Column

Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara/Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Sunan Ampel Surabaya

Kapan hari tiba-tiba penulis dihubungi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas, yang meminta tanggapan penulis selaku juris (ahli hukum tata negara) terkait dengan Judicial Review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Penulis agak sedikit kaget karena kurang mengikuti perkembangan media, tiba-tiba mendengar kalau ada Judicial Review oleh Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya ke Mahkamah Konstitusi. Di satu sisi penulis kaget, tetapi di sisi lain penulis bangga (surprise). Mengapa? Bagi penulis itu sesuatu yang luar biasa, karena biasanya mahasiswa selalu turun ke jalan (demonstrasi) dalam menyikapi permasalahan sosial dan/atau kenegaraan. Tetapi kali melalui suatu porosedur yang memang diatur dan/atau dijamin oleh Konstitusi. Dan ini menunjukkan perkembanmgan pemikiran yang luar biasa di kalangan akademik dan khususnya mahasiswa.

Ada 4 (empat) pertanyaan yang disampaikan LSM Solidaritas ke penulis terkait dengan hal tersebut di atas. Pertama, Bagaimana penulis selaku juris menanggapai RUU TNI yang kini sudah disahkan? Apakah memang perlu dikoreksi atau bagaimana? Kedua, terkait pengajuan Judicial Review yang diajukan Mahasiswa UINSA, bagaimana tanggapan penulis selaku ahli hukum tata negara? Ketiga, apakah menurut penulis sendiri pihak UINSA harus bagaimana ketika ada mahasiswanya mengajukan Juducial Review seperti ini? Keempat, pendapat penulis menanggapi Juducial Review yang diajukan mahasiswa UINSA yang dicabut kembali.

Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menjawab dalam kapasitas sebagai ahli hukum tata negara dan menurut ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Jawaban tersebut, penulis rangkum dalam ulasan berikut.

  1. Menanggapai RUU TNI yang kini sudah disahkan? Apakah memang perlu dikoreksi atau bagaimana?

Terhadap pertanyaan tersebut, ada dua hal yang perlu dielaborasi. Pertama, terkait dengan subtantansi dari UU TNI itu sendiri. Kedua, terkait dengan proses dan mekanisme pengundangan mulai dari perencanaan, sampai penetapan dan pengundangan itu sendiri (Yuliandri, 2008).

PERTAMA, dari segi SUBTANTIF:

Pasal 30 ayat (3) UUDNRI 1945, menyatakan: Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. **)

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (3) UUDNRI 1945 tersebut jelas, bahwa TNI sebagai alat negara diproyeksikan (dikonstruksikan) dalam 3 (tiga) aspek yaitu: pertahanan, perlindungan, pemeliharaan keutuhan dan kedaulatan negara. Hal ini mencerminkan komitmen TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan dan integritas wilayah NKRI, serta melindungi keselamatan bangsa dari segala bentuk ancaman, baik militer maupun non-militer. TNI juga berperan aktif dalam mendukung program pembangunan nasional dan ketahanan negara untuk mewujudkan Indonesia maju. 

Mempertahankan: Ini berarti TNI harus siap dan mampu mencegah setiap bentuk ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, baik dari dalam maupun luar negeri. 

Melindungi: TNI memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk melindungi jiwa, kemerdekaan, dan harta benda setiap warga negara dari ancaman dan gangguan. 

Memelihara: TNI harus terus-menerus menjaga stabilitas dan keamanan negara, serta menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI agar tetap utuh dan tidak terancam.

Berdasarkan ketentuan tersebut TNI sebenarnya sejak reformasi dikembalikan pada fungsi utamanya. Mengapa? Sejarah mencatat memang pada masa Orde Baru, TNI pernah dijadikan alat politik dengan adanya istilah “Dwi Fungsi ABRI”, dan sipilisasi TNI. Dengan demikian setiap tugas dan kewenangan TNI yang tidak berkesesuaian dengan tugas konstitusional tersebut perlu ada koreksi. Tujuannya semata-mata ingin mendudukan TNI pada kapasitas dan kapabilitas sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945.

KEDUA, dari segi PROSES:

Bahwa pada setiap penyusunan, termasuk revisi terhadap Aturan Hukum (UU), menurut UU UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan perlu adanya partisipasi publik. Partisipasi publik dalam penyusunan Undang-Undang (UU) sangat penting dalam memastikan, bahwa UU yang dibuat mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3 2011) mengatur mekanisme partisipasi publik ini, yang dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, semiloka, dan/atau FGD.

Menurut ketentuan tersebut, bahwa pada setiap pembentukan UU termasuk revisi, perlu adanya masukkan, dan kritik membangun terhadap proses dan subtansi UU. Masukkan-masukkan tersebut selanjutnya disikapi oleh DPR dan jika mungkin subtansi RUU disesuaikan dengan masukkan tersebut. Sehingga pasca pengundangannya tidak ada masalah termasuk meminimalisasi adanya judicial review.

2.       Tanggapan terhadap pengajuan Judicial Review yang diajukan Mahasiswa UINSA

Secara juridis, bahwa setiap warga negara dilindungi (dijamin) oleh konstitusi untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUDNRI 1945. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28), dan kebebasan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat (3)) tersebut salah satunya termasuk dalam mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Meski demikian memang ada ketentuan, bilakah seseorang atau kelompok orang (warga negara) dapat mengajukan Judicial Review. Yang utama adalah adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan secara spesifik dan aktual oleh berlakunya undang-undang yang akan diuji. Selain itu, pemohon harus memiliki kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon.

Istilah umum dari kedudukan pemohon Judicial Review tersebut dikenal dengan legal standing. Pengaturan legal standing dalam Judicial Review (JR) di Indonesia merujuk pada syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Syarat ini memastikan bahwa hanya pihak yang secara langsung dirugikan oleh keberlakuan UU tersebut yang dapat mengajukan permohonan JR. Legal standing dalam JR diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2003). Pasal ini menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU. Dan Legal Standing harus memenuhi beberapa unsur: (1) Kerugian Konstitusional: Pemohon harus mengalami kerugian secara langsung akibat keberlakuan UU yang diuji; (2) Keterkaitan Langsung: Kerugian tersebut harus memiliki keterkaitan yang langsung dan nyata dengan pemohon; dan (3) Syarat Formal: Pemohon harus memenuhi persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang, seperti mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan melampirkan bukti-bukti yang relevan.

Yang kedua, ada kode etik kampus yang harus dihormati oleh sivitas akademika baik itu dosen, tenaga kependidikan, dan/atau mahasiswa sendiri ketika mereka melakukan tindakan baik di dalam maupun di luar kampus. Artinya ketika dosen, tenaga kependidikan, dan/atau mahasiswa melalukan tindak TIDAK BOLEH BERTENTANGAN dengan Kode Etik Kampus.

3.       Tanggapan terhadap pihak UINSA harus bagaimana ketika ada mahasiswanya mengajukan Juducial Review

Terkait dengan bagaimana UINSA menyikapi terhadap mahasiswanya mengajukan Juducial Review. Dalam hal ini penulis secara kelembagaan tidak dapat menjawab atau memberi klarifikasi karena itu menjadi kewenangan pimpinan (dalam hal ini rektor dan jajarannya).

Meski demikian secara pridadi, menurut penulis bahwa mengajukan Juducial Review ke MK oleh Mahasiswa ini merupakan langkah maju. Mengapa?  Mahasiawa yang selama ini selalu menyikapi segala sesuatu langsung turun ke jalan (demonstrasi) bahkan terkadang berakhir dengan anarkhis. Dan lagi bisa saja tindakan demonstrasi tersebut ditumpangi oleh aktor intelektual yang memiliki tujuan tertentu. Jelas tindakan anarkhis ini bertentangan dengan  hukum dan juga kode etik kampus, karena sudah masuk dalam ranah pidana. Tindak pidana merupakan tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum. Dan kode etik kampus, tindakan pidana merupakan tindakan yang dilarang untuk dilakukan baik di dalam maupun di luar kampus, dan tentu ada sanksi hukum, dan adminsitratif kampus.

Pengajuan Juducial Review oleh mahasiswa ini harus dianggap sebagai mimbar akademik (good will) yang dimanifestasikan dalam bentuk action will. Maksud penulis, langkah yang diambil oleh mahasiswa jauh lebih elegan dari pada mereka harus turun ke jalan (demonstrasi) yang mungkin malah tidak jelas arah dan tujuannya. Melalui pengajuan Juducial Review mahasiswa selaku warga negara turut serta dalam memikirkan keberadaan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dan sekali lagi pengajuan Juducial Review ini dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu harus disikapi dengan bijak (perlu kearaifan) oleh pemerintah, dan juga orang-orang dewasa (termasuk kampus). Yang terpenting, prosedur (tata cara) melakukannya harus benar, dan jika Juducial Review ditolak harus legowo (menerima keputusan).

Tapi sekali lagi, bahwa apa yang dilakukan oleh mahasiswa seperti halnya pengajuan Juducial Review tersebut tidak melanggar ketentuan yang ada dalam Kode Etik Kampus (Kode Etik Mahasiswa).

4.       Tanggapan atas Juducial Review yang diajukan mahasiswa UINSA yang dicabut lagi

Sekali lagi penulis katakan, bahwa Juducial Review itu adalah hak warganegara dengan ketentuan, bahwa mereka merasa hak konstituisionalnya dilanggar dengan adanya ketentuam dalam UU. Termasuk juga apakah warga negara tersebut akan menarik/mencabut kembali Juducial Review yang diajukannya.

Pencabutan permohonan Juducial Review diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur mengenai hak pencabutan permohonan. Pencabutan permohonan tersebut tidak selalu beralasan, dan dalam beberapa kasus, pemohon dapat menarik kembali permohonan tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Tetapi yang terpenting yang perlu dipahami adalah pencabutan permohonan judicial review memiliki konsekuensi hukum yang jelas, yaitu permohonan tidak dapat diajukan kembali. 

Dan terkait dengan dicabutnya Juducial Review yang diajukan mahasiswa UINSA saya kurang mengikutinya. Meski demikian dari segi analisis hukum, seperti yang tadi saya katakan bahwa Warga negara yang ingin mengajukan permohonan judicial review (uji materi undang-undang) ke Mahkamah Konstitusi (MK) harus memenuhi beberapa syarat. Syarat utama adalah adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan secara spesifik dan aktual oleh berlakunya undang-undang yang akan diuji. Selain itu, pemohon harus memiliki kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon.

Adapun syarat-syarat lengkap untuk mengajukan judicial review:

  1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan: Pemohon harus memiliki hak dan/atau kewenangan yang dijamin oleh UUD 1945 yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang akan diuji. 
  2. Kerugian yang bersifat spesifik dan aktual: Kerugian yang dialami oleh pemohon harus bersifat spesifik dan nyata, bukan hanya kerugian yang bersifat umum atau hipotetis. 
  3. Kualifikasi sebagai pemohon: Pemohon harus memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materi, seperti perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum. 
  4. Pendaftaran dan permohonan online: Permohonan diajukan secara online melalui Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (SIMPEL) pada laman Mahkamah Konstitusi. 
  5. Kelengkapan berkas permohonan: Berkas permohonan harus lengkap dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, seperti nama pemohon, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat, dan lain-lain. 
  6. Bahasa Indonesia baku: Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia baku. 
  7. Ditandatangani: Permohonan harus ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. 
  8. Dibuat dalam rangkap: Permohonan harus dibuat dalam 12 rangkap. 
  9. Bukti-bukti pendukung: Permohonan harus disertai dengan bukti-bukti yang relevan dengan alasan permohonan, seperti surat atau tulisan. 

Dan yang terpenting, bahwa setiap hal yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut sekali lagi tidak bertentangan dengan KODE ETIK MAHASISWA.