan masyarakat (riya>d}ah ruh}i>yah).

Laylah/malam adalah lambang dari kesunyian, keheningan, renungan dan kesadaran, tidak ramai dan bising. Salat tahajjud misalnya dilakukan di malam hari dan saat itu komukasi hamba dengan Tuhan dapat dilakukan dengan inten. Merenung sulit dilakukan di saat-saat bising dan ramai (termasuk disibukkan oleh urusan duniawi). Laylat alqadr adalah malam yang sunyi dari urusan dunia dan hati tertuju hanya kepada Allah (bagi mereka yang tersibukkan dengan dan olehnya), malam kesadaran. Laylat alqadr adalah suatu bisikan hati nurani (d}amir, consciousness) yang tumbuh dalam diri seseorang dalam bentuk kesadaran-diri. Atau suatu tekad yang sungguh-sungguh untuk kembali dan menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman hidup (way of life) bagi langkah-langkah perjalanan hidupnya. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman hidup, berarti ia telah memiliki ruh ilahiyat di dalam dirinya. Sehingga al-Qur’an mampu berfungsi sebagai inspirator, motivator dan sekaligus sebagai alat kontrol; membimbing, membina, mengarahkan diri pribadi dan kendali diri, sehingga hanya ada satu komando yang menggerakkan jiwanya untuk menunaikan hidup ini dengan sebaik dan sebenar mungkin, yakni al-Qur’an. Al-Qur’an senantiasa mewarnai pola pikir dan pola sikap yang bersangkutan dalam menjalankan proyek kerja akalnya dan aplikasi amal ibadahnya.

Dengan demikian, upaya-upaya untuk memperoleh laylat al-qadr pada malam-malam ganjil atau pada seluruh malam pada bulan Ramadan dengan mengisi kegiatan seperti tadarrus al-Qur’an, i’tikaf dan lain sebagainya tidak lagi dipahami sebagai upaya untuk mencari dan memperoleh laylat al-qadr (apalagi dipahami dalam arti visual), tetapi sebagai usaha untuk memperbanyak amal kebajikan dalam rangka membersih-sucikan jiwa (tazkiyat al-nafs), sehingga dengan adanya jiwa yang bersih akan mudah menerima petunjuk al-Qur’an. Hati yang diibaratkan oleh Imam al-Ghazali sebagai cermin, maka cermin yang bersih dari kotoran akan memantulkan gambar orang yang bercermin sebagaimana keadaan aslinya. Hati yang bersih dari noda-noda dosa akan memantulkan sinaran sifat-sifat ketuhanan secara sempurna. Sebab petunjuk al-Qur’an tidak akan masuk kepada jiwa-jiwa manusia yang kotor.  Apa yang dikatakan al-Qur’an ia akan bersikap sami’na> wa at}a‘na>, sebab tak ada lagi ruang bagi bersarangnya hawa nafsu di dalam dirinya. Keterangan ini sesuai dengan jiwa dari bulan Ramadan itu sendiri, yakni sebagai rah}mah, maghfirah dan itqun min al-na>r (kasih sayang, ampunan dan pembebasan dari api neraka).

Pada puasa 10 hari pertama (awwaluhu>) bermakna sebagai suatu sarana latihan fisik dan mental untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji dan noda-noda dosa pada hari-hari sebelum Ramadan. Sedangkan 10 hari kedua (awsatuhu>) sebagai media lanjutan peningkatan kualitas jiwa, sehingga pada tingkat ini seseorang yang benar dalam melaksanakan puasanya, baik secara lahir maupun batin, maka terperolehlah ampunan Allah (maghfirah). Apabila ampunan telah diperolehnya maka konsekuensinya akan terbebas dari siksa neraka (itqun min al-na>r) sebagaimana fungsi 10 terakhir dari bulan Ramadan.

Adanya statemen hadith yang menghimbau agar berusaha secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan laylat alqadr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan (tah}arraw laylat al-qadr fi> al-witr min al-‘ashr al-awa>khir min ramad}a>n: gapailah malam qadar di malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadan)[3], mengisyaratkan pada kita suatu bentuk rangsangan dan warning/peringatan, seolah-olah beliau bersabda “hendaklah jangan sia-siakan latihan jasmani dan rokhani selama melaksanakan ibadah puasa” untuk mencapai tingkat kebersihan jiwa yang maksimal, sehingga perintah-perintah dan isyarat-isyarat dan sinaran al-Qur’an dapat kita terima dengan leluasa, senang tanpa diselimuti oleh emosi-emosi/nafsu, sebab al-Qur’an tidak akan menggores hati yang tertutup oleh dosa-dosa yang tidak bertaubat. Banyak orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan tetapi ia tidak memperoleh apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga.

Sekarang kita tidak ingin meninggalkan bulan Ramadan secara sia-sia, dengan cara memastikan diri untuk mengambil al-Qur’an sebagai satu-satunya petunjuk praktis dan alat kontrol di dalam menjalankan sisa masa hidup. Tegasnya seandainya s}a>imi>n/s}a>ima>t (orang yang berpuasa, baik laki-laki maupun perempuan) dapat dengan sungguh-sungguh menerima al-Qur’an secara pasti sebagai sumber inspirasi, motivasi  dan alat kendali diri, maka ia dijamin akan benarlah seluruh perjalanan hidupnya. Bagi seseorang yang telah berada pada jalur kebenaran, sudah bisa dipastikan akan mendapatkan rah}mat, maghfirah dan itqun min al-na>r. Bila s}a>imi>n-s}a>ima>t berusaha semaksimal mungkin menggerakkan hatinya dan membaiat dirinya untuk mengambil al-Qur’an (yang diturunkan pertama kalinya di bulan Ramadan) sebagai sumber satu-satunya petunjuk kemudian melaksanakannya dalam segala aspek hidup dan kehidupannya, maka insyaAllah pasti (berdasarkan sunnat Alla>h) melalui puasa-puasa yang dilaksanakan selama sebulan penuh di bulan Ramadan akan memperoleh laylat al-qadr dalam arti yang sesungguhnya. Inti laylat alqadr adalah al-Qur’an itu sendiri bukan yang lain. Sehingga jaminan “salam” dan target nilai tambah kebaikan seribu bulan pasti tercapai. Orang yang memperoleh laylat alqadr akan hidup bahagia untuk selama-lamanya. Laylat al-qadr adalah malam petunjuk, yakni petunjuk al-Qur’an. Menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk berarti telah memperoleh laylat al-qadr dalam arti praktisnya. Dengan demikian, orang yang memperoleh laylat al-qdr dalam arti mencapai kesadaran tertinggi dan kearifan ilahi dalam hidupnya sebagai akibat dari latihan fisik-mental dan spiritual-rokhani melaui ibadah puasa dan ibadah bulan Ramadan akan menampilkan perubahan-perubahan perilaku menuju ke wilayah kearifan ilahi menjangkau alam malakut. Hal itu ditunjukkan oleh semangat hidupnya di dalam mencari ilmu-ilmu  Allah, mengkaji secara terus menerus makna kandungan al-Qur’an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan praktis sehari-hari. Wa Alla>h a‘lam.

[Muktfi Sahal; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]